Rachmat Suharno
Universitas Langlangbuana

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Rachmat Suharno
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 20 No 1 (2021): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XX:1:2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v20i1.98

Abstract

Banyaknya dampak negatif dari adanya korupsi, maka perlu ada upaya untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalkan praktek yang merusak tatanan hidup masyarakat tersebut, untuk itu disamping diperlukan adanya ketentuan hukum yang tegas, kemudian gerakan moral masyarakat menentang korupsi, juga dibutuhkan pemikiran-pemikiran akademik-praktis sehingga dapat diperoleh suatu strategi sampai dengan agenda aksi untuk menghapuskan praktek korupsi dalam segala bentuknya. Salah satu upaya untuk memberantas korupsi, pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut terdapat pengaturan mengenai pembuktian terbalik. Penerapan pembuktian terbalik tindak pidana korupsi telah merubah secara mendasar sistem pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini dianut dalam proses peradilan pidana, di mana di dalam KUHAP dianut sistem pembuktian negatif, selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini dianut dua sistem pembuktian sekaligus yaitu sistem Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan sistem KUHAP, kedua sistem tersebut ialah penerapan hukum pembuktian dilakukan dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang dan yang menggunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang, jadi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, tetapi teori pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.
Kreditor Pemegang Hak Jaminan Kebendaan dalam Perkara Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Rachmat Suharno
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 16 No 1 (2017): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XVI:1:2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kepailitan menjadi momok bagi para debitur dan kreditur di dunia usaha, para pelaku usaha harus betul-betul memperhitungkan segala sesuatunya untuk tidak menjadi pelaku dalam masalah kepailitan ini. Sehubungan dengan hal tersebut maka perkara kepailitan akan berkaitan juga dengan masalah hak jaminan yang dimiliki oleh Kreditor, baik berupa jaminan yang bersifat umum ataupun yang bersifat khusus. Tujuan Kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian utang piutang melalui UU KPKPU bermanfaat bagi kepentingan kreditur dan debitur dan mengetahui pemberian perlindungan terhadap kreditur dan untuk mengetahui kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dalam perkara kepailitan menurut UU KPKPU dan mengetahui kedudukannya dalam perkara perdata biasa dimana kreditor dapat mengeksekusinya tanpa terpangaruh dengan proses kepailitan. Manfaat perdamaian yang dilakukan melalui PKPU karena akan mengikat kreditur lain diluar, sehingga debitur dapat melanjutkan restrukturisasi usahanya, tanpa takut didatangi oleh tagihan-tagihan kreditur yang berada diluar PKPU. Selain itu Kreditur juga terjamin melalui PKPU, karena apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian tersebut, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian kepada Pengadilan Niaga, dan debitur akan otomatis dinyatakan pailit dan Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 24 (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan.
ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEWARALABA DIKAITKAN DENGAN PENEGAKAN HUKUM KONTRAK Rachmat Suharno
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 19 No 1 (2020): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XIX:1:2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v19i1.83

Abstract

Bisnis waralaba sebagai suatu sistem bisnis mempunyai karakteristik tersendiri di dalam kehidupan ekonomi dan juga menimbulkan permasalahan di bidang hukum dikarenakan bisnis waralaba ini didasarkan pada suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak, sehingga diperlukan adanya perlindungan hukum yang saling menguntungkan bagi masing-masing pihak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian normatif-yuridis. Penelitian yang dilakukan selain melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan. Perlindungan waralaba memberikan dampak yang sangat significant terhadap penerima waralaba. Perlindungan atas kepentingan pihak penerima waralaba sangat diperlukan, karena pada kenyataanya pihak penerima waralaba selalu berada dalam pihak yang dirugikan., bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada penerima waralaba adalah berupa perjanjian waralaba yang dibuat oleh pemberi waralaba yang meliputi hak dan kewajiban penerima waralaba. Dalam perjanjian waralaba tersebut terdapat lebih banyaknya kewajiban yang harus ditanggung dibandingkan hak yang diperoleh penerima waralaba.Prosedur pendaftaran waralaba tidak menentukan sahnya suatu kontrak waralaba karena produsen tersebut hanya diatur melalui PP No. 42/2007 bukan melalui Undang-Undang. Sekalipun tidak menentukan syarat sahnya suatu perjanjian waralaba, prosedur mengenai pendaftaran waralaba tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Dalam hal perjanjian waralaba dan prospektus penawaran waralaba tidak didaftarkan, maka terdapat sanksi yang dapat dijatuhkan sebagaimana dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan sanksi administratif berupa denda.
UPAYA RUISLAAG TANAH WAKAF YANG TERKENA PEMBEBASAN RUTR KECAMATAN CINERE KOTA DEPOK DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2018 desti destana; Rachmat Suharno
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 20 No 5 (2021): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XX:5:2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v20i5.139

Abstract

Proyek tol Desari yang menghubungkan Depok-Antasari adalah proyek pemerintah yang tercantum dalalm Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Provinsi Jawa Barat yang bertujuan mengatasi kemacetan yang sering terjadi di kota Depok, dalam pelaksanaannya melalui proses pembebasan lahan atau tanah milik penduduk Pangkalan Jati Baru kecamatan Cinere kota Depok khususnya ada beberapa tanah wakaf yang mesti dibebaskan statusnya dari tanah wakaf, pembebasan tanah wakaf atau yang dikenal dengan tukar guling (ruislag) harus memenuhi beberapa persyaratan dan bagaimana upaya ruislag tanah wakaf ini dilihat dari peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2018. Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif empiris pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan beberapa unsur empiris, yang mana tidak hanya penelitian kepustakaan tetapi penelitian lapangan. .Spesifikasi penelitian, yaitu kualitatif yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa penghambat dalam upaya ruislag tanah disebutkan bahwa batasan waktu tanah wakaf yang sudah dilakukan upaya ruislag dan sudah mendapatkan izin tertulis dari menteri berdasarkan persetujuan BWI harus segera didaftarkan sertifikat tanahnya dalam kurun waktu 10 hari kerja. Aturan ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2018 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 pasal 51 ayat 2 huruf f dan apabila dalam kurun waktu yang disebutkan tidak terlaksana maka akan batal demi hukum, disisi lain tanah wakaf yang digunakan untuk pembangunan RUTR ternyata sudah dalam proses pembangunan sertifikat pengganti tanah tersebut belum keluar, tanah penukar/pengganti yaitu tanah hak milik yang terletak di Pangkalan Jati Baru.
Penyelesaian Sengketa Koperasi Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) Deny Haspada; Rachmat Suharno
SOSIOHUMANITAS Vol 18 No 2: Agustus 2016
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (207.01 KB) | DOI: 10.36555/sosiohumanitas.v18i2.66

Abstract

Koperasi adalah badan usaha yang memiliki anggota orang atau badan hukum yang didirikan dengan berlandaskan asas kekeluargaan serta demokrasi ekonomi. Koperasi merupakan produk ekonomi yang kegiatannya menjadi gerakan ekonomi kerakyatan, dan berjalan dengan prinsip goton g - royong. K operasi yang berkembang pesat secara umum dapat disimpulkan sehat, akan tetapi di dalam praktek pelaksanaannya koperasi tidak terlepas dari berbagai masalah, khususnya kepercayaan dari para nasabah. Penyelesaian sengketa pada koperasi sebetulnya tidak sulit dilakukan karena setia p kontrak atau perjanjian bisa memilih lembaga mana yang akan digunakan jika ter jadi sengketa atau perselisihan. H anya karena kurangnya sosialisasi tentang pemberlakuan UU No. 30 tahun 1999 dan L embaga Arbitras e , maka masyarakat belum mengetahui tentang ad anya lembaga di luar pengadilan yang bisa menyelesaikan sengketa. Penyelesaian melalui arbitrase dapat dilakukan apabila terjadi kesepakatan dan dicantumkan dalam akta/akad sejak awal sebelum terjadi sengketa (pactum compromittendo)