Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Frekuensi kelainan dento skeletal dengan penanganan bedah ortognatik dan osteodistraksi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2012-2017 Arina Sani Nafisa; Abel Tasman Yuza; Seto Adiantoro Sadputranto
Padjadjaran Journal of Dental Researchers and Students Vol 2, No 2 (2018): Oktober 2018
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/pjdrs.v2i2.21446

Abstract

Pendahuluan: Kelainan dento skeletal adalah kelainan pada gigi geligi yang berdampak pada gangguan fungsi rahang, hubungan gigi dan penampilan wajah. Pada kelainan dento skeletal penggunaan alat ortodontik memiliki keterbatasan dalam mengoreksinya sehingga dibutuhkan perawatan bedah. Bedah ortognatik dan osteodistraksi merupakan pilihan perawatan yang dapat dijalani.. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran serta jumlah kelainan dento skeletal dengan penanganan bedah ortognatik dan osteodistraksi di SMF Bedah Mulut dan Maksilofasial pada periode 2012 – 2017. Metode: Jenis penelitian adalah dekriptif retrospektif. Sampel penelitian adalah rekam medis pasien kasus kelainan dento skeletal dengan penanganan bedah ortognatik dan osteodistraksi di  SMF Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2012 – 2017 yang dipilih dengan pendekatan purposive sampling. Hasil: Kelainan dento skeletal dengan jumlah kasus penanganan bedah ortognatik paling banyak terjadi pada tahun 2017, berjumlah 19 kasus. Jumlah kasus penanganan osteodistraksi paling banyak terjadi pada tahun 2017, sebanyak 2 kasus. Teknik pembedahan ortognatik yang paling sering digunakan adalah kombinasi Le Fort 1 dan BSSO yaitu sebanyak 64,11% sedangkan untuk teknik pembedahan osteodistraksi yang paling sering digunakan adalah teknik distraksi maksila sebanyak 50%. Simpulan: Pasien kelainan dento skeletal pada RSUP Hasan Sadikin periode 2012 -2017 yang ditangani dengan bedah ortognati sebanyak 39 orang (24%) dan sebanyak 4 orang (2,5%) ditangani dengan osteodistraksi.Kata kunci: Kelainan dento skeletal, bedah ortognatik, bedah osteodistraksi.
Perbedaan fungsi oral dan ekspresi interleukin-10 pasca odontektomi dengan menggunakan mikromotor dan piezosurgeryDifferences in oral function and interleukin-10 expression post odontectomy using micromotors and piezosurgery Jihad Harun Sandiah; Andri Hardianto; Abel Tasman Yuza; Indra Hadikrishna
Padjadjaran Journal of Dental Researchers and Students Vol 4, No 1 (2020): April 2020
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/pjdrs.v4i1.25683

Abstract

Pendahuluan: Salah satu langkah paling kritis dan krusial dalam odontektomi adalah osteotomi menggunakan instrumen putar. Instrumen putar piezosurgery (Mectron) ultrasound adalah alat bedah baru pada bedah oral dan kraniomaksilofasial. Inflamasi selalu berkaitan dengan odentektomi dan interleukin-10 (IL-10) adalah salah satu sitokin anti inflamasi yang berfungsi menghambat produksi beberapa jenis sitokin lain sebagai indikator anti inflamasi pasca operasi. Tujuan penelitian menganalisis efektivitas unit mikromotor dibandingkan dengan unit piezosurgery saat melakukan odontektomi molar ketiga bawah melalui penilaian keterbatasan fungsi oral dan tingkat ekspresi interleukin-10. Metode: Penelitian dilakukan pada 20 pasien di Instalasi Bedah Minor Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unpad yang akan dilakukan odontektomi. Kelompok pertama yaitu pasien odontektomi dengan menggunakan mikromotor. Kelompok dua yaitu pasien odontektomi dengan menggunakan piezosurgery. Masing-masing kelompok mengisi kuisioner keterbatasan fungsi oral pada hari ketiga dan hari ketujuh setelah dilakukan odontektomi dan dilakukan pengambilan sampel darah dari vena brakialis setelah odontektomi pada hari ketiga dan tindakan odontektomi dilakukan dengan anastesi lokal. Hasil: Perbandingan antara kelompok I dan kelompok II, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada penilaian keterbatasan fungsi oral untuk setiap waktu evaluasi, dan ekspresi interleukin-10 (IL-10) menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan, rata-rata IL-10 mikromotor lebih rendah dibandingkan dengan IL-10 piezosurgery. Simpulan: Tidak terdapat perbedaan pada keterbatasan fungsi oral, namun terdapat perbedaan ekspresi IL-10 pasca odontektomi dengan menggunakan mikromotor dibandingkan dengan menggunakan piezosurgery.Kata Kunci: Odontektomi, mikromotor, piezosurgery, keterbatasan fungsi oral, interleukin-10. ABSTRACTIntroduction: One of the most critical and crucial steps in odontectomy is osteotomy using a rotary instrument. The ultrasound piezosurgery (Mectron) rotary instrument is a new surgical tool in oral and craniomaxillofacial surgery. Inflammation is always associated with odentectomy and interleukin-10 (IL-10) is one of the anti-inflammatory cytokines which functions to inhibit the production of several other types of cytokines as indicators of postoperative anti-inflammatory. This study was aimed to analyse the effectiveness of micromotor units compared to piezosurgery units when performing odontectomy of lower third molars through an assessment of limited oral function and the level of expression of interleukin-10. Methods: The study was conducted on 20 patients in Universitas Padjadjaran Dental Hospital Oral and Maxillofacial Installation who will undergo odontectomy. The first group was odontectomy patients using micromotor. The second group was odontectomy patients using piezosurgery. Each group filled out a questionnaire of limited oral function on the third day and the seventh day after an odontectomy and a blood sample was taken from the brachial vein after odontectomy on the third day, and the odontectomy was performed under local anaesthesia. Results: Comparison between group I and group II, showed no significant difference in the evaluation of oral function limitations for each evaluation time, and the expression of interleukin-10 (IL-10) showed that there were significant differences, the average IL-10 micromotor was more low compared to IL-10 piezosurgery. Conclusion: There is no difference in the limitation of oral function, but there are differences in the expression of IL-10 after odontectomy using micromotor compared to using piezosurgery.Keywords: Odontectomy, micromotor, piezosurgery, limited oral function, interleukin-10.
Penatalaksanaan kasus kegawatdaruratan fraktur dentoalveolar pada pasien usia lanjut dengan penyakit sistemikManagement of emergency case of dentoalveolar fractures in elderly patients with systemic disease Ariyanto Suryo Karyono; Winarno Priyanto; Abel Tasman Yuza; Fathurachman Fathurachman
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 30, No 3 (2018): Desember
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (516.889 KB) | DOI: 10.24198/jkg.v30i3.20017

Abstract

Pendahuluan: Fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolarnya disebabkan trauma. Cedera yang terjadi dapat hanya mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada usia lanjut yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistem. Penanganan kegawatdaruratan fraktur dentoalveolar pada usia lanjut dengan penyakit sistemik membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat serta membutuhkan tindakan kooperatif pasien. Tujuan laporan kasus ini adalah memaparkan dan mendiskusikan penatalaksanaan kegawatdaruratan yang cepat dan tepat serta penutupan luka pada pasien usia lanjut dengan fraktur dentoalveolar disertai penyakit sistemik. Laporan Kasus: Seorang perempuan usia 72 tahun datang dengan keluhan perdarahan pada mulut. Riwayat trauma pasien sedang berjalan di dalam rumahnya, tiba-tiba ptergelincir dan terjatuh dengan mekanisme mulut membentur lantai terlebih dahulu. Riwayat penyakit sistemik penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Pasien mengonsumsi obat aspilet, metformin, allopurinol, spironolactone, rosuvastatin calcium. Pemeriksaan klinis terdapat fraktur dentoalveolar. Pasien terlebih dahulu di konsul ke Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam karena pasien menderita penyakit sistemik dan mengonsumsi obat antikoagulan. Pengobatan selanjutnya melakukan ekstraksi gigi, irigasi luka dan penjahitan luka dengan menggunakan anastesi lokal Lidokain murni. Medikasi dengan pemberian Amoxicillin tablet 500 mg, Ranitidin tablet 150 mg, Ibuprofen tablet 400 mg dan penyuntikan Serum Anti-Tetanus. Simpulan: Penatalaksanaan kasus kegawatdaruratan fraktur dentoalveolar pada pasien usia lanjut dengan penyakit sistemik dengan segera dan cepat disertai dengan konsul ke Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam untuk meminimalisir risiko kegawatdaruratan. Pengobatan fraktur dentoalveolar berupa ekstraksi gigi, irigasi luka dan  penjahitan luka menggunakan anastesi lokal serta medikasi antibiotik, anti nyeri dan penyuntikan serum anti tetanus disertai pendekatan psikologis dapat menyembuhkan kondisi pasien dalam 7 hari.Kata kunci: Fraktur dentoalveolar, usia lanjut, penyakit sistemik. ABSTRACT            Introduction: Dentoalveolar fractures are damage or rupture of the hard tissue continuity in the dental structure and alveoli caused by trauma. Injuries can be occurred only in the teeth and their supporting structures as in older adults with trauma from falls, or associated with multisystem injuries. Management of emergency cases of dentoalveolar fractures in elderly patients with systemic diseases requires prompt and precise action and requires the patient’s cooperative effort. The purpose of this case report was to describe and discuss the prompt and precise management of emergency case and wound closure of dentoalveolar fractures in elderly patients with systemic disease. Case report: A 72-years-old woman presented with the chief complaint of mouth-bleeding. The patient's trauma history was walking inside her house, suddenly slipping and falling with the mechanism of her mouth hitting the floor first — history of systemic diseases were heart disease, hypertension, and diabetes mellitus since 10 years before. The patient was under the treatment of Aspilets™, metformin, allopurinol, spironolactone, and rosuvastatin calcium. Clinical examination result was a dentoalveolar fracture. The patient was being consulted first by an internist due to her systemic disease and was administered with anticoagulant medication. Treatments performed afterwards were tooth extraction, wound irrigation, and wound suturing using a pure lidocaine local anaesthesia. Medications administered were 500 mg of amoxicillin tablets, 150 mg of ranitidine tablets, 400 mg of ibuprofen tablets, and an anti-tetanus serum injection. Conclusion: The prompt and precise management of emergency cases of dentoalveolar fractures in elderly patients with systemic diseases was performed with a consulting to an internist to minimise the emerging risks. Treatment of dentoalveolar fractures was consisted of tooth extraction, wound irrigation, and suturing using a local anaesthetics and administration of antibiotics, analgesics, and anti-tetanus serum injection, along with psychological approaches was proven to be able to heal the patient's condition in 7 days.Keywords: Dentoalveolar fractures, elderly patients, systemic disease.
Impaksi gigi molar tiga rahang bawah dan sefalgiaMandibular third molar impaction and cephalgia Amalia Meisya Fitri; Alwin Kasim; Abel Tasman Yuza
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 28, No 3 (2016): Desember
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.092 KB) | DOI: 10.24198/jkg.v28i3.18691

Abstract

Pendahuluan: Impaksi yang sering terjadi adalah pada gigi molar tiga pada rahang bawah. Penderita biasanya mengeluhkan sefalgia yang dirasakan bersamaan dengan erupsi molar tiga tersebut. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui besar prevalensi impaksi molar tiga rahang bawah yang disertai sefalgia dan seberapa besar frekuensi sefalgia yang terjadi berdasarkan posisi impaksi klasifikasi Pell dan Gregory serta klasifikasi Winter. Metode: Penelitian menggunakan metode deskriptif terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Univesitas Padjadjaran angkatan 2010 yang masuk dalam kriteria inklusi akan dilakukan foto panoramik untuk melihat klasifikasi impaksi. Sampel kemudian diminta untuk mengisi kuesioner penelitian. Hasil: Hasil penelitian menunjukan dari 100 orang sampel yang mengeluhkan impaksi sebanyak 58 orang, tetapi hanya 15 orang mahasiswa saja yang memasuki kriteria inklusi yaitu murni mengalami sefalgia yang berasal dari gigi impaksi. Simpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah prevalensi impaksi molar tiga rahang bawah yang disertai sefalgia sebanyak 25,86%. Posisi A merupakan posisi pada klasifikasi Pell dan Gregory yang paling banyak mengakibatkan sefalgia. Berdasarkan klasifikasi Winter, impaksi horizontal merupakan yang paling banyak mengakibatkan sefalgia.Kata kunci: Impaksi, sefalgia. ABSTRACTIntroduction: Frequent impaction is in the lower third molars. Patients usually complain of cephalgia which is felt along with the eruption of the third molar. The purpose of this study was to determine the prevalence of lower third molar impaction accompanied by cephalgia and how much the frequency of cephalgia occurred based on Pell and Gregory classification impaction position and Winter classification. Methods: The study used descriptive method for FKG students of Padjadjaran University 2010 class which included in the inclusion criteria, panoramic photos were taken to see the classification of impactions. The sample was then asked to fill out the research questionnaire. Results: The results showed that out of 100 samples who complained of impaction as many as 58 people, but only 15 students who entered the inclusion criteria were purely experiencing cephalgia from impacted teeth. Conclusion: The conclusion of this study is the prevalence of lower third molar impaction accompanied by cephalgia as much as 25.86%. Position A is the position in the classification of Pell and Gregory which most often results in cephalgia. Based on Winter’s classification, horizontal impaction is the most common cause of cephalgia.Keywords: Impaction, cephalgia.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan evakuasi benda asing pada regio oral maksilofasialEmergency management of corpus alienum evacuation in the oral maxillofacial region Ickman Setoaji Wibowo; Abel Tasman Yuza; Asri Arumsari; Renaldi Prasetia
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 32, No 2 (2020): November 2020 (Suplemen 1)
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v32i2.29819

Abstract

ABSTRAKPendahuluan: Benda asing yang menusuk pada daerah oral maksilofasial dapat disebabkan oleh trauma ataupun faktor iatrogenik. Kecelakaan olahraga merupakan salah satu etiologi terjadinya luka penetrasi. Setiap benda asing yang berpenetrasi pada jaringan lunak di daerah oral maksilofasial harus segera dilakukan evakuasi untuk mencegah terjadinya infeksi. Tujuan laporan kasus ini menyampaikan penatalaksanaan kegawatdaruratan evakuasi benda asing pada regio oral maksilofasial. Laporan kasus: Kasus ini terjadi pada seorang atlet anggar laki-laki dengan usia 16 tahun dibawa ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan kondisi pedang anggar tertancap di dalam mulutnya. Kecelakaan terjadi 2 jam sebelum masuk rumah sakit ketika latihan bersama dengan lawan tanding di daerah Antapani tanpa menggunakan pelindung wajah. Pedang lawan tanding menusuk dan menancap pada mulut pasien. Pemeriksaan klinis dan penunjang berupa foto rontgen dilakukan sebelum tindakan evakuasi pada pasien. Pedang kemudian di evakuasi secara anestesi lokal dan dilakukan penutupan luka. Kontrol dilakukan pada hari ke-7 pasca tindakan. Simpulan: Penatalaksanaan kegawatdaruratan evakuasi benda asing pada regio oral maksilofasial yang cepat dan tepat dibutuhkan untuk keberhasilan penyembuhan pasien seperti tampak pada saat kontrol hari ketujuh yang menunjukkan perbaikan tanpa komplikasi.Kata kunci: Evakuasi, gawat darurat, benda asing, oral maksilofasial.  ABSTRACTIntroduction: Corpus alienum (foreign object) which stabbing the oral maxillofacial area can be caused by the trauma or iatrogenic factors. Sports accidents are one of the aetiologies of the penetration wound. Any foreign objects that penetrate the soft tissue in the oral maxillofacial area should be evacuated immediately to prevent infection. This case report was aimed to address the emergency management of corpus alienum evacuation in the oral maxillofacial region. Case report: This case occurred when a male fencing athlete aged 16-years-old was taken to the emergency department of Dr Hasan Sadikin Hospital Bandung, with a fencing sword stuck in his mouth. The accident occurred 2 hours before being admitted to the hospital while training together with opponents in the Antapani area without wearing face shields. The opponent's sword stabbed and penetrated the patient's mouth. Clinical and supporting examinations in the form of X-rays were performed prior to the patients’ evacuation. The sword was then evacuated under local anaesthesia, and the wound closure was performed. Control was carried out on the 7th-day post-treatment. Conclusion: Fast and precise emergency management of corpus alienum evacuation in the oral maxillofacial region is needed for the successful healing of the patient as seen on the seventh day of control which showed improvement without complications.Keywords: Evacuation, emergency department, corpus alienum, oral maxillofacial.
Tingkat pengetahuan dan pengalaman dokter gigi di Kota Bandung dalam penanganan darurat fraktur dentoalveolarKnowledge and experience level of dentists in the emergency management of dentoalveolar fractures Refiga Andistiara; Endang Sjamsudin; Abel Tasman Yuza
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 34, No 3 (2022): Desember 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v34i3.39360

Abstract

ABSTRAKPendahuluan: Fraktur dentoalveolar merupakan trauma yang paling umum terjadi pada wajah dibandingkan dengan semua trauma yang terjadi pada wajah. Fraktur dentoalveolar memiliki dampak buruk bagi pasien jika tidak diberikan perawatan yang memadai. Perawatan fraktur dentoalveolar merupakan prosedur kompleks yang butuh pengetahuan, diagnosis, dan rencana perawatan yang akurat dari seorang dokter gigi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengetahuan dan pengalaman dokter gigi dalam penanganan darurat fraktur dentoalveolar. Metode: Jenis penelitian cross-sectional  dengan teknik pengambilan sampel proportionate stratified random sampling. Penelitian dilakukan terhadap 306 responden yaitu dokter gigi umum, dokter gigi residen, dan dokter gigi spesialis di Kota Bandung. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan 15 pertanyaan untuk mengukur pengetahuan dan 3 pertanyaan untuk mengetahui pengalaman dokter gigi. Analisis data menggunakan Microsoft excel dan disajikan dalam bentuk tabel, tingkat pengetahuan menggunakan kategori Arikunto. Hasil: Untuk tingkat pengetahuan, sebanyak 3 responden (1%) memiliki tingkat pengetahuan kurang, 78 responden (25%) pada kategori cukup, dan 225 responden (75%) pada kategori baik. Pengalaman dokter gigi dalam menemukan kasus fraktur dentoalveolar 1-5 kali selama praktik, pengalaman tindakan yang dilakukan adalah perdarahan dihentikan lalu segera dirujuk, dan mayoritas dokter gigi tidak pernah mengikuti pelatihan darurat fraktur dentoalveolar. Simpulan: Tingkat pengetahuan dokter gigi di Kota Bandung dalam penanganan darurat fraktur dentoalveolar secara keseluruhan berada dalam kategori baik. Pengalaman dokter gigi dalam menjumpai kasus fraktur dentoalveolar cukup sedikit selama praktik dengan kasus terbanyak menghentikan perdarahan dan segera dirujuk serta tanpa adanya pengalaman dalam mengikuti pelatihan perawatan fraktur dentoalveolar.Kata kunci: fraktur dentoalveolar; pengetahuan dokter gigi; pengalaman dokter gigi; cedera gigi traumatis ABSTRACTIntroduction: Dentoalveolar fractures are the most common trauma compared to all traumas to the face. It harms the patient if they do not have adequate treatment. Dentoalveolar fractures are a complex procedure requiring a dentist knowledge, diagnosis, and an accurate treatment plan. This study aimed to determine dentist knowledge and experience level in emergency management of dentoalveolar fractures. Methods: Cross-sectional using a proportionate stratified random sampling technique. The study was conducted on 306 respondents, namely general dentists, resident dentists, and specialist dentists in Bandung. The research used a questionnaire with 15 questions to measure knowledge and 3 questions to determine the experience of dentists. Data analysis was performed using Microsoft Excel and presented as a frequency distribution table. the level knowledge categorized using arikunto. Results: For the level of knowledge, as many as 3 respondents (1%) had a low level of knowledge, 78 respondents (25%) in the good category, and 225 respondents (75%) in the good category. When dentist found cases of dentoalveolar fracture 1-5 times during practice, dentists stopped bleeding and referred immediately, but most dentists never participated in emergency dentoalveolar fracture training. Conclusion: Bandung Dentists’ knowledge in handling dentoalveolar fractures is good. The experience of dentists in cases of dentoalveolar fractures is relatively small during practice, with most cases stopping bleeding and referred immediately without any experience participating in dentoalveolar fracture treatment training.Keywords: Dentoalveolar fracture; dentist knowledge; dentist experience; traumatic dental injury
Penatalaksanaan ameloblastoma acanthomatous mixed with follicular seukuran bola basket - 15 tahun tanpa perawatan : Laporan kasus Reiner Avelino Simarmata; Seto Adiantoro; Abel Tasman Yuza; Kiki Achmad
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 35, No 1 (2023): April 2023
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v35i1.41675

Abstract

ABSTRAK         Pendahuluan: Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik jinak berasal dari epitel yang menunjukkan karakter agresif lokal dengan tingkat kekambuhan yang tinggi. Lesi dengan ukuran yang cukup besar maupun lesi agresif memerlukan adanya pendekatan bedah yang radikal. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas penatalaksanaan komprehensif ameloblastoma acanthomatous mixed with follicular. Laporan kasus: Seorang pasien laki-laki berusia 58 tahun dengan keluhan utama benjolan sebesar bola basket pada rahang bawah kanan dengan gambaran klinis kenyal, tidak nyeri, berwarna merah muda sama dengan jaringan sekitarnya dan tidak mudah berdarah. CT (Computed tomography) Scan kepala menunjukkan massa solid dengan gambaran mixed radiolusen dan radiopak yang besar diantara matriks jaringan lunak disertai destruksi tulang mandibula. Pasien dilakukan tindakan hemimandibulektomi dan eksisi luas diikuti dengan penutupan primer. Hasil pemeriksaan patologi anatomi baik sebelum dan sesudah operasi menunjukkan gambaran yang sama yaitu ameloblastoma acanthomatous mixed with follicular. Tatalaksana post operatif diobservasi pada Unit Perawatan Intensif karena perdarahan massive selama operasi. Dengan mempertimbangkan patensi airway, diputuskan juga untuk melakukan percutaneous dilatational tracheostomy untuk mencegah ventilator acquired pneumonia pada pasien, serta follow up berkala dilakukan hingga saat ini. Simpulan: Ameloblastoma acanthomatous mixed with follicular tanpa adanya perawatan selama beberapa tahun menunjukkan potensi pertumbuhan yang tidak terbatas mengakibatkan deformitas wajah yang signifikan. Penatalaksanaan dengan intervensi bedah dan follow up pasca operasi diperlukan untuk mencegah ekspansi lebih lanjut dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Kata kunci: ameloblastoma acanthomatous, hemimandibulektomi, eksisi, kualitas hidup Management of a acanthomatous mixed with follicular ameloblastomaABSTRACT Introduction: Ameloblastoma is a benign odontogenic tumor of epithelial origin that exhibits a locally aggressive behavior with a high level of recurrence. Especially larger, aggressive lesions require a more radical surgical approach. The aim of this case report is to discuss the comprehensive management of an extremely large acanthomatous mixed with follicular ameloblastoma. Case report: In this case report, a 58 years old male patient with chief complain of a basketball size lump on his right lower jaw, with painless, same color with the surrounding tissue, firm, and non- bleeding characteristic on the clinical findings. Head CT Scan showed a large solid mass with radiolucent and radiopaque among soft tissue matrix with destruction of the mandible bone. The patient went for wide excision with hemimandibulectomy followed by primary closure of the lesion. Both prior and after the surgery showed the same pathological result which was acanthomatous mixed with follicular ameloblastoma. The post operative management was monitored in Intensive Care Unit due to an excessive bleeding during the surgery. Considering the airway patency it was also decided to perform percutaneous dilatational tracheostomy to prevent ventilator acquired pneumonia in this patient, and we have continued follow-up observation since then. Conclusion: A few years untreated acanthomatous mixed with follicular ameloblastoma showed a potency for unlimited growth with significant face deformation. Management with surgical intervention and post operative follow-up were necessarily needed to stop further expansion and ensure the life quality of the patient.Keywords : behaviour change, DASS-21, morsicatio buccarum, morsicatio labiorum