Siti Romlah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Asas Legalitas vs Hukum Adat: Eksistensi Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Siti Romlah
ADALAH Vol 1, No 12 (2017)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (579.836 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v1i12.11464

Abstract

Indonesia merupakan negara pluralisme, dimana terdapat berbagai macam suku yang tersebar di Indonesia. Suku-suku tersebut tentunya memiliki aturan atau yang biasa disebut dengan hukum adat mereka masing-masing. Hukum tersebut hidup dan dipatuhi dalam masyarakat adat yang tersebar di Indonesia. Bahkan tak jarang dari mereka lebih mematuhi hukum adat dari pada hukum yang dibuat oleh pemerintah, padahal dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan: “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya.”Andi Hamzah dalam bukunya memberikan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pasal tersebut. Pertama, jika suatu perintah maupun larangan ingin dibuat menjadi sesuatu yang dapat dipaksakan dan dapat diancam dengan pidana, maka larangan atau perintah tersebut harus dicantumkan dalam undang-undang pidana. Kedua, hukum tersebut tidak boleh berlaku surut (Hamzah, 2008: 40).Lalu bagaimana dengan kedudukan hukum adat? Apakah hukum adat mengikat atau tidak? Dan hukum manakah yang ia pilih ketika seseorang harus bertanggung jawab secara pidana, namun dirinya sendiri terikat dengan hukum adat? Apakah ia harus dihukum menggunakan hukum konvensional ataukah menggunakan hukum adat yang berlaku?
Kewenangan Melakukan Pembebasan Narapidana Oleh Presiden Siti Romlah
ADALAH Vol 3, No 1 (2019): Keadilan Hukum & Pemerintahan
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1300.157 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v3i1.11266

Abstract

Abstract:Conditional release of prisoners can be given when the convict has fulfilled the terms and conditions that apply in article 82 of Permenkumham Number 3 Year 2018. However, problems arise when the president takes the initiative to provide parole to prisoners, especially terrorism prisoners. Even though there are no provisions in the president's prerogative provisions that directly give authority to the president to be able to release prisoners, except the provisions that require prisoners to file clemency, amnesty, abolition and rehabilitation. Because of this, in this simple article the author conducted a discussion.Keywords: Conditional Release, President's Authority, Terrorism Abstrak:Pembebasan bersyarat terhadap narapidana dapat diberikan pada saat terpidana telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku pada pasal 82 Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018. Namun, permasalahan muncul pada saat presiden berinisiatif untuk memberikan pembebasan bersyarat terhadap narapidana khususnya narapidana terorisme. Padahal dalam ketentuan mengenai hak prerogatif presiden tidak ada ketentuan yang secara langsung memberikan kewenangan kepada presiden untuk dapat membebaskan narapidana. Kecuali ketentuan yang mensyaratkan narapidana mengajukan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Karena hal inilah, dalam artikel sederhana ini penulis melakukan pembahasan. Kata Kunci: Pembebasan Bersyarat, Kewenangan Presiden, Terorisme   
Frase ‘Antara Lain’ Sebagai Awal Alasan Yang Lain Dalam Pembatalan Putusan Arbitrase Siti Romlah
ADALAH Vol 1, No 9 (2017)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (382.821 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v1i9.11328

Abstract

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan manusia lainnya untuk bertahan hidup.Oleh sebab itulah Aristoteles menyebut manusia dengan “zoon politicon.” Memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa manusia memang tidak akan mampu untuk hidup sendiri, mereka akan mencari teman yang akan membantu diri mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun, dalam dinamika sosial tersebut, manusia tak jarang untuk mengedepankan kebutuhan mereka dibanding dengan manusia lainnya, karena sifat egosentris yang mereka miliki.Karena itu juga Thomas Hobbes menyebut manusia dengan Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya). Sifat egosentris merekalah yang terkadang menimbulkan perbedaan dan perselisihan antar sesama manusia, atau yang disebut dengan sengketa.Sengketa dalam KBBI edisi V diartikan dengan perbedaan pendapat, pertikaian, perselisihan. Terdapat dua macam cara untuk menyelesaikan suatu sengketa, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu proses penyelesaian sengketa, dimana kedua pihak yang saling bersengketa dihadapkan atau penyelesaian sengketanya dilakukan di pengadilan (Winarta, 2012: 1-2). Sedangkan yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan.  Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat berbentuk konsultasi, negosiasi, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian di luar pengadilan. Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kekuatan dari putusan arbitrase juga final dan binding, serta dilakukan secara tertutup, sehingga banyak pelaku-pelaku usaha yang lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan menggunakan arbitrase. Hal tersebut terjadi karena banyak perusahaan-perusahaan yang ingin menjaga nama baik perusahaan mereka. Muhammad Ardyansah dalam tulisannya menyebutkan bahwa:“...tidak semua putusan yang dihasilkan melalui arbitrase akan memberikan kepuasan kepada para pihak. Ada kalanya putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak. Hal itu bisa disebabkan karena ada hal-hal dalam putusan sengketa diragukan keabsahannya atau ada alasan lain. Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran yang besar dalam mengembangkan arbitrase (Andriansyah, 2014: 332).”Hal-hal yang dapat menjadi alasan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase, telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu, pertama; adanya surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diketahui ternyata dokumen atau surat tersebut palsu atau dinyatakan palsu; kedua, setelah adanya putusan arbitrase, ternyata ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh salah satu  pihak; ketiga, setelah adanya putusan arbitrase, ternyata diketahui bahwa terdapat tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Namun, yang menjadi permasalahan adalah dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan unsur-unsur yang diperlukan untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase, dengan frasa “antara lain.”Ilhami Ginang Pratidina menyebutkan dalam tulisannya “Frase ‘antara lain’ memiliki makna yang identik dengan terminologi ‘inter alia’ yang berarti ‘[a]mong other things’ atau menyebut sebagian saja dari beberapa yang lain” (Pratidina, 2014: 311). Hal ini memberikan implikasi bahwa selain dari pada yang disebut dalam pasal 70 tersebut, berarti ada hal-hal lain yang dapat menjadi alasan lain untuk membatalkan putusan arbitrase. Dalam kenyataan, hal tersebut sudah pernah terjadi dan menjadi pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung dalam perkara No. 03/Arb.Btl/2005 tanggal 17 Mei 2006.Frasa ‘antara lain’ tersebut sebaiknya harus segera diubah, agar nantinya tidak sembarangan dipergunakan untuk memasukkan alasan-alasan lain yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 harus segera di revisi, bukan hanya permasalahan ini, namun juga dikarnakan banyak pasal-pasal yang sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman yang terjadi.
Pencabutan Izin Usaha Penyelenggaraan Ibadah Umrah Siti Romlah
ADALAH Vol 1, No 11 (2017)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (467.565 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v1i11.11435

Abstract

Indonesia sebagai salah satu negara mayoritas muslim di dunia, tentunya selalu mengirimkan jamaah umrah setiap tahunnya, karena umrah juga merupakan salah satu bentuk ibadah umat muslim kepada Allah. Data dari BPS pada tahun 2015 menyatakan bahwa minat masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah umrah sangat tinggi dan mencapai 154.455 orang yang berangkat umrah setiap tahunnya. Salman Maggalatung menyebutkan beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab meningkatnya minat masyarakat Indonesia terhadap umrah, yaitu 1) meningkatnya kesadaran religius yang disertai dengan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia, 2) biaya untuk melakukan ibadah umrah tidak terlalu besar dibandingkan dengan biaya haji, 3) peran media elektronik dalam mempromosikan ibadah umrah dan, 4) banyaknya promosi-promosi yang dilakukan oleh penyelenggara ibadah umrah (Maggalatung, 2017: 173-176).
Nasib Korban Kejahatan Korporasi Siti Romlah
ADALAH Vol 1, No 8 (2017)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (619.335 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v1i8.11322

Abstract

Perkembangan industri di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Pada tahun 2013, pertumbuhan perindustrian di Indonesia mencapai 7%(www.kemenperin.go.id). Bahkan e koran detik.com yang mendapatkan data dari BPS, menyebutkan bahwa terdapat 3,98 juta perusahaan baru di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (https://m.detik.com). Dengan cepatnya perkembangan tersebut, tentunya banyak sekali permasalahan-permasalahan yang muncul kepermukaan. Salah satu permasalahan korporasi yang paling vital adalah, tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, karena korban dan dampak yang ditimbulkannya cakupannya lebih luas dari pada kejahatan yang lain.Black's law dictionary menyebutkan bahwa kejahatan korporasi adalah setiap tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan karena kegiatan petugas atau karyawannya (Herry Sampel Black, 1990: 339). Kejahatan korporasi menimbulkan korban dan akibat yang lebih luas cakupannya. Namun, hingga saat ini pun, belum ada undang-undang yang mengatur tentang pertanggung jawaban dari korporasi terhadap korban-korban yang ditimbulkan. Jimmy Tawalujan menyebutkan bahwa pertanggung jawaban korporasi belum diatur di Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena belum diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana. KUHP hingga saat ini masih menganut paham bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia (Jimmy Tawalujan, 2012: 7). Dengan belum adanya regulasi yang mengatur perihal pertanggung jawaban kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, banyak kejahatan-kejahatan korporasi yang merajalela, seperti kejahatan terhadap kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia, PT. Newmont Minahasa  dan laninnya (www.walhi.org.id). Padahal, kerugian yang diterima oleh para korban begitu besar, baik kerugian materiil maupun kerugian immateriil.Sunardi, sebagaimana dikutip oleh Agus Sulaeman dan Umar Ma’arif mengatakan bahwa, “pengaturan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana harus jelas dan tegas dengan mencantumkan secara autentik dalam ketentuan umum KUHP yang sekarang sedang diperbaharui sehingga ketentuan di luar KUHP harus mengikutinya (Agus Sulaeman dan Umar Ma’arif, 2017: 389).Tidak diaturnya korporasi sebagai subjek hukum di dalam KUHP, merupakan salah satu hal yang patut kita kaji kembali dan Merupakan hal yang harus kita antisipasi bersama. Pasal 59 KUHP hanya menyebutkan bahwa: “Dalam hal-hal di mana ditentukan pidana  karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana.” Jika memahami pasal tersebut, jelas bahwa KUHP hanya sebatas mengatur tentang pertanggung jawaban terhadap individunya, bukan kepada korporasi. Pembatasan itulah yang dijadikan tameng oleh para pelaku, dengan mengatasnamakan namakan korporasi, mereka dapat bebas dari jeratan hukum dan mereka dapat lari dari segala pertanggung jawaban kepada para korban.Memasukkan korporasi sebagai salah satu subjek hukum ke dalam rancangan KUHP merupakan suatu urgensi nyata saat ini. Hal tersebut sangat diperlukan, guna mencegah dan adanya kejahatan korporasi di masa mendatang dan memberikan kejelasan pertanggung jawaban korporasi kepada para korban.Sahuri sebagaimana dikutip oleh Agus Sularman dan Umar Ma'ruf menyebutkan bahwa terdaat 4 permasalahan pertanggung jawaban korporasi yang perlu diatur, yaitu : (1), masalah rumusan perbuatan yang dilarang; (2), masalalah penentuan kesalahan korporasi; (3) masalah penetapan sanksi terhadap korporasi; dan (4) sifat pertanggungjawaban korporasi (Agus Sularman dan Umar Ma’arif, 2017: 388). Indonesia harus segera memiliki pengaturan jelas mengenai pertanggung jawaban korporasi kepada korban, agar tidak ada lagi korban yang menderita.
OVERVIEW OF INDONESIAN LAW AND INTERNATIONAL LAW ON TERRORISM AS AN EXTRAORDINARY CRIME Nur Rohim Yunus; Siti Romlah; Siti Nurhalimah; Latipah Nasution
JHR (Jurnal Hukum Replik) Vol 10, No 1 (2022): JURNAL HUKUM REPLIK
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31000/jhr.v10i1.5921

Abstract

In terms of unusual crimes, terrorism is one of the most heinous acts. One only needs to look at the crimes that have been committed across national borders to recognize how devastating they can be for the victims and their families. The research method employed in this study is a combination of the Statute Approach and the Literature Approach. Since there are a variety of criminal activities that have been branded as terrorist crimes yet their perpetrators' goals and backgrounds differ, there is no agreed-upon definition of terrorism, according to a study. As an example of a crime that has been condemned as an act of international terrorism at the national level, the WTO event of September 11, 2001, and the Bali Bombing incident of 2002 come to mind. Therefore, it is imperative that all parties, including legal professionals, agree on the limitations of terrorism, as well as work together to prevent this unique crime from occurring.Keywords: Terrorism; National Law; International law; Extraordinary Crime
Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Kepailitan Syariah Di Pengadilan Agama Siti Romlah
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 10, No 1 (2023)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i4.26634

Abstract

Even though it has been more than 15 years that the authority to resolve Islamic economic disputes has become the absolute authority of the religious courts, the actualization and practice of this authority is still being debated both among practitioners and academics. This study aims to examine the capacity of the religious courts in resolving sharia economic disputes which are analyzed based on the effectiveness theory of Lawrence M. Friedmann. Especially with regard to the authority to resolve sharia economic disputes, especially in the field of arbitration and bankruptcy dispute resolution. This research uses normative juridical research methods. The results of the study stated that tracing legal elements regarding the resolution of sharia economic disputes related to arbitration and bankruptcy in the religious courts can be seen that the authority of the religious courts in resolving sharia economic disputes related to arbitration has been effective in contrast to the resolution of sharia economic disputes related to bankruptcy which looks less effective. This is due to the lack of legal instruments (substance) governing bankruptcy settlement with regard to sharia economics in the religious courts as well as people's preferences that are still oriented towards commercial courts.Keywords: Sharia Economic Dispute Resolution; Sharia Arbitration; Bankruptcy and PKPU; Religious Court AbstrakMeski sudah lebih dari 15 tahun kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama, namun aktualisasi dan praktik dari kewenangan tersebut masih menjadi perdebatan baik di kalangan praktisi dan akademisi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kapasitas pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang dianalisis berdasarkan teori efektivitas Lawrence M. Friedmann. Terlebih terkait kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah khususnya di bidang penyelesaian sengketa arbitrase dan pailit. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa penelusuran unsur-unsur hukum mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait arbitrase dan kepailitan di peradilan agama dapat terlihat bahwa kewenangan peradilan agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait arbitrase telah berjalan efektif berbeda dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait kepailitan yang terlihat kurang efektif. Hal tersebut disebabkan kurangnya instrumen hukum (substance) yang mengatur mengenai penyelesaian kepailitan berkenaan dengan ekonomi syariah di peradilan agama serta preferensi masyarakat yang masih berkiblat kepada pengadilan niaga.Kata Kunci: Sengketa Ekonomi Syariah; Arbitrase Syariah; Kepailitan dan PKPU; PA
Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Kepailitan Syariah Di Pengadilan Agama Siti Romlah
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 10, No 1 (2023)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i4.26634

Abstract

Even though it has been more than 15 years that the authority to resolve Islamic economic disputes has become the absolute authority of the religious courts, the actualization and practice of this authority is still being debated both among practitioners and academics. This study aims to examine the capacity of the religious courts in resolving sharia economic disputes which are analyzed based on the effectiveness theory of Lawrence M. Friedmann. Especially with regard to the authority to resolve sharia economic disputes, especially in the field of arbitration and bankruptcy dispute resolution. This research uses normative juridical research methods. The results of the study stated that tracing legal elements regarding the resolution of sharia economic disputes related to arbitration and bankruptcy in the religious courts can be seen that the authority of the religious courts in resolving sharia economic disputes related to arbitration has been effective in contrast to the resolution of sharia economic disputes related to bankruptcy which looks less effective. This is due to the lack of legal instruments (substance) governing bankruptcy settlement with regard to sharia economics in the religious courts as well as people's preferences that are still oriented towards commercial courts.Keywords: Sharia Economic Dispute Resolution; Sharia Arbitration; Bankruptcy and PKPU; Religious Court AbstrakMeski sudah lebih dari 15 tahun kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama, namun aktualisasi dan praktik dari kewenangan tersebut masih menjadi perdebatan baik di kalangan praktisi dan akademisi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kapasitas pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang dianalisis berdasarkan teori efektivitas Lawrence M. Friedmann. Terlebih terkait kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah khususnya di bidang penyelesaian sengketa arbitrase dan pailit. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa penelusuran unsur-unsur hukum mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait arbitrase dan kepailitan di peradilan agama dapat terlihat bahwa kewenangan peradilan agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait arbitrase telah berjalan efektif berbeda dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait kepailitan yang terlihat kurang efektif. Hal tersebut disebabkan kurangnya instrumen hukum (substance) yang mengatur mengenai penyelesaian kepailitan berkenaan dengan ekonomi syariah di peradilan agama serta preferensi masyarakat yang masih berkiblat kepada pengadilan niaga.Kata Kunci: Sengketa Ekonomi Syariah; Arbitrase Syariah; Kepailitan dan PKPU; PA