Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

PENGGUNAAN VOKATIF NAMA DIRI DALAM CARITA NYI HALIMAH KARYA SAMSOEDI Wahya Wahya; R. Yudi Permadi; Taufik Ampera
Metahumaniora Vol 11, No 2 (2021): METAHUMANIORA, SEPTEMBER 2021
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v11i2.35429

Abstract

PENGGUNAAN VOKATIF NAMA DIRI DALAM CARITA NYI HALIMAH  KARYA SAMSOEDI   AbstrakSetiap bahasa di dunia secara universal memiliki unsur bahasa yang disebut vokatif. Vokatif merupakan nomina yang digunakan sebagai panggilan atau sapaan yang bukan merupakan salah satu fungsi sintaksis kalimat, kehadirannya  dalam kalimat bersifat opsional, menunjuk kepada orang yang diajak bicara, dan sering menjadi anteseden subjek kalimat.  Wujud vokatif  bermacam-macam, di antaranya,  nama diri. Demikian pula halnya dalam bahasa Sunda.  Tulisan ini membahas vokatif nama diri bahasa Sunda  yang terdapat dalam  Cerita Nyi Halimah cerita rekaan karya Samsoedi (2018). Berdasarkan penelitian, ditemukan 24 data kalimat yang memuat  lima vokatif nama diri tokoh di dalamnya. yaitu (1)  Halimah vokatif nama diri utuh disertai variasinya  Limah dan Lim vokatif nama diri kependekan yang ketiganya terdapat dalam sembilan belas  data, (2) Yam vokatif nama diri kependekan dari Maryam yang terdapat pada satu data, (3) Mi vokatif nama diri kependekan dari Emi yang terdapat pada satu data, (4) Yo vokatif nama diri kependekan dari  Yopie yang terdapat pada satu data, dan Sarja vokatif nama diri utuh yang terdapat pada dua data. Vokatif nama diri kependekan  lebih sering muncul, yakni lima belas data,  dibandingkan  dengan  vokatif nama diri utuh, yakni sembilan data. Vokatif  nama diri terdapat dalam tujuh kalimat deklaratif,  sebelas kalimat interogatif, lima kalimat imperatif, dan satu kalimat eksklamatif.  Selanjutnya, vokatif nama diri berdistribusi di awal kalimat pada empat belas data, di tengah kalimat pada tiga data, dan di akhir kalimat pada tujuh data. Di samping itu, ditemukan sebelas data yang di dalamnya terdapat pronomina persona kedua tunggal sebagai subjek yang memiliki anteseden vokatif  nama diri. Dari sebelas data ini, delapan data memiliki perujukan anaforis dan tiga nada memiliki perujukan kataforis terhadap antesen vokatif nama diri. Kata kunci: vokatif nama diri, distribusi, anteseden, anaforis, kataforis  AbstractEvery language in the world universally has a language element called vocative. Vocative is a noun that is used as a call or greeting which is not one of the syntactic functions of the sentence, its presence in the sentence is optional, refers to the person being spoken to, and is often the antecedent of the subject of the sentence. There are various forms of vocatives, including self names. The same is true in Sundanese. This paper discusses the vocative Sundanese self-name contained in the Nyi Halimah story, a fictional story by Samsoedi (2018). Based on the research, found 24 sentence data containing five vocative names of thecharacters in them. namely (1) Halimah vocative full self-name with its variations Limah and Lim vocative short self-name, all three of which are contained in nineteen data, (2) Yam vocative short self-name from Maryam contained in one data, (3) Mi vocative short self-name from Emi which is contained in one data, (4) Yo vocative self-name is short for Yopie which is contained in one data, and Sarja vocative full name of self contained in two data. Short self-name vocatives appear more often, which is fifteen data, compared to full-name vocatives, which are nine data. There are seven declarative sentences, eleven interrogative sentences, five imperative sentences, and one exclamative sentence. Furthermore, the self-name vocative was distributed at the beginning of the sentence on fourteen data, in the middle of the sentence on three data, and at the end of the sentence on seven data. In addition, eleven data were found in which there is a singular second person pronoun as a subject that has a vocative antecedent of self-name. Of these eleven data, eight data have anaphoric references and three data have cataphoric references to the vocative antecedent of self-name. Keywords: self-name vocatives, distribution, antecedent, anaphoric, cataphoric    
Mengenal Penggunaan Partikel His ‘His’ sebagai Pengungkap Emosi dalam Cerita Rekaan Berbahasa Sunda Wahya Wahya; Hera Meganova Lyra; Raden (R.) Yudi Permadi
Metahumaniora Vol 9, No 2 (2019): METAHUMANIORA, SEPTEMBER 2019
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v9i2.23292

