Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

SOSIALISASI PENTINGNYA MENGKONSUMSI MAKANAN HALAL DALAM ISLAM DI PWBI KWALA BEKALA Muhammad Hizbullah; Haidir Haidir
PKM Maju UDA Vol 1 No 3 (2020): Edisi bulan DESEMBER 2020
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung (UDA) Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.998 KB) | DOI: 10.46930/pkmmajuuda.v1i3.883

Abstract

Manusia memiliki beberapa kebutuhan primer. Salah satu bentu kebutuhan primer manusia yaitu makanan dan minuman. Ketika manusia tidak makan dan minum dalam jangka dan waktu tertentu akan menyebabkan sakit maupun kematian. Dalam maqasid al-syariyah (tujuan syariat diturunkan) pemenuhan kebutuhan manusia akan makanan dan minuman termasuk dalam kerangka tersebut, seperti hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al’aql dan hifz al-mal (menjaga harta). Islam sendiri telah memilah-milah makanan dan minuman yang dapat dikonsumsi dan yang mana yang tidak. Dengan standar dan syarat yarat makanan yang konsumsi harus halal dan baik. PWBI merupakan persatuan wirid batak Islam yang keanggotannya merupakan para muallaf (baru masuk Islam). Yang notabenanya masih sedikit pemahaman tentang agama Islam. Karena pentingnya pengetahuan tentang kriteria dan syarat makanan halal dalam Islam untuk itu perlu diadakan sosialisasi yang berkaitan dengan permasalahan makanan halal. Hasil pengabdian kepada masyarakat ini memberikan hasil yang positif, terlihat dari respon dan atusias yang baik dari anggota PWBI Kwala Bekala. Dengan adanya kegiatan ini mampu memberikan pemahaman dan wawasan serta pengetahuan yang baik bagi anggota PWBI bagaimana kriteria makanan yang halal dan toyyib (baik) dalam Islam, serta melihat hikmah pengsyariatan makanan yang halal dan baik dalam agama Islam.
HUKUM ZAKAT PROFESI DALAM TINJAUAN MAQASID SYAR’IYAH Muhammad Hizbullah; Haidir Hadir; Yeltriana Yeltriana
TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum Vol 5, No 01 (2023): Januari-Juni 2023
Publisher : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30821/taqnin.v5i01.15369

Abstract

Secara substantif, zakat, infaq, dan sedekah adalah bagian dari mekanisme keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat diambil dari harta orang berkelebihan dan disalurkan kepada orang yang kekurangan. Zakat tidak dimaksudkan untuk memiskinkan orang kaya, juga tidak untuk melecehkan jerih payah orang kaya. Hal ini disebabkan karena zakat diambil dari sebagian kecil hartanya dengan beberapa kriteria tertentu yang wajib dizakati. Oleh karena itu, alokasi dana zakat tidak bisa diberikan secara sembarangan dan hanya dapat disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu.Zakat terbagi dua yaitu zakat fitrah dan zakat harta (mal) dan diantara zakat harta tersebut ulama kontemporer memasukan zakat profesi sebagai salah satu bagian dari zakat harta (mal). Karena kenyataannya membuktikan bahwa banyak pekerja profesi saat ini yang menghasilkan uang cukup besar dan dilakukan dengan cara mudah dan waktu yang relatif singkat. Jika permasalahan ini dikaitkan dengan pelaksanaan zakat yang sudah berjalan dimasyarakat, maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadilan anyata petani yang banyak mencurahkan tenaga tetapi memiliki penghasilan kecil dengan para pekerja profesional yang dalam waktu cepat dapat memperoleh hasil yang cukup besar.Apabila zakat profesi dianologikan dengan zakat hasil pertanian, maka kewajiban mengeluarkan zakat pada saat  mendapatkan penghasilan tanpa harus menunggu sampai nisab. Kemudian jika zakat profesi diqiyaskan dengan zakat emas, maka zakatnya dikeluarkan setelah sampai nishab emas dan harus genap setahun (haul). Karena itu makalah ini ingin menguraikan bagaiman zakat profesi dapat dimasukan kedalam bagian zakat harta.yang wajib dikeluarkan. Yang merupakan rumusan para ulama kontemporer dengan menggali dan melihat dari aspek maqasid syari’yahnya.
Islamic Education Values in Marriage Mandailing Indigenous People Haidir, Haidir; Hizbullah, Muhammad
Al-Hayat: Journal of Islamic Education Vol. 9 No. 1 (2025): Al-Hayat: Journal of Islamic Education
Publisher : LETIGES

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35723/ajie.v9i1.103

Abstract

This study aims to analyze the values of Islamic education in the marriage of the Mandailing community. The main focus of this study is to understand the values of Islamic Education instilled in the marriage of the Mandailing community. This has a vital role as a medium for preserving cultural values for the community while maintaining the values of Islamic Education. A qualitative approach with an ethnographic type is used in this research method, which allows for an in-depth exploration of cultural practices in the marriage of the Mandailing community. Data in this study were collected through observation and interviews with traditional, religious and community leaders of the Mandailing community. The data analysis stage had three main steps: data reduction, data presentation, verification, and conclusion. To ensure the validity of the data, this study applied several validation techniques, such as triangulation of sources and methods, member checks and long-term involvement. Based on the results of the study, it was found that in the marriage of the Mandailing community, ceremonies had been carried out as an effort to preserve the local culture of the community through three events: Event activities before the wedding (pre-wedding), during the wedding (marriage contract), and after the wedding (post-wedding). Pre-wedding has been identified through customary activities before the wedding, namely the custom of marpokkat (makkatai) called family deliberation and welcoming the bride and groom who try to instill moral education values. During the wedding procession (marriage contract), the ijab kabul is guided by the KUA and Penghulu, who instil the values of faith, sharia, and moral education. While in the custom after the wedding, the reception of the groom (who is ready with his traditional clothes), malehan mangan, markobar (man baen hata), and returning to the bride's house has instilled the values of faith, sharia and moral education. This finding provides a new contribution to understanding how Islamic values (faith, sharia, and morals) are internalized through local cultural practices typical of the Mandailing community.
Eksistensi Pesantren: Antara Mencetak Ulama dengan Tarikan Modernitas dan Kebutuhan Ekonomis Haidir; Yuni Shara
Cendekia Vol. 14 No. 01 (2022): Cendekia March 2022
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Billfath

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37850/cendekia.v14i01.254

Abstract

This research actually aims to see the existence of pesantren in the midst of the pull of modernity and the economic needs of the community. Because along with the development of social life which with the progress of the times and the economic needs of the community will change course. We know that at first, pesantren were used as printers for ulama, but now we see not only that and now they have developed into officials, technocrats, businessmen, and others. Therefore, this research was conducted using a qualitative descriptive analysis with a phenomenological approach. Researchers will see firsthand the phenomena that occur in Islamic boarding schools in Medan City. And based on the results of the study it was found: a) The existence of pesantren is the most important thing in the midst of modern human life, therefore people who are economically capable feel proud of their children studying in pesantren, b) They are proud to study in pesantren because the learning system is modern and can continue their education to higher education. General PT, c) The willingness of parents to send their children to Islamic boarding schools because from an economic point of view it is more profitable, for example, in pesantren, the budget is clear, while if their children are sent to public schools, the financing can be greater, because children are freer to use their money.