Henri Subagiyo
Indonesian Center for Environmental Law

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (INPRES MORATORIUM SAWIT) Henri Subagiyo; Astrid Debora S.M
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 5 No 1 (2018): Oktober
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v5i1.78

Abstract

Pada tanggal 19 September 2018 lalu, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit atau lazim disebut Inpres Moratorium Sawit. Keluarnya Inpres ini dilatarbelakangi oleh beberapa persoalan mendasar dalam perkebunan kelapa sawit, antara lain lemahnya tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, kepastian hukum, kelestarian lingkungan hidup termasuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca, perlunya pembinaan petani kelapa sawit, dan peningkatan produktivitas kelapa sawit.Patut diakui bahwa sektor perkelapasawitan selama ini telah memberikan kontribusi bagi Indonesia. Namun di sisi lain, berbagai persoalan yang muncul mulai dari tingkat lokal, nasional hingga internasional tidak dapat pula diabaikan. Berbagai persoalan tersebut setidaknya telah menjadi isu penting yang semakin berkembang hingga menimbulkan reaksi internasional, khususnya rencana Uni Eropa untuk melarang impor minyak kelapa sawit dari Indonesia
JAMINAN AKSES INFORMASI DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (REKOMENDASI PENGUATAN HAK AKSES INFORMASI LINGKUNGAN) Henri Subagiyo
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 1 No 1 (2014): Februari
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v1i1.171

Abstract

Demokrasi deliberatif dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam menjawab kompleksitas lingkungan dan post-normal science. Untuk mencapai partisipasi yang ideal, akses masyarakat terhadap informasi lingkungan harus terpenuhi. Namun berbagai pembelajaran dari praktik menunjukkan bahwa implementasi akses informasi lingkungan yang telah ada saat ini masih jauh dari ideal. Tulisan ini mencoba menelaah secara normatif kekurangan-kekurangan yang ada dari kerangka hukum akses informasi lingkungan yang telah ada sekarang, baik dari sudut pandang hukum lingkungan maupun keterbukaan informasi. Lebih jauh, tulisan ini menyajikan pula beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki norma akses informasi lingkungan agar dapat lebih memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pembuatan hukum ke depannya.
UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN “PENEGAKAN HUKUM DI LAUT: PELUANG DAN TANTANGAN” Margaretha Quina; Henri Subagiyo
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 2 No 1 (2015): Mei
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v2i1.174

Abstract

Di penghujung masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini disambut momen yang tepat dengan prioritas agenda politik Presiden RI selanjutnya, Joko Widodo, yang berambisi kembali membangun Indonesia sebagai negara maritim.UU ini, yang muncul sebagai inisiatif DPD dan membutuhkan waktu dua tahun pembahasan di DPR, sepertinya oleh penyusunnya difungsikan sebagai undang-undang “payung” atau umum bagi beberapa undang- undang sektoral yang berkaitan dengan laut.  Dalam bagian Penjelasan UU Kelautan, penyusun UU menyatakan kendala pembangunan kelautan di Indonesia disebabkan tiadanya UU yang secara komprehensif mengatur keterpaduan berbagai kepentingan sektor di wilayah laut. UU ini dimaksudkan sebagai payung hukum yang terintegrasi dan komprehensif dalam hal pemanfaatan laut.  Dengan kata lain, secara politik hukum keberadaan UU ini telah menunjukkan pandangan negara yang melihat laut sebagai aset strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Setidaknya ada dua isu besar yang selama ini muncul terkait dengan kelautan.  Pertama, tentang pengelolaan laut mulai dari kebijakan perencanaan hingga pemanfaatan sumber daya laut.  Kedua, tentang pengawasan dan penegakan hukum di laut.  Kedua isu tersebut patut kita cermati dan sudah selayaknya harus mampu