Abstract

ABSTRAK               Bahasa di mana pun di dunia ini secara universal memiliki kelas kata yang disebut partikel. Secara praktis keberadaan partikel ini penting karena memiliki fungsi tertentu dalam bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi bagi para penuturnya. Namun demikian, sebagai ciri keunikan setiap bahasa, tentu bentuk, jumlah, dan fungsi partikel ini berbeda-beda. Bahasa Sunda sebagai bahasa alamiah yang merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia kaya dengan pertikel ini. Salah satu partikel yang terdapat dalam bahasa Sunda adalah his ’his’. Artikel ini akan mencoba membahas partikel his ini dari ssi sebagai pengungkap emosi dalam percakapan para tokoh cerita rekaan berbahasa Sunda. Untuk membahas partikel his ini digunakan metode deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, yakni menyimak penggunaan partikel his oleh para tokoh dalam cerita rekaan berbahasa Sunda dengan teknik pengumpulan data berupa teknik catat. Adapun metode analisis menggunkan metode padan pragmatik dan referensial dengan pendekatan semantik gramatikal. Sumber data yang digunakan berupa enam buah cerita rekaan berbahasa Sunda dengan pertimbangan pada keenam buku tersebut terdapat data yang diperlukan dan sebagai sampel sumber data. Dari hasil pengamatan terhadap enam belas data ditemukan enam emosi yang diungkapkan partikel his, meyakinkan, kesal, melarang, kecewa, tidak setuju, danangkuh.Kata kunci: partikel, fatis, emosi, semantik gramatikal ABSTRACT               Languages everywhere in the world universally have a class of words called particles. Practically the existence of this particle is important because it has a certain function in language as a means to communicate for its speakers. However, as a feature of the uniqueness of each language, the shape, number, and function of these particles differ. Sundanese as a natural language which is one of the regional languages in Indonesia is rich in this particles. One of the particles contained in Sundanese is his. This article will try to discuss his particle from an expression of emotion in the conversation of the fictional characters in Sundanese. To discuss this particle, a qualitative descriptive method is used. Data were collected using the method of listening, which is listening to the use of his particle by the characters in a fictional story in Sundanese language with data collection techniques in the form of note taking techniques. The analytical method uses the pragmatic and referential equivalent method with a grammatical semantic approach. The data source used in the form of six Sundanese fiction stories with consideration in the six books contained the necessary data and as a sample data source. From the observation of the sixteen data found six emotions expressed his particle, convincing, annoyed, forbidding, disappointed, disagreeing, and arrogant.Keywords: particle, phatic, emotion, grammatical semantics
TIPE KEBERDERETAN FATIS BAHASA SUNDA DALAM CARITA BUDAK MINGGAT KARYA SAMSOEDI Wahya Wahya; Hera Meganova Lyra; R. Yudi Permadi
Metahumaniora Vol 11, No 1 (2021): METAHUMANIORA, APRIL 2021
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v11i1.32301

Abstract

Setiap bahasa di dunia sebagai sarana ekspresi secara universal memiliki unsur bahasa sebagai penegas bagian tertentu dalam kalimat dan juga unsur pengungkap emosi. Unsur bahasa ini dikenal dengan istilah fatis, yang dapat berbentuk partikel, kata, atau frasa. Dalam kalimat secara linier dapat muncul satu atau beberapa fatis dengan distribusi pada awal, tengah, atau akhir kalimat. Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, dalam bahasa Sunda, fatis ini ada dua kelompok, yakni kelompok fatis yang berfungsi sebagai penegas dan kelompok fatis sebagai pengungkap emosi dalam kalimat. Fatis pada setiap kelompok ini dapat hadir tersendiri, dapat pula hadir bersamaan secara berderet. Penelitian ini membahas bagaimana keberderetan fatis berdasarkan kelompok tersebut yang terletak pada awal kalimat dan bagaimana pola kalimat yang mengikuti fatis berderet tersebut dalam bahasa Sunda. Penyediaan data penelitian ini menggunakan metode simak dengan teknik catat. Penganalisisan data menggunakan metode agih dengan pendekatan sintaksis. Sumber data berupa cerita rekaan yang berjudul Carita Budak Minggat karya Samsoedi (2018). Dari hasil penelitian diperoleh 21 data kalimat yang memuat fatis berderet pada awal kalimat. Dari 21 data, ditemukan empat tipe keberderetan fatis berikut: tipe 1, yaitu fatis emosi + fatis penegas (14 data), tipe 2, yaitu fatis penegas+fatis emosi (1 data), tipe 3, yaitu fatis penegas + fatis penegas (5 data), dan tipe 4, yaitu fatis penegas + fatis penegas + fatis penegas (1 data).
KORESPONDENSI FONEMIS ENAM KATA KERABAT BAHASA INDONESIA, BAHASA MELAYU KELANTAN, BAHASA MELAYU PATANI, DAN BAHASA SUNDA Wahya Wahya; Suhaila Arong
Metahumaniora Vol 10, No 2 (2020): METAHUMANIORA, SEPTEMBER 2020
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v10i2.27523

Abstract

AbstrakBahasa Indonesia, bahasa Melayu Kelantan, bahasa Melayu Patani, dan bahasa Sunda merupakan bahasa kerabat. Keempat bahasa tersebut termasuk rumpun bahasa Austronesia. Ketiga bahasa pertama, yaitu bahasa Indonesia, Melayu Kelantan, dan  Melayu Patani termasuk kelompok bahasa Melayu, sedangkan bahasa Sunda tidak termasuk bahasa Melayu. Bahasa Indonesia dan Sunda terdapat di Indonesia. Bahasa Melayu Kelantan terdapat di Malaysia. Bahasa Melayu Patani terdapat di Thailand. Sebagai bahasa kerabat rumpun Austronesia, keempat bahasa memiliki  kosakata  yang diwariskan dari bahasa yang lebih tua. Ciri-ciri adanya pewarisan tersebut dapat diamati pada kosakata yang memiliki persamaan atau kemiripan bentuk dan makna.  Masalah yang dibahas adalah korespondensi fonemis apa yang menunjukkan perbedaan kata kerabat yang diperoleh dari hasil membandingkan  kata kerabat pada enam glos dari empat bahasa sampel yang diteliti. Dalam tulisan ini diambil enam kata sampel bahasa Indonesia sebagai glos dari 200 glos kosakata dasar Swadesh, yaitu hapus,  hati, hidup, hijau, hitam, dan hujan. Data bersumber dari kamus dan informan. Dari hasil penelitian  terhadap kata kerabat untuk enam glos tersebut diperoleh sembilan perangkat korespondensi fonemis, yaitu (a)  /h ~ ø/ , (b) /s ~ h/, (c) /i ~ ɛ/, (d) /d ~ r/, (e) /p ~ k/, (f) /aw ~ a ~ ɔ/ , (g) /am ~ őŋ ~ ɛ/, dan (h) /-an ~ --ɛ/. Selanjutnya, setiap korespondensi fonemis tersebut menghasilkan pengelompokan bahasa yang memperlihatkan pemilik unsur bahasa yang terdapat pada korespondensi fonemis tersebut dan jika dilakukan rekonstruksi, pengelompokan bahasa tersebutmenunjukkan pencabangan dari bahasa yang lebih tua yang telah menurunkannya.Kata kunci: rumpun bahasa, kata kerabat, korespondensi fonemis, pewarisan. AbstractIndonesian, Kelantan Malay, Patani Malay, and Sundanese are kin languages. The four languages include the Austronesian language family. The first three languages, namely Indonesian, Kelantan Malay, and Patani Malay belong to the Malay language group, while Sundanese does not include Malay. Indonesian and Sundanese are found in Indonesia. Kelantan Malay is found in Malaysia. Patani Malay is found in Thailand. As the languages of relatives of Austronesian families, all four languages have vocabulary inherited from older languages. The characteristics of inheritance can be observed in vocabulary that has similarities or similarities in form and meaning. The problem discussed is the phonemic correspondence of what shows the difference in relative words obtained from the results of comparing relative words in the six glossos of the four sample languages studied. In this paper six Indonesian sample words are taken as glossos from 200 basic Swadesh vocabulary words, namely erase, heart, life, green, black, and rain. Data sourced from dictionaries and informants. From the results of research on the word relatives for the six glossos obtained nine phonemic correspondence sets, namely (a) / h ~ ø /, (b) / s ~ h /, (c) / i ~ ɛ /, (d) / d ~ r /, (e) / p ~ k /, (f) / aw ~ a ~ ɔ /, (g) / am ~ őŋ ~ ɛ /, and (h) / -an ~ --ɛ /. Furthermore, each phonemic correspondence results in a grouping of languages that shows the owner of the language elements contained in the phonemic correspondence and if a reconstruction is made, the grouping of languages shows the branching of older languages which has derived it.Keywords: language family, word relatives, phonemic correspondence, inheritance
HUMOR PORNOGRAFI DALAM TATARUCINGAN ‘TEKA-TEKI SUNDA’ (PORNOGRAPHIC HUMOUR IN TATARUCINGAN ‘SUNDANESE RIDDLES’) Hera Meganova Lyra; Wahya Wahya; R Yudi Permadi
Metalingua: Jurnal Penelitian Bahasa Vol 18, No 1 (2020): METALINGUA EDISI JUNI 2020
Publisher : Balai Bahasa Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (480.127 KB) | DOI: 10.26499/metalingua.v18i1.509

Abstract

This writing describes pornographic humour conveyed in tatarucingan ‘Sundanese riddles’. I focuses on pornographic connotation and types of pornographic humour existing in tatarucingan. The method used was descriptive one with theoretical analysis by Sukatman (2009) combined with Danandjaja (1984), Rahmanadji (2007), Yuniawan (2007), and Mulia (2014). The result shows that the pornographic connotation in tatarucingan conveyed in the questions or answers of the tatarucingan ‘riddles’. I means that the pornographic connotation may be conveyed in the questionsand may also be in the answers of the riddles. The types of pornographic connotation include rational-answer humour, logic games humour, pseudo-incoherence humour, sound games humour and metaphorical humour. AbstrakPenelitian ini mendeskripsikan humor pornografi yang terdapat dalam tatarucingan ‘teka-teki Sunda’. Masalah yang dikaji meliputi konotasi pornografi dan jenis humor pornografi yang terdapat dalam tatarucingan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan kajian menggunakan analisis teori Sukatman (2009) yang diekletikkan dengan teori Danandjaja (1984), Rahmanadji (2007), Yuniawan (2007), dan Mulia (2014). Hasil penelitian menunjukkan konotasi pornografi yang terdapat dalam tatarucingan muncul pada pertanyaan atau jawaban tatarucingan. Dalam arti, konotasi pornografi ada yang muncul dalam pertanyaan,ada pula yang muncul dalam jawaban tatarucingan. Humor pornografi jika dilihat dari jenisnya meliputi humor rasionalitas jawaban, humor permainan logika, humor ketidaklogisan semu, humor permainan bunyi, dan humor bermetafora.
Naon ataukah Naon ‘Apa’ Inovasi Internal dalam Bahasa Sunda Wahya Wahya
Metahumaniora Vol 7, No 1 (2017): METAHUMANIORA, APRIL 2017
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v7i1.23320

Abstract

Konsep ‘apa’ dalam bahasa Sunda diekspresikan dengan kata naᴐn. Secara geolinguistik kata naᴐn memiliki varian naön. Sebaran geografis kata naᴐn dan naön berbeda. Kata naᴐn  tersebar luas di wilayah Priangan, sedangkan naön  tersebar di daerah Banten dan Priangan Timur berbatasan dengan Jawa Tengah, juga di Brebes. Secara diakronis kata naᴐn berasal dari nahaon, sedangkan kata naön  berasal dari nahaön, yang masingmsing kehilangan suku kata ha  karena proses sinkop. Baik kata nahaon  maupun nahaön memiliki bentuk dasar naha  yang masing-masing ditambah suku kata on  dan ön. Dalam bahasa Sunda bentuk ön secara morfemis berstatus sufiks. Dengan demikian, kemungkinan besar kata nahaön merupakan kata polimorfemis yang berasal dari naha + - ön. Dari analisis di atas, kemungkinan besar kata nahaon  berasal dari nahaön. Sama halnya dengan kata naᴐn  berasal dari naön. Dengan demikian, kata naᴐn dan nahaᴐn masing-masing merupakan inovasi internal dari kata naön dan nahaön. 
APRESIASI CERITA REKAAN UNTUK ANAK DI SEKOLAH DASAR NEGERI SAYANG JATINANGOR Wahya Wahya; R. Yudi Permadi; Taufik Ampera
Midang Vol 1, No 2 (2023): Midang: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Juni 2023
Publisher : Unpad Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/midang.v1i2.47517

Abstract

Apresiasi cerita rekaan untuk anak di Sekolah Dasar Negeri Sayang, Jatinangor merupakan sebuah kegiatan yang dikemas dalam bentuk kegiatan pengabdian pada masyarakat yang dilakukan oleh tim dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran yang bertempat di Sekolah Dasar Negeri Sayang, Jatinangor. Kegiatan akademik ini dilakukan pada saat jam pelajaran dengan berfokus pada materi sastra dan pemberian tugas secara merata terhadap siswa. Kegiatan beranah afektif ini bertujuan meningkatkan apresiasi siswa terhadap karya sastra lokal, yakni karya sastra Sunda, yaitu novel anak-anak yang berjudul Budak Teuneung karya Samsoedi. Kegiatan yang mengembangkan proses belajar-mengajar bahasa Sunda untuk siswa sekolah dasar ini menggunakan metode melanjutkan pengajaran, yakni pengajaran Bahasa Sunda. Dalam pengajaran Bahasa Sunda di dalamnya terdapat pengajaran apresiasi sastra Sunda yang masih perlu ditingkatkan kualitas proses pembelajarannya. Bahasa pengantar yang digunakan selama kegiatan adalah bahasa Sunda. Kegiatan yang dilakukan meliputi menyimak pembacaan cerita, membaca cerita secara reseptif, membacakan cerita di depan kelas, bermain peran sambil melakukan dialog, bertanya-jawab tentang cerita, menyimak paparan tentang bahasa dan budaya yang terdapat dalam cerita, berlatih menggunakan tingkat tutur bahasa Sunda, dan menyimak paparan tentang menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan terhadap karya sastra Sunda. Kegiatan dilaksanakan dengan pendekatan didaktis. Dari kegiatan yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa pada setiap tahap kegiatan siswa mengikutinya dengan penuh antusias dan senang. Pada akhir kegiatan siswa merasa senang dan mendapatkan manfaat serta ingin mendapatkan kegiatan yang serupa.
DIMENSI SINTAKSIS PENGGUNAAN VOKATIF NAMA DIRI DALAM NOVEL BERBAHASA SUNDA BÉNTANG HARIRING Wahya Wahya; R. Yudi Permadi; Taufik Ampera
Journal of Linguistic Phenomena (JLP) Vol 2, No 1 (2023): Journal of Linguistic Phenomena, Juli 2023
Publisher : Direktorat Pendidikan dan Internasionalisasi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jlp.v2i1.44472

Abstract

Penelitian ini membahas vokatif nama diri dari sisi sintaksis dan bersifat deskriptif kualitatif. Penyediaan data menggunakan metode simak dengan teknik catat dengan sumber data berupa novel berjudul Béntang Hariring. Penganalisisan data menggunakan metode distribusional dengan pendekatan sintaksis. Berdasarkan analisis data ditemukan 28 kalimat yang memuat vokatif nama diri dengan jumlah sebanyak 7 buah, yaitu Nia, Wina, Salma, Sari, dan Arumsari (bentuk utuh), Win dan Ni (bentuk penggalan). Vokatif nama diri hadir dalam kalimat deklaratif, imperatif, interogatif, dan eksklamatif masing-masing berjumlah 13, 5, 9, dan 1, juga hadir dalam 12 kalimat tunggal dan 1 kalimat majemuk subordinatif kalimat deklaratif. Vokatif nama diri utuh terdapat pada kalimat deklaratif, imperatif, interogatif, dan eksklamatif masing-masing 12, 5, 5, dan 1 buah. Vokatif nama diri penggalan terdapat pada kalimat deklaratif, imperatif, dan interogatif masing-masing 1, 1, dan 4 buah. Dengan demikian, vokatif nama diri cenderung lebih sering muncul dalam kalimat deklaratif berupa kalimat tunggal dan berwujud utuh pada akhir kalimat, sedangkan vokatif berwujud penggalan cenderung lebih sering muncul dalam kalimat interogatif pada akhir kalimat.
PENGGUNAAN VOKATIF NAMA DIRI TERHADAP MITRA TUTUR DALAM TINGKAT TUTUR BAHASA SUNDA Wahya Wahya
Journal of Linguistic Phenomena (JLP) Vol 2, No 2 (2024): Journal of Linguistic Phenomena, Januari 2024
Publisher : Direktorat Pendidikan dan Internasionalisasi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jlp.v2i2.51922

Abstract

Penggunaan vokatif nama diri, baik berbentuk utuh maupun penggalan, terhadap mitra tutur dalam tingkat tutur bahasa Sunda dapat terjadi, baik dalam tingkat tutur kode akrab maupun dalam tingkat tutur kode hormat. Demikian pula hubungan yang terdapat di antara penutur dan mitra tutur dalam penggunaan vokatif nama diri tersebut dapat diamati dalam penggunaan tingkat tutur bahasa Sunda. Penelitian ini mencoba mengungkapan masalah di atas. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik catat. Metode analisis data menggunakan metode padan, yakni padan referensial dengan pendekatan sosiolinguistik. Sumber data yang digunakan merupakan sumber data tertulis tunggal, yaitu buku fiksi berbahasa Sunda yang berjudul Bentang Hariring (2016) karya Dian Hendrayana. Berdasarkan kriteria data yang ditentukan, dari sumber data yang digunakan tersebut ditemukan 33 data kalimat yang memuat bentuk vokatif nama diri, yakni 18 kalimat termasuk tindak tutur kode akrab dan 15 kalimat termasuk tindak tutur kode hormat. Selanjutnya, hubungan sosial yang terdapat di antara penutur dan mitra tutur pada penggunaan vokatif nama diri dalam tingkat tutur kode akrab dan tingkat tutur kode hormat sebagi berikut. Tingkat tutur kode akrab yang memuat vokatif nama diri utuh dan penggalan terhadap mitra tutur masing-masing memiliki hubungan sosial empat jenis dan satu jenis. Tingkat tutur kode hormat yang memuat vokatif nama diri utuh dan penggalan terhadap mitra tutur masing-masing memiliki hubungan sosial enam jenis dan satu jenis. Hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur pada penggunaan vokatif nama diri penggalan, baik pada tingkat tutur kode akrab maupun pada tingkat tutur kode hormat hanya terdapat pada satu hubungan sosial, yaitu pertemanan.
PENGGUNAAN FATIS DEULEU DALAM BUKU FIKSI BERBAHASA SUNDA: PENGGUNAAN FATIS DEULEU DALAM BUKU FIKSI BERBAHASA SUNDA Wahya Wahya
Jurnal Kajian Budaya dan Humaniora Vol 6 No 1 (2024): Jurnal Kajian Budaya dan Humaniora (JKBH), Februari, 2024
Publisher : PT. RANESS MEDIA RANCAGE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61296/jkbh.v6i1.215

Abstract

Penelitian penggunaan fatis deuleu dalam fiksi berbahasa Sunda ini bersifat deskriptif- kualitatif. Data disajikan menggunakan metode simak, yakni simak bebas libat cakap. Data dianalisis menggunakan metode padan referensial dengan pendekatan sosiolinguistik dan semantik. Sumber data sampel yang digunakan berjumlah sembilan buku fiksi berbahasa Sunda dengan pertimbangan terdapatnya sampel data yang diperlukan di dalamnya. Berdasarkan pengamatan atas sumber data tersebut, dipilihlah 28 data kalimat yang di dalamnya memuat fatis deuleu. Dari semua data tersebut penggunaan fatis deuleu ditemukan hanya terdapat dalam tingkat tutur kode akrab. Selanjutnya, ditemukan empat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam penggunaan fatis deuleu ini, yaitu (1) ketetanggaan, (2) kekerabatan, (3) pertemanan, dan (4) kenalan baru dengan jumlah data masing-masing 13, 8, 6, dan 1. Selanjutnya, jika diamati berdasarkan makna konteks kalimat, fatis deuleu yang terdapat dalam kalimat eksklamatif ini dalam penuturan memiliki sebelas jenis makna gramatikal, yaitu (1) menegaskan ketidaksetujuan,1 data, (2) menegaskan kemarahan, 9 data, (3) menegaskan sanggahan, 5 data, (4) menegaskan penjelasan, 6 data, kemudian (5) menegaskan kekagetan, (6) meminta tidak terburu-buru, (7) menegaskan perintah, (8) menegaskan alasan, (9) menegaskan ejekan, (10) menegaskan penyesalan, dan (11) menegaskan larangan, masing-masing ada 1 data. Dengan demikian, penggunaan fatis deuleu dalam buku fiksi berbahasa Sunda hanya digunakan dalam tingkat tutur kode akrab dengan hubungann sosial penutur dengan mitra tutur cenderung ketetanggaan serta dengan makna gramatikal kalimat penutur terhadap mitra tutur menegaskan kemarahan.