Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

ANALISIS KEBIJAKAN TAX AMNESTY DI INDONESIA Dri Santoso; Lukman Hakim
Adzkiya : Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 5 No 1 (2017): Adzkiya Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Meto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (758.264 KB) | DOI: 10.32332/adzkiya.v5i1.835

Abstract

Pajak sebagai salah satu instrumen untuk menghimpun kas Negara yang berasal dari dana masyarakat−wajib pajak−menjadi hal penting untuk keberlangsungan suatu pemerintahan negara. Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatklan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan. Kebijakan Tax Amnesty pernah diberlakukan di Indonesia dengan Keppres No. 26 Tahun 1984 yang kemudian diubah menjadi Keppres Nomor 72 tahun 1984. Pengampunan pajak pada masa itu diharapkan dapat mendorong kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak. Kemudian di tahun 2016, Indonesia kembali mengadakan kebijakan amnesti pajak yang berlaku sejak disahkan Kebijakan tersebut mulai berlaku 18 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017, dan terbagi kedalam 3 (tiga) periode, yaitu: Periode I: Dari tanggal diundangkan s.d 30 September 2016, Periode II: Dari tanggal 1 Oktober 2016 s.d 31 Desember 2016 Periode III: Dari tanggal 1 Januari 2017 s.d 31 Maret 2017[1]. Tax amnesty adalah upaya pemerintah memberikan pengampunan pajak kepada wajib pajak untuk meningkatkan kas Negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Bagaimana pelaksanaan tax amnesty di Indonesia perlu menjadi kajian agar diketahui kebijakan-kebijankan yang telah dibuat sebelumnya, sehingga kemudian bisa menjadi pertimbangan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pengampunan pajak selanjutnya. [1] http://www.pajak.go.id/amnestipajak, diakses 4 Agustus 2016
ANALISIS KEBIJAKAN TAX AMNESTY DI INDONESIA Dri Santoso; Lukman Hakim
Adzkiya : Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 5 No 1 (2017): Adzkiya Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Meto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (758.264 KB) | DOI: 10.32332/adzkiya.v5i1.835

Abstract

Pajak sebagai salah satu instrumen untuk menghimpun kas Negara yang berasal dari dana masyarakat−wajib pajak−menjadi hal penting untuk keberlangsungan suatu pemerintahan negara. Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatklan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan. Kebijakan Tax Amnesty pernah diberlakukan di Indonesia dengan Keppres No. 26 Tahun 1984 yang kemudian diubah menjadi Keppres Nomor 72 tahun 1984. Pengampunan pajak pada masa itu diharapkan dapat mendorong kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak. Kemudian di tahun 2016, Indonesia kembali mengadakan kebijakan amnesti pajak yang berlaku sejak disahkan Kebijakan tersebut mulai berlaku 18 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017, dan terbagi kedalam 3 (tiga) periode, yaitu: Periode I: Dari tanggal diundangkan s.d 30 September 2016, Periode II: Dari tanggal 1 Oktober 2016 s.d 31 Desember 2016 Periode III: Dari tanggal 1 Januari 2017 s.d 31 Maret 2017[1]. Tax amnesty adalah upaya pemerintah memberikan pengampunan pajak kepada wajib pajak untuk meningkatkan kas Negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Bagaimana pelaksanaan tax amnesty di Indonesia perlu menjadi kajian agar diketahui kebijakan-kebijankan yang telah dibuat sebelumnya, sehingga kemudian bisa menjadi pertimbangan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pengampunan pajak selanjutnya. [1] http://www.pajak.go.id/amnestipajak, diakses 4 Agustus 2016
Faktor-Faktor Ketidakhadiran Wali Adhal dalam Pernikahan: Studi Kasus Konflik Keluarga dan Status Pekerjaan Iqbal Adam Pradana; Riyan Erwin Hidayat; Dri Santoso; Dedy
Bulletin of Community Engagement Vol. 4 No. 3 (2024): Bulletin of Community Engagement
Publisher : CV. Creative Tugu Pena

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51278/bce.v4i3.1453

Abstract

The absence of a guardian in a marriage is the main conflict experienced by the prospective bride and groom when they are about to carry out a marriage, where a guardian is one of the conditions for the validity of a marriage. So that without a guardian, a marriage is considered not to fulfill the requirements in Islamic law. There are several factors behind it. The absence of a guardian at a marriage includes the problem of conflict between the two families, and the factor of unclear or permanent employment status which then becomes the main problem of the absence of a guardian at a marriage. The factors above are the most significant cases of guardian cases in the last five years. This is in court Religion. In this research, the aim of the researcher is to answer the problems that occur in guardian cases. Regarding the factors that most influence guardians' reluctance to marry off their children, using a field research method which is descriptive in nature, then analyzed qualitatively using a juridical approach to the decision of the panel of judges. religious court regarding the application for guardian adhal. The data sources from this research are primary data sources and secondary data. Which was collected directly through the religious court where the research was conducted. With the findings, there were five cases from 2O19 until now with cases due to the factors above.
PEMBAGIAN PERAN DALAM PENGASUHAN ANAK (Studi Kasus Pada Generasi X dan Generasi Millenial di Kabupaten Lampung Tengah) Winda Oktaviani; Dri Santoso; Aliyandi A. Lumbu; Afifuddin Ahmad Robbani
USRAH: Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 6 No. 3 (2025): July
Publisher : LPPM STAI Muhammadiyah Probolinggo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46773/usrah.v6i3.2043

Abstract

In Islamic family law, childcare (hadhanah) is a shared responsibility that emphasizes the best interests of the child and the principle of justice. Where the responsibility for care is not only borne by the mother, but is a shared task that must be carried out. This is clearly regulated in the Qur'an, Sunnah, or in positive law in Indonesia. However, in reality, the role of the mother is more dominant in childcare, while the father mostly focuses on meeting economic needs. So that with this phenomenon, questions arise regarding the division of parenting roles applied by Generation X and the Millennial Generation in Central Lampung, by reviewing the factors behind the division of parenting roles, and how they are in accordance with the principles of Islamic family law. This type of research is field research on Generation X and the Millennial Generation in four sub-districts in Central Lampung Regency. This research is descriptive, with data collection techniques, namely observation, interviews, and documentation. Data analysis uses an inductive thinking framework. The results of the study show that Generation X still tends to use traditional parenting, with the dominance of the mother's role in the domestic sphere. Meanwhile, the Millennial Generation is starting to show a more equal pattern, with increased involvement of fathers in parenting, although there are some families that still use the mother's domestic role. Differences in child care are influenced by several factors, namely, changes in social and cultural, economic and educational, residential environment, and special conditions/situations. A review of Islamic law shows that flexibility in parenting roles is justified as long as it is based on the principles of justice, responsibility, and protection of children. This study emphasizes the need for a contextual understanding of Islamic family law so that it can be applied adaptively in the dynamics of modern families.