This Author published in this journals
All Journal JURNAL WALENNAE
Muhammad Nur
Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KAITAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 Muhammad Nur
WalennaE Vol 11 No 2 (2009)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2030.431 KB) | DOI: 10.24832/wln.v11i2.216

Abstract

Within Act number 23 Year 1997 regarding the living environment management, Act number 5 year 1992 have not considered, whereas these two Acts were closely related. It will easier to understand, then, that in the description of regulation under Act number 23 Year 1992, cultural heritage material issue have an insufficiency accommodation.Dalam UU nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU nomor 5 tahun 1992 belum mempertimbangkan, sedangkan kedua UU ini saling terkait erat. Maka akan lebih mudah untuk memahami bahwa dalam uraian peraturan berdasarkan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992, masalah materi warisan budaya memiliki akomodasi yang tidak mencukupi.
MENEMUKAN KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM POLA PEMUKIMAN KERATON BUTON Muhammad Nur; Rustam Awat
WalennaE Vol 12 No 1 (2010)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3899.976 KB) | DOI: 10.24832/wln.v12i1.226

Abstract

Keraton Buton (the palace of Buton Kingdom) has a settlement pattern which was depicting the spatial arrangement and a function of a complex spatial. The equilibrium of settlement pattern of Keraton Buton has been charged to the Siolimbona, a local custom institution for the last 4 centuries. Since I960, the Siolimbone were removed and as the result a settlement disorder raised. Environmental wisdom of the custom institution of Siolimbona was proved have more effectiveness compared with local act of present regional government of Buton.Keraton Buton (istana Kerajaan Buton) memiliki pola pemukiman yang menggambarkan tata ruang dan fungsi tata ruang yang kompleks. Keseimbangan pola pemukiman Keraton Buton telah dibebankan ke Siolimbona, sebuah lembaga adat setempat selama 4 abad terakhir. Sejak tahun 1960, Siolimbone telah dihapus dan sebagai hasilnya gangguan pemukiman meningkat. Kearifan lingkungan lembaga adat Siolimbona terbukti lebih efektif dibandingkan dengan tindakan lokal pemerintah daerah Buton saat ini.
TELAAH AWAL TEMBIKAR WAJO Muhammad Nur; Budianto Hakim
WalennaE Vol 12 No 2 (2010)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1582.241 KB) | DOI: 10.24832/wln.v12i2.240

Abstract

Use of Wajo pottery in the past with a buffer area ceramic phenomenon that can not be ignored. The quality is very large pottery-making Wanua ancient Wanua very promising Wajo valuable data for the reconstruction of civilization in South Sulawesi. Human com­munities that inhabit a Wanua or in a larger context, call it the kingdom always has a different trend.Penggunaan tembikar Wajo di masa lalu dengan area persebaran fenomena keramik yang tidak bisa diabaikan. Kualitas tembikar yang sangat besar membuat Wanua-Wanua kuno sangat menjanjikan data berharga Wajo untuk rekonstruksi peradaban di Sulawesi Selatan. Komunitas manusia yang mendiami Wanua atau dalam konteks yang lebih luas, sebut saja kerajaan selalu memiliki tren yang berbeda.
DARI HAND STENCIL KE HAND PRINT, BUKTI KONTAK BUDAYA TOALA DENGAN LELUHUR ORANG BUGIS Muhammad Nur
WalennaE Vol 13 No 1 (2011)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2733.359 KB) | DOI: 10.24832/wln.v13i1.249

Abstract

Tulisan ini mendiskusikan transformasi budaya dari penduduk asli (Toala) dengan leluhur orang Bugis yang berbahasa Austronesia di Sulawesi Selatan. Data yang diajukan adalah tradisi cap tangan yang masih lestari sampai sekarang dalam ritus orang Bugis. Berdasarkan absolut dating, proses pertemuan dua komunitas tersebut berlangsung 2500 BC. Walaupun Tradisi cap tangan orang Bugis diadopsi dari budaya orang Toala, tradisi tersebut telah menjadi bagian terintegrasi dengan budaya Bugis dalam segala aspek termasuk kepercayaan. Tradisi ini telah dimodifikasi dan menjadi salah satu identitas budaya Bugis. This paper discusses about the transformation of indigenous cultures (Toala) with the ancestors of Bugineese with Austronesian-speaking in South Sulawesi. The data presented is hand-print tradition that still preserved until today in the rites of the Bugineese. Based on the absolute dating, the meeting of the two communities took place in 2500 BC. Although the Bugineese tradition of hand-stamp was adopted from Toala culture, the tradition has become an integrated part of the Bugineese culture in all aspects, including belief. This tradition has been modified and become one of the Bugineese cultural identities
KANDEAN DULANG DALAM SISTEM BUDAYA TORAJA Muhammad Nur
WalennaE Vol 13 No 2 (2011)
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2899.431 KB) | DOI: 10.24832/wln.v13i2.265

Abstract

Pada masa proto sejarah, kondisi topografi kurang memungkinkan terjalinnya distribusi tembikar secara kontinyu dan dalam jumlah besar ke dataran tinggi Toraja. Kondisi tersebut direspon orang Toraja dengan mengembangkan kandeang dulang. Hipotesis ini didukung oleh alasan topografis, arkeologis, etnografis, vegetasi dan tipologis. Kandeang dulang yang terdiri dari 3 tipe dengan 9 variasi tipe, memiliki peranan penting bagi orang Toraja. Aspek fungsinya tidak sebatas sebagai wadah makanan semata tetapi lebih dari itu, terintegrasi ke dalam sistem penguburan, identitas budaya, stratifikasi sosial, dan estetika.During the proto history, topography condition was not allows intertwining of pottery distribution continuously and in large numbers to the Toraja highlands. This condition was responded by Toraja society by developing kandeang dulang. This hypothesis was supported by topographical, archaeological, ethnographic, vegetation and typological. Kandeang dulang consisting of three types with 9 variations of type, have an important role for the Toraja society. Aspects of the function is not limited merely as food containers but more than that, is integrated into the system of burial, cultural identity, social stratification, and aesthetics.