Endang Sjamsudin
Universitas Padjadjaran

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Penatalaksanaan emergensi pada trauma oromaksilofasial disertai fraktur basis kranii anterior Agus Dwi Sastrawan; Endang Sjamsudin; Ahmad Faried
Majalah Kedokteran Gigi Indonesia Vol 3, No 2 (2017): August
Publisher : Faculty of Dentistry, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2413.098 KB) | DOI: 10.22146/majkedgiind.12606

Abstract

Emergency management of oromaxillofacial trauma with anterior cranial base fracture. Oromaxillofacial trauma with cranial base fracture is a case that is quite commonly found in the ER of Oral and Maxillofacial Surgery Department at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Emergency management aims to take any appropriate action, prevent complications, and consult to other departments involved. A man aged 28 years came with bleeding from the mouth due to a motorcycle accident approximately 6 hours before admission to the hospital. Physical examination showed facial asymmetry, bilateral periorbital edema and hematoma, rhinorrhea, and stitches in labiomental area. Intraoral examination showed maxillary, palatal, parasymphisis, dentoalveolar fractures, lacerated wound on the upper lip, lower lip, palate, gingival, difficulty in opening the mouth, and malocclusion of the teeth. Immediate and rapid surgical and maxillofacial surgical emergency was performed with minimal maxillary intervention, aiming to prevent persistent spontaneous cerebrospinal fluid leak, and prevent infection. The management of soft tissue and hard tissue injury is by reduction, fixation and immobilization of fractures, management of pain and administration of antibiotics. In conclusion, the emergency management of oromaxillofacial trauma with cranial base fracture is promptly and rapidly carried out with minimal intervention.ABSTRAKTrauma oromaksilofasial disertai fraktur basis kranii merupakan kasus yang cukup banyak ditemukan di Instalasi Gawat Darurat Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penatalaksanaan emergensi bertujuan untuk melakukan tindakan yang tepat, mencegah komplikasi, serta konsultasi kepada bagian lain yang terkait. Seorang laki- laki usia 28 tahun datang dengan keluhan perdarahan dari mulut akibat kecelakaan motor kurang lebih 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan fisik ditemukan wajah asimetris, edema dan hematoma pada regio periorbita bilateral, terdapat rhinorrhea, serta bekas jahitan pada regio labiomental. Pemeriksaan intra oral tampak fraktur pada daerah maksila, palatum, parasimfisis, fraktur dentoalveolar, vulnus laserasi pada bibir atas, bibir bawah, palatum, gingiva, kesulitan membuka mulut, dan maloklusi gigi geligi. Tindakan emergensi bedah mulut dan maksilofasial dilakukan segera dan cepat dengan minimal intervensi pada rahang atas bertujuan untuk mencegah kebocoran cairan serebro spinal persisten, dan mencegah terjadinya infeksi. Manajemen luka jaringan lunak dan jaringan keras, melakukan reduksi, fiksasi dan imobilisasi fraktur, manajemen nyeri serta pemberian antibiotik. Penatalaksanaan emergensi pada trauma oromaksilofasial disertai fraktur basis kranii dilakukan segera dan cepat dengan minimal intervensi.
Incidence of Mandibular Fractures as A Complication of Lower Third Molar Extraction: A Rapid Review Farras Syakira Reiza; Endang Sjamsudin; Harmas Yazid Yusuf
Jurnal Kesehatan Gigi Vol 8, No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Jurusan Keperawatan Gigi, Poltekkes Kemenkes Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31983/jkg.v8i2.6900

Abstract

Pendahuluan: Pencabutan gigi molar ketiga merupakan salah satu prosedur kedokteran gigi yang sering dilakukan, tetapi bukan berarti resiko dan komplikasinya jarang terjadi. Salah satu komplikasi pencabutan gigi molar ketiga adalah fraktur mandibula. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi fraktur mandibula sebagai komplikasi pencabutan gigi molar ketiga rahang bawah. Metode: Rapid review ini dilakukan pada Desember 2020-Februari 2021 terhadap artikel berbahasa inggris yang melaporkan insidensi fraktur mandibula akibat pencabutan gigi molar ketiga rahang bawah. Pencarian artikel mengacu pada bagan PRISMA yang dilakukan melalui PubMed, ScienceDirect, dan Google Scholar tanpa membatasi tahun pencarian. Artikel terpilih memenuhi kriteria sesuai dengan kerangka PICO. Penapisan artikel dilakukan dengan memeriksa duplikasi, membaca judul dan abstrak, serta membaca isi keseluruhan teks. Hasil: Sebanyak delapan artikel dengan desain studi observasional dicakup dalam penelitian ini. Insidensi fraktur mandibula sebagai komplikasi pencabutan gigi molar ketiga berkisar antara 0,0046%-3,03%. Fraktur lebih banyak ditemukan pada laki-laki (n=42) daripada perempuan (n=20), pada usia rata-rata di atas 39 tahun, pada gigi-geligi lengkap (n=31) daripada tidak lengkap (n=3), pada gigi impaksi tulang penuh (n=47) daripada impaksi tulang sebagian (n=14), dan pada angulasi gigi horizontal (n=22) atau vertikal (n=20) daripada mesioangular (n=13) atau distoangular (n=6). Simpulan: Fraktur mandibula akibat pencabutan gigi molar ketiga rahang bawah jarang terjadi. Peningkatan kasus ditemukan pada pasien laki-laki, berusia di atas 39 tahun, memiliki gigi-geligi lengkap, gigi impaksi tulang penuh, dan angulasi gigi horizontal atau vertikal. Infeksi pre operatif dan kista merupakan keadaan patologis yang lebih sering ditemukan pada pasien fraktur.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan medis trauma maksilofasial pada anak disertai cedera kepalaEmergency management of maxillofacial trauma in children with a head injury Saptiadi Oktora; Eka Marwansyah Oli'i; Endang Sjamsudin
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 32, No 3 (2021): Februari 2021 (Suplemen 2)
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v32i3.29510

Abstract

Pendahuluan: Pasien dengan fraktur maksilofasial mempunyai risiko tinggi disertai cedera kepala karena dekatnya letak anatomi tulang wajah dan kranium. Trauma maksilofasial sering menyebabkan cedera pada jaringan lunak, gigi geligi dan komponen utama rangka wajah termasuk mandibula, maksila, zigoma, kompleks nasoorbital-ethmoid (NOE) dan struktur supraorbital. Kegawatdaruratan medis pada anak merupakan suatu kondisi yang mendesak yang membutuhkan penanganan segera pada anak untuk mengurangi resiko kematian dan kecacatan.  Laporan kasus ini bertujuan agar memberikan gambaran dan mengevaluasi tindakan pasien trauma maksilofasial yang disertai cedera kepala pada anak. Laporan kasus: Seorang anak laki-laki usia 9 tahun datang dengan keluhan perdarahan dari mulut, 3 jam karena terjatuh saat mengendarai sepeda. Pasien mengalami cedera kepala dan fraktur dentoalveolar rahang atas dan rahang bawah. Diagnosis cedera kepala ringan, fraktur palatum inkomplit, fraktur dentoalveolar regio gigi 54-21, 85-32 dengan fraktur segmental dentoalveolar regio gigi 42-83 disertai avulsi gigi 11,12,53,54,21,32,31,41,84 dan mobility grade 3 gigi 42,83,85, luka laserasi pada regio frontal, labii inferior, palatum, mentale dan gingiva regio gigi 54-21 dan 85-32, serta luka punctum pada regio labiomental. Penatalaksanaan kasus ini adalah dilakukan pembersihan luka, ekstraksi gigi 83, 85, 42, alveolektomi regio gigi 54-21, 32-85 serta penjahitan pada luka laserasi dan punctum dengan melibatkan bagian bedah saraf, ilmu kesehatan anak dan anestesi. Simpulan: Penatalaksanaan kegawatdaruratan medis cedera kepala dan trauma maksilofasial pada kasus ini dilakukan penjahitan pada intra oral dan ekstra oral serta ekstraksi gigi 42,83,85 dengan anestesi umum yang melibatkan bagian bedah saraf, ilmu kesehatan anak, anestesi dapat mencegah kematian dan mengurangi resiko kecacatan yang lebih parah. Penilaian awal secara komprehensif sangat penting dalam menentukan rencana perawatan kegawat daruratan pada pasien trauma maksilofasial.Kata kunci: Cedera kepala, trauma maksilofasial, kegawatdaruratan medis anak ABSTRACTIntroduction: Patients with maxillofacial fractures are at a high risk of head injury due to the cranium and facial bones' anatomy. Maxillofacial trauma often causes injury to soft tissues, teeth, and significant facial skeleton components, including the mandible, maxilla, zygoma, nasoorbitoethmoid (NOE) complex and supraorbital structures. A paediatric medical emergency is an urgent condition that requires immediate treatment to reduce the risk of death and disability. This case report was aimed to provide an overview and evaluation of the treatment for child patient with maxillofacial trauma accompanied by head injuries. Case report: A 9-year-old male child presented with complaints of bleeding from the mouth, 3 hours after falling while riding a bicycle. The patient had head injuries and dentoalveolar fractures of the maxilla and mandible. Diagnosis of minor head injury, incomplete palatal fracture, dentoalveolar fracture of teeth number 54-21, 85-32 with segmental fracture of the dentoalveolar region of teeth number 42-83 accompanied by avulsion in teeth number 11, 12, 53, 54, 21, 32, 31, 41, 84, and mobility grade 3 of teeth number 42, 83, 85. Laceration wounds in the frontal region, inferior labii, palate, mentale, and gingiva regions of teeth number 54-21 and 85-32, and punctum wounds in the labiomental region. This case management included rinsing the wound; extracting teeth number 83, 85, 42; alveolectomy in the region of teeth number 54-21, 32-85; suturing the laceration and punctum wounds involving neurosurgery, paediatric medicine and anaesthesia. Conclusion: Management of medical emergency of head injury and maxillofacial trauma in this case is performed with intraoral and extraoral suturing and extraction of teeth number 42, 83, 85, with general anaesthesia involving the Neurosurgery and Paediatrics Division. Anaesthesia can prevent death and reduce the more severe risk of disability. A comprehensive initial assessment is essential in determining the emergency treatment plan for maxillofacial trauma patients.Keywords: Head injury, maxillofacial trauma, paediatric medical emergency.
Penatalaksanaan fraktur kondilus bilateral dan korpus mandibula dengan reduksi tertutup pada pasien remajaManagement of bilateral condyle fracture and mandibular corpus with the closed reduction in adolescent patients Deny Rakhman; Farah Asnely Putri; Fathurachman Fathurachman; Endang Sjamsudin
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 33, No 3 (2022): Maret 2022 (Suplemen 3)
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v33i3.31027

Abstract

ABSTRAKPendahuluan: Fraktur kondilus dan Korpus mandibula merupakan fraktur pada mandibula yang cukup sering terjadi pasca trauma. Komplikasi yang sering terjadi akibat fraktur kondilus dan korpus mandibula pada anak adalah ankilosis dan gangguan sendi sendi temporomandibula. Perawatan fraktur mandibula dapat dengan reduksi terbuka atau reduksi tertutup. Penanganan fraktur secara sederhana dan teknik yang tepat dapat mencegah komplikasi lebih lanjut. Tujuan laporan kasus ini memaparkan dan membahas penatalaksanaan kegawatdaruratan pada pasien remaja yang menderita fraktur kondilus dan korpus mandibula dengan reduksi tertutup. Laporan kasus: Pasien perempuan usia 16 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unpad dengan keluhan perdarahan dari mulut dan sulit membuka mulut akibat kecelakaan lalu-lintas. Pemeriksaan klinis dan radiografis menunjukan adanya fraktur kondilus bilateral dan fraktur korpus mandibula. Pasien dilakukan pembersihan dan penjahitan luka, perawatan fraktur kondilus dengan reduksi tertutup dan fiksasi maksilomandibular dengan arch bar. Kontrol pada minggu ke 12 menunjukkan hasil perbaikan. Simpulan: Penatalaksanaan fraktur kondilus dan Korpus mandibula dengan reduksi tertutup yang tepat menunjukkan hasil yang memuaskan secara anantomi dan fungsi pada saat penatalaksaan kedaruratan trauma.Kata kunci: fraktur kondilus bilateral; fraktur korpus mandibula; reduksi tertutup; fiksasi maksilomandibular ABSTRACTIntroduction: Condyle and mandibular corpus fractures are quite common post-trauma mandibular fractures. Complications that often occur due to condyle and mandibular corpus fractures in children are ankylosis and temporomandibular joint disorders. Mandibular fractures can be treated with open reduction or closed reduction. Simple fracture management and proper technique can prevent further complications. This case report aimed to present and analyse the emergency management of condyle and mandibular corpus fractures in an adolescent patient with closed reduction. Case report: A 16-year-old female patient came to Universitas Padjadjaran Dental Hospital with complaints of oral bleeding and mouth-opening difficulty due to a traffic accident. Clinical and radiographic examination revealed bilateral condylar and mandibular corpus fractures. The patient was cleaned and sutured, treated for condylar fractures with closed reduction and maxillomandibular fixation with arch bars. The improvement showed at the control visit after 12 weeks. Conclusion: Management of condylar and mandibular corpus fractures with properly closed reduction showed satisfactory anatomical and functional results.Keywords: bilateral condyle fracture; mandibular corpus fracture; closed reduction; maxillomandibular fixation 
Etiopatogenesis dan terapi kasus multipel sialolithiasis kelenjar submandibulaEtiopathogenesis and treatment of multiple cases of submandibular gland sialolithiasis Nyoman Ayu Anggayanti; Endang Sjamsudin; Melita Sylvyana
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 32, No 3 (2021): Februari 2021 (Suplemen 2)
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v32i3.23759

Abstract

Pendahuluan: Sialolithiasis adalah penyakit umum kelenjar saliva. Gejalanya termasuk pembengkakan kelenjar yang terlibat, terutama selama makan, dan nyeri tekan, yang mungkin mereda tetapi dapat kambuh kembali. Sialolith terjadi terutama di kelenjar submandibula (80-90%) dan pada tingkat yang lebih rendah di kelenjar parotid (5-20%). Sialolith bisa tunggal atau jamak. Multipel sialolith di kelenjar submandibula jarang terjadi. Tujuh puluh dari delapan puluh persen kasus memiliki sialolith tunggal, hanya sekitar 5% pasien yang memiliki tiga atau lebih sialolith. Faktor etiopatogenesis terkait dengan pembentukan sialolith adalah obstruksi, penurunan laju aliran saliva, dehidrasi, infeksi kelenjar saliva, dan terganggunya kelarutan kristaloid. Tujuan penulisan laporan kasus ini untuk menjelaskan etiopatogenesis dan terapi kasus multipel sialolithiasis kelenjar submandibula. Laporan kasus: Seorang wanita 24 tahun datang dengan pembengkakkan dan nyeri pada submandibula kanan. Radiografi panoramik menunjukkan massa radiopak terdefinisi dengan baik dalam submandibula kanan. Interpretasi ultrasonografi menunjukkan massa tak homogen hypoechoic dengan kalsifikasi ganda. Pengangkatan kelenjar submandibula dilakukan dengan pendekatan ekstraoral. Laporan kasus ini menunjukkan Gambaran sebanyak sembilan sialolith di kelenjar submandibula, yang dihilangkan dengan pendekatan ekstraoral. Simpulan: Etiopatogenesis dari pembentukan multipel sialolithiasis pada duktus kelenjar, yaitu faktor mekanis, inflamasi, kimiawi, dan infeksi. Diperkirakan bahwa alkalin serta saliva kental yang mengandung banyak sel mukus, memiliki persentase kalsium fosfat lebih tinggi seperti pada kelenjar saliva submandibula yang mendukung pembentukan sialolith. Pengangkatan kelenjar submandibula beserta sialolith dilakukan sebagai standar baku perawatan dan dapat menghindari kekambuhan. Pasien kontrol kembali satu minggu pasca operasi dengan kondisi baik dan dijadwalkan untuk pemeriksaan radiografis ulang enam bulan kemudian untuk memastikan tidak terjadinya pembentukan sialolith baru di saluran kelenjar saliva.Kata kunci: Multipel, sialolithiasis, kelenjar submandibula. ABSTRACTIntroduction: Sialolithiasis is a common disease of the salivary glands. Symptoms include the glands inflammation, especially during eating, and tenderness, which may subside but may recur. Sialoliths occur mainly in the submandibular glands (80-90%) and to a lesser extent in the parotid glands (5-20%). Sialolith can be singular or plural. Multiple sialoliths in the submandibular gland rarely occur. Seventy out of eighty per cent of cases have a single sialolith. Only about 5% of patients have three or more sialoliths. The etiopathogenetic factors associated with sialolith formation are obstruction, decreasing salivary flow rate, dehydration, salivary gland infection, and impaired crystalloid solubility. The purpose of this case report was to describe the etiopathogenesis and treatment of multiple cases of submandibular gland sialolithiasis. Case report: A 24-year-old woman presented with inflammation and pain in the right submandibular. Panoramic radiograph shows a well-defined radiopaque mass in the right submandibular. Ultrasound interpretation revealed a hypoechoic homogeneous mass with multiple calcifications. Removal of the submandibular gland was carried out with an extraoral approach. This case report showed the appearance of as many as nine sialoliths in the sub-mandibular gland, removed by an extraoral approach. Conclusion: Etiopathogenesis of the formation of multiple sialolithiasis in the glandular duct are mechanical, inflammatory, chemical, and infectious factors. It is thought that alkaline and thick saliva, which contains many mucus cells, has a higher percentage of calcium phosphate than in the submandibular salivary glands, which support the formation of sialoliths. Submandibular gland removal along with the sialoliths is performed as the treatment standard, which can avoid recurrence. The control visit is carried out one week postoperatively in good condition, and the patient is scheduled for another radiographic examination six months after to ensure that no new sialoliths occurred in the salivary gland.Keywords: Multiple, sialolithiasis, submandibular gland.
Eksisi pleomorfik adenoma pada palatum kerasExcision of pleomorphic adenoma in the hard palate Kalia Labitta Yudhasoka; Endang Sjamsudin; Asri Arumsari; Kiki Akhmad Rizki
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 31, No 2 (2019): Agustus 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (461.138 KB) | DOI: 10.24198/jkg.v31i2.18074

Abstract

Pendahuluan: Tumor kelenjar ludah minor relatif jarang, tetapi memiliki kemungkinan lebih tinggi menjadi keganasan dibandingkan tumor kelenjar ludah mayor. Adenoma pleomorfik adalah neoplasma kelenjar ludah campuran jinak yang paling umum yang terhitung 60% dari semua tumor kelenjar saliva jinak. Presentasi histologis pleomorfik adenoma cukup beragam dan terjadi di kedua kelenjar ludah mayor dan minor. Pleomorfik adenoma kelenjar ludah minor secara intraoral sering terjadi pada kelenjar palatum.Tujuan laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai eksisi pleomorfik adenoma yang terjadi di palatum keras. Laporan kasus: Seorang wanita berusia 34 tahun dan muncul sebagai massa yang tumbuh lambat di sisi kanan tanpa gejala tanpa rasa sakit sejak 9 tahun yang lalu. Histopatologi mengungkapkan komponen epitel dan mesenkimal yang mengkonfirmasi diagnosis. Pasien berhasil diobati dengan biopsi eksisi. Neoplasma kelenjar ludah dapat terjadi di tempat manapun di mana terdapat jaringan saliva. Evaluasi lengkap pasien dan pengangkatan tumor harus dipastikan agar tumor tidak rekuren. Pemeriksaan histologis diperlukan karena tingginya persentase keganasan tumor. Simpulan: Eksisi Pleomorfik Adenoma pada palatum keras, sekitar 2-3 mm dari tepi lesi sampai menembus periosteum tulang maksila serta meluas ke posterior palatum dan pengamatan sampai kontrol selama dua bulan menunjukkan kesembuhan, dimana luka bekas operasi sembuh dan tidak ada tanda-tanda terjadinya rekurensi.Kata kunci: Biopsi eksisi, palatum, pleomorfik adenoma, tumor kelenjar ludah ABSTRACTIntroduction: Minor salivary gland tumours are relatively rare, but have a higher malignant tendency than major salivary gland tumours. Pleomorphic adenoma is the most common benign mixed salivary gland neoplasm accounting for 60% of all benign salivary gland tumours. Histomorphic pleomorphic adenoma presentations are quite diverse and occur in both major and minor salivary glands. Pleomorphic intra-salivary minor salivary glands often occur in the palate gland. The purpose of this case report was to discuss the pleomorphic excision of the adenoma that occurs in the hard palate. Case report: A woman aged 34 years and emerged as a slow-growing mass on the right side without symptoms without pain since 9 years ago. Histopathology revealed epithelial and mesenchymal components that confirmed the diagnosis. The patient was successfully treated with excisional biopsy. Salivary gland neoplasms can occur anywhere where there is salivary tissue. A complete evaluation of the patient and removal of the tumour must be ensured so that the tumour does not recur. Histological examination is needed because of the high percentage of tumour malignancy. Conclusion: Excision of pleomorphic adenoma in the hard palate, about 2-3 mm from the edge of the lesion to penetrate the periosteum of the maxillary bone and extend to the posterior palate and observation until control for two months shows healing, where the surgical wound healed and there were no signs of recurrence.Keywords: Excisional biopsy, palate, pleomorphic adenoma, salivary gland tumour
Distribusi frekuensi pasien odontektomi dengan anestesi umum di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas PadjadjaranFrequency distribution of odontectomy patients under general anaesthesia at Universitas Padjadjaran Dental Hospital Zaimi Ginanjar; Lucky Riawan; Endang Sjamsudin
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 34, No 1 (2022): April 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v34i1.33476

Abstract

Pendahuluan: Odontektomi merupakan salah satu prosedur yang sering dilakukan oleh dokter gigi. Beberapa kasus odontektomi dilakukan dengan menggunakan anestesi umum dengan pertimbangan tertentu, seperti kecemasan pasien, gangguan mental atau fisik, derajat kesulitan gigi impaksi, pasien yang mengalami disorientasi, jumlah gigi yang dilakukan odontektomi, dan durasi operatif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Distribusi frekuensi profil pasien odontektomi dengan anestesi umum di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Padjadjaran. Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif menggunakan rekam medis pasien odontektomi dengan anestesi umum di RSGM Unpad pada tahun 2016 sampai dengan tahun 2018. Data yang dikumpulkan adalah jenis kelamin pasien, usia pasien, jumlah gigi yang dilakukan odontektomi, jenis gigi yang dilakukan odontektomi, dan klasifikasi gigi impaksi pasien. Hasil: Penelitian ini diperoleh sampel sebanyak 82 pasien, dengan 54 pasien perempuan, 28 pasien laki-laki, dan kelompok usia terbanyak 21-30 tahun. Jumlah pasien terbanyak adalah pasien yang dilakukan odontektomi sebanyak 4 gigi dalam satu kali perawatan. Jenis gigi yang paling sering dilakukan odontektomi adalah gigi 48. Klasifikasi impaksi pada rahang atas paling banyak dengan klasifikasi Vertikal B (klasifikasi impaksi Menurut Winter’s, serta Pell and Gregory) dan pada rahang bawah paling banyak klasifikasi IIA (klasifikasi menurut Pell and Gregory). Simpulan: Distribusi frekuensi profil pasien odontektomi dengan anestesi umum di RSGM Unpad adalah terbanyak perempuan, kelompok usia 21-30 tahun, jumlah gigi 4 buah dan impaksi klasifikasi IIA.Kata kunci: anestesi umum; impaksi gigi; odontektomi ABSTRACTIntroduction: Odontectomy is a procedure that dentists often perform. Some cases of odontectomy were performed using general anaesthesia with specific considerations, such as patient anxiety, mental or physical disorders, degree of difficulty of impacted teeth, disorientated patients, number of teeth performed odontectomy, and duration of surgery. This study aimed to determine the frequency distribution of odontectomy patients under general anaesthesia at Universitas Padjadjaran Dental Hospital. Methods: This study was a descriptive study using medical records of odontectomy patients under general anaesthesia at Universitas Padjadjaran Dental Hospital from 2016 to 2018. The data collected were the sex of the patient, the age of the patient, the number of teeth that underwent odontectomy, the type of teeth that underwent odontectomy, and the classification of the patient's impacted teeth. Results: This study obtained a sample of 82 patients, with 54 female patients, 28 male patients, and the most age group being 21-30 years. The highest number of patients were patients who underwent odontectomy with four teeth in one treatment. The type of tooth that most often underwent odontectomy was tooth 48. The most common classification of impaction on the maxilla was the Vertical B classification (the impaction classification according to Winter's, also Pell and Gregory) and the lower jaw the most with the IIA classification (the classification according to Pell and Gregory). Conclusion: The frequency distribution of the profile of odontectomy patients under general anaesthesia at Universitas Padjadjaran Dental Hospital is primarily women, age group 21-30 years, number of teeth four and impaction classification IIA.  Keywords: general anaesthesia; impacted teeth; odontectomy
Karakteristik fraktur palatum yang disertai fraktur dentoalveolar pada pasien trauma maksilofasialCharacteristics of palate fracture accompanied with dentoalveolar fracture in patients with maxillofacial trauma Cahyono Yudianto; Endang Sjamsudin; Eka Marwansyah Oli’i
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 34, No 3 (2022): Desember 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v34i3.42838

Abstract

ABSTRAKPendahuluan: Fraktur palatum pada trauma maksilofasial jarang terjadi dan seringkali disertai fraktur dentoalveolar. Fraktur palatum yang disertai fraktur dentoalveolar seringkali menimbulkan kesulitan dalam perawatan dan dapat menimbulkan deformitas lengkung rahang. Penelitian ini bertujuan untuk   mengetahui karakteristik fraktur palatum disertai fraktur dentoalveolar pada pasien trauma maksilofasial di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Metode: Jenis penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan cross-sectional dari rekam medis sejak Januari 2019 sampai Desember 2020. Penelitian dilakukan di Klinik Bedah Mulut dan Maksilofasial di RS Hasan Sadikin Bandung tahun 2021. Variabel yang dikumpulkan meliputi usia, jenis kelamin, lokasi fraktur, klasifikasi fraktur palatum dan klasifikasi fraktur dentoalveolar. Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi menggunakan distribusi frekuensi numerik dengan perhitungan menggunakan software SPSS V 26. Hasil: Sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 12 pasien yang meliputi fraktur palatum disertai fraktur dentoalveolar. Usia terbanyak remaja akhir 17-25 tahun berjumlah 8 sampel. Jenis kelamin paling banyak terjadi pada laki laki 10 sampel. Lokasi fraktur palatum terbanyak pada sisi kiri tipe II dan tipe III sebanyak 50%. Klasifikasi fraktur dentoalveolar yang terbanyak adalah tipe V = 7 sampel. Lokasi fraktur dentoalveolar di anterior pada semua sampel sebanyak 12 sampel. Klasifikasi fraktur palatum yang terbanyak adalah tipe II = 5 sampel. Jenis perawatan terbanyak adalah closed reduction = 11 sampel. Etiologi fraktur palatum disertai fraktur dentoalveolar semuanya dikarenakan kecelakaan bermotor. Simpulan: Karakteristik fraktur palatum yang disertai fraktur dentoalveolar pada pasien trauma maksilofasial di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung yang terbanyak usia remaja akhir, dengan jenis kelamin laki-laki, fraktur palatumnya tipe II dan III disertai fraktur dentoalveolar tipe V.Kata kunci: fraktur palatum; dentoalveolar; close reduction; interdental wiringABSTRACTIntroduction: Fracture of the palate in maxillofacial trauma is rare and often accompanied by dentoalveolar fractures. It is difficult to treat and can lead to arch deformity. This study aimed to identify characteristics of palatal fractures with dentoalveolar fractures in maxillofacial trauma patients at Hasan Sadikin Hospital, Bandung. Methods: This research is descriptive observational with a cross-sectional approach, medical records from January 2019 to December 2020. The study conducted at the Oral and Maxillofacial Surgery Clinic, Hasan Sadikin Hospital, Bandung, 2021. The variables collected included age, gender, fracture location, classification of palatal fractures, classification of dentoalveolar fractures. The data is presented in the form of a frequency distribution using a numerical frequency distribution with calculations using SPSS V 26 software. Results: 12 patients met the study sample criteria, including palatal fractures accompanied by dentoalveolar fractures. Most of the late adolescents aged 17-25 amounted to 8 samples. The most common sex is male with 10 samples. Location of most palate fractures on the left side of type II, and type III is as much as 50%. The most common classification of dentoalveolar fractures is type V = 7 samples. The location of the dentoalveolar fracture was anterior in all 12 samples. The most common classification of palatal fractures is type II = 5 samples. The type of treatment is closed reduction = 11 samples. The etiology of palatal fractures accompanied by dentoalveolar fractures is all due to motor accidents. Conclusion: Characteristics of palatal fractures accompanied by dentoalveolar fractures in maxillofacial trauma patients at Hasan Sadikin Hospital Bandung, mostly in late teens, with male sex, type II and III palatal fractures accompanied by type V dentoalveolar fractures.Keywords: palatal fracture; dentoalveolar; close reduction; interdental wiring
Tingkat pengetahuan dan pengalaman dokter gigi di Kota Bandung dalam penanganan darurat fraktur dentoalveolarKnowledge and experience level of dentists in the emergency management of dentoalveolar fractures Refiga Andistiara; Endang Sjamsudin; Abel Tasman Yuza
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Vol 34, No 3 (2022): Desember 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jkg.v34i3.39360

Abstract

ABSTRAKPendahuluan: Fraktur dentoalveolar merupakan trauma yang paling umum terjadi pada wajah dibandingkan dengan semua trauma yang terjadi pada wajah. Fraktur dentoalveolar memiliki dampak buruk bagi pasien jika tidak diberikan perawatan yang memadai. Perawatan fraktur dentoalveolar merupakan prosedur kompleks yang butuh pengetahuan, diagnosis, dan rencana perawatan yang akurat dari seorang dokter gigi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengetahuan dan pengalaman dokter gigi dalam penanganan darurat fraktur dentoalveolar. Metode: Jenis penelitian cross-sectional  dengan teknik pengambilan sampel proportionate stratified random sampling. Penelitian dilakukan terhadap 306 responden yaitu dokter gigi umum, dokter gigi residen, dan dokter gigi spesialis di Kota Bandung. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan 15 pertanyaan untuk mengukur pengetahuan dan 3 pertanyaan untuk mengetahui pengalaman dokter gigi. Analisis data menggunakan Microsoft excel dan disajikan dalam bentuk tabel, tingkat pengetahuan menggunakan kategori Arikunto. Hasil: Untuk tingkat pengetahuan, sebanyak 3 responden (1%) memiliki tingkat pengetahuan kurang, 78 responden (25%) pada kategori cukup, dan 225 responden (75%) pada kategori baik. Pengalaman dokter gigi dalam menemukan kasus fraktur dentoalveolar 1-5 kali selama praktik, pengalaman tindakan yang dilakukan adalah perdarahan dihentikan lalu segera dirujuk, dan mayoritas dokter gigi tidak pernah mengikuti pelatihan darurat fraktur dentoalveolar. Simpulan: Tingkat pengetahuan dokter gigi di Kota Bandung dalam penanganan darurat fraktur dentoalveolar secara keseluruhan berada dalam kategori baik. Pengalaman dokter gigi dalam menjumpai kasus fraktur dentoalveolar cukup sedikit selama praktik dengan kasus terbanyak menghentikan perdarahan dan segera dirujuk serta tanpa adanya pengalaman dalam mengikuti pelatihan perawatan fraktur dentoalveolar.Kata kunci: fraktur dentoalveolar; pengetahuan dokter gigi; pengalaman dokter gigi; cedera gigi traumatis ABSTRACTIntroduction: Dentoalveolar fractures are the most common trauma compared to all traumas to the face. It harms the patient if they do not have adequate treatment. Dentoalveolar fractures are a complex procedure requiring a dentist knowledge, diagnosis, and an accurate treatment plan. This study aimed to determine dentist knowledge and experience level in emergency management of dentoalveolar fractures. Methods: Cross-sectional using a proportionate stratified random sampling technique. The study was conducted on 306 respondents, namely general dentists, resident dentists, and specialist dentists in Bandung. The research used a questionnaire with 15 questions to measure knowledge and 3 questions to determine the experience of dentists. Data analysis was performed using Microsoft Excel and presented as a frequency distribution table. the level knowledge categorized using arikunto. Results: For the level of knowledge, as many as 3 respondents (1%) had a low level of knowledge, 78 respondents (25%) in the good category, and 225 respondents (75%) in the good category. When dentist found cases of dentoalveolar fracture 1-5 times during practice, dentists stopped bleeding and referred immediately, but most dentists never participated in emergency dentoalveolar fracture training. Conclusion: Bandung Dentists’ knowledge in handling dentoalveolar fractures is good. The experience of dentists in cases of dentoalveolar fractures is relatively small during practice, with most cases stopping bleeding and referred immediately without any experience participating in dentoalveolar fracture treatment training.Keywords: Dentoalveolar fracture; dentist knowledge; dentist experience; traumatic dental injury