Ahmad Zamzuri
Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KULINER, TUBUH, DAN IDENTITAS: SEBUAH PEMBACAAN GASTRO-SEMIOTIKA TERHADAP SEPILIHAN PUISI KARYA HANNA FRANSISCA/CULINARY, BODY, AND IDENTITY: A SEMIOTIC-GASTROCRITICAL READING TO HANNA FRANSISCA’S SELECTED POEM Ahmad Zamzuri
Aksara Vol 33, No 1 (2021): AKSARA, EDISI JUNI 2021
Publisher : Balai Bahasa Provinsi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.314 KB) | DOI: 10.29255/aksara.v33i1.721.1-10

Abstract

AbstrakMakanan pada era kiwari tidak lagi sekadar hidangan, tetapi menjadi perantara munculnya beragam tafsir. Hanna Fransisca menjadi salah seorang penyair yang memanfaatkan khazanah kuliner dalam puisi. Artikel ini mengulas tiga puisi pilihan karya Hanna Fransisca, yaitu “Bakpao Tionghoa”, “Kambing Guling”, dan “Tumis Paru”. Penelitian ini menyoal kuliner dalam puisi yang dibaca melalui perspektif gastrokritik dengan menggunakan metode semiotika Rolland Barthes. Penelitian ini berusaha mengungkap makna kuliner dalam ketiga puisi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kuliner dalam puisi “Bakpao Tionghoa”, “Kambing Guling”, dan “Tumis Paru” menyoal tubuh. Bakpao dan kambing guling menjadi medium penarasian tubuh yang tidak memiliki otoritas gerak di ruang sosial. Tubuh disepadankan bakpao yang cenderung diposisikan sebagai objek konsumtif.  Tubuh dalam “Kambing Guling” hadir sebagai tubuh dalam ruang teritori yang cenderung mengekang kebebasan sebagai subjek. “Tumis Paru” menjadi medium penarasian tubuh yang telah terbebas dari penjara badani. Dalam hal identitas, ketiga puisi menarasikan identitas Tionghoa yang identik berkulit cerah dan berada pada ruang-ruang stereotip. Kuliner dalam ketiga puisi tersebut menjadi medium kritik, upaya protes, dan sindiran terhadap praktik-praktik warisan kolonial yang membedakan status dan identitas. Kata kunci: identitas, kuliner, tubuh, Tionghoa, gastrokritik, semiotik AbstractFood in the recent era is no longer just a dish, but an intermediary for various interpretations. One of the poets who have used culinary treasures in the world of poetry is Hanna Fransisca. This article reviews selected poems by Hanna Fransisca entitled "Bakpao Tionghoa", "Kambing Guling", and "Tumis Paru". This research examines culinary in poetry through a gastro-critical perspective using the semiotic method of Rolland Barthes. This research attempts to reveal the culinary meaning in the three poems. The results showed that the culinary in the poetry "Bakpao Tionghoa", "Kambing Guling", and "Tumis Paru" shows body problems. Bakpao and Kambing guling become a medium for body narration which does not have the authority in social space. The body, through bakpao, is to be positioned as a consumptive object. Meanwhile, the body in “Kambing Guling” is present as a body in territorial space which tends to restrain freedom as a subject. “Tumis Paru” becomes a medium for narrating the body that has been freed from physical prison. In terms of identity, the three poems narrate a Chinese identity that is identical with bright skin and exists in stereotypical spaces. The culinary in the three poems is a medium of criticism, protest, and satire against colonial heritage practices that differentiate status and identity. Keywords: identity, culinary, body, Tionghoa, gastrocritics, semiotics
STRATEGI PENARASIAN DAN PEMOSISIAN SUBJEK PEREMPUAN DALAM MEREKA BILANG, SAYA MONYET! KARYA DJENAR MAESA AYU: PERSPEKTIF POSFEMINISME (Narration Strategic and Woman's Positioning as Subject on Mereka Bilang, Saya Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu: Postfeminism's Perspective) Ahmad Zamzuri
Kandai Vol 15, No 1 (2019): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.615 KB) | DOI: 10.26499/jk.v15i1.1262

Abstract

Penelitian ini membahas 6 (enam) cerita pendek dalam kumpulan cerita pendek Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu melalui perspektif posfeminisme. Tujuan penelitian adalah mengungkap strategi penarasian perempuan yang dilakukan oleh Djenar Maesa Ayu. Untuk mencapai tujuan, penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu penentuan objek penelitian dan kerangka teori, pengumpulan dan analisis data, dan simpulan. Objek penelitian ini terdiri dari 6 (enam) cerita pendek karya Djenar Maesa Ayu, antara lain Mereka Bilang, Saya Monyet!, Lintah, Durian, Melukis Jendela, Wong Asu, dan Namanya…. Melalui cerita pendek tersebut, data kemudian dianalisis menggunakan metode analisis wacana kritis dengan menafsirkan seluruh perangkat kebahasaan dan menghubungkannya dengan perspektif posfeminisme. Selain merelasikan dengan perspektif posfeminisme, teori sudut pandang menurut Tzevetan Todorov akan digunakan untuk mengungkap strategi penarasian perempuan yang dilakukan oleh Djenar Maesa Ayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan seakan-akan menjadi objek dalam ruang dominasi patriarki, melainkan sejatinya menjadi sentral subjek yang melakukan resistensi terhadap wacana dominan (patriartki) melalui penyebutan laki-laki dengan nama kepala hewan yang disesuaikan dengan sifat dan perilakunya, antara lain Si Kepala Gajah, Si Kepala Sapi, Si Kepala Anjing. Selain itu, wujud resistensi perempuan dilakukan juga melalui penyayatan pipi dan pemotongan pusat keperkasaan (kuasa) laki-laki (penis). Penarasian dalam cerita pendek karya Djenar Maesa Ayu menunjukkan sindiran (satire) bagi bahwa laki-laki tidak lebih cerdas dari perempuan yang disebut monyet.(This study discusses six short stories in the anthology of Djenar Maesa Ayu's work entitled Mereka Bilang, Saya Monyet! through a post feminism perspective. The problem in this study relates to the narration of women as victims in the patriarchal space. The aim of the study was to reveal the narration of women, the position of female subjects, and the discourse embedded in the short stories. To achieve the goal, this research was conducted in several stages, such as choosing object of research and the theoretical framework, collecting data, analysis, and conclusions. The object of this study consist of six short stories by Djenar Maesa Ayu, including "Mereka Bilang, Saya Monyet! "Lintah", "Durian", "Melukis Jendela", "Wong Asu", and "Namanya ....". Data is collected through in-depth reading and quoting words, phrases, sentences, paragraphs, and dialogues which are then described analytically. The data is then analyzed by interpreting all linguistic tools and connecting them with the postfeminism perspective. The results showed that women were narrated as if they were objects in the space of patriarchal domination, but instead they became a central subject who carried out resistance to patriarchal discourse by giving calls in the form of names of animal heads according to the nature and behavior of men, including Si Kepala Gajah, Si Kepala Sapi, dan Si Kepala Anjing. Other resistance carried out by women, through slashing the cheek and cutting penis, the symbol of man’s power. The narration in the short story of Djenar Maesa Ayu's works shows satire that men is not smarter than women whose called monkeys by them.)
MEMBACA JATISABA: MENELISIK MEMORI, TRAUMA, DAN JALAN PULANG Ahmad Zamzuri
Widyaparwa Vol 48, No 2 (2020)
Publisher : Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.093 KB) | DOI: 10.26499/wdprw.v48i2.629

Abstract

This study aims to describe the construction of memory and trauma in Ramayda Akmal’s Jatisaba using memory and trauma perspectives. This research went through four stages. Those are determining the material (source of data) and the formal object of the research, collecting data, analyzing data, and conclusions. Ramayda Akmal’s Jatisaba is the source of data. Meanwhile, memory and trauma are determined as the formal object of research. In collecting data, an intensive reading process is the next step for understanding the elements of the story. Then classifying words, phrases, sentences, and paragraphs based on the concepts of a traumatic event, loss, and melancholy. All the data were analyzed through memory and trauma concepts. The results of the analysis show that, first, the memory constructed in the Jatisaba is related to traumatic memories triggered by a sense of homelessness and traumatic events when Mae became a migrant worker. Second, Mae becomes a traumatic subject (melancholia). Third, Gao becomes a reconstruction of “undeniably home” for Mae’s soul. Fourth, the reconstruction of memory in Jatisaba is an effort to complement the author's longing for a homeland.Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan konstruksi memori dan trauma dalam Jatisaba karya Ramayda Akmal dengan menggunakan perspektif memori dan trauma. Penelitian ini melalui empat tahapan, antara lain penentuan objek material (sumber data) dan objek formal penelitian, pengumpulan data, analisis data, dan simpulan. Novel Jatisaba karya Ramayda Akmal adalah objek material (sumber data). Sedangkan memori dan trauma merupakan objek formal penelitian. Dalam pengumpulan data, proses membaca intensif merupakan langkah selanjutnya untuk memahami unsur-unsur cerita. Kemudian, pengklasifikasian kata, frasa, kalimat, dan paragraf berdasarkan konsep peristiwa traumatis (traumatic event), kehilangan, dan melankolis. Data dianalisis melalui konsep memori dan trauma. Hasil analisis menunjukkan bahwa, pertama, memori pada novel Jatisaba berkaitan dengan memori traumatis yang dipicu oleh rasa kehilangan dan peristiwa traumatis saat Mae menjadi buruh migran. Kedua, Mae merupakan subjek traumatis (melankolia). Ketiga, Gao merupakan rekonstruksi “rumah” bagi jiwa Mae. Keempat, rekonstruksi memori pada novel Jatisaba sebenarnya merupakan upaya pulang pengarang untuk melengkapi kerinduan pada kampung halaman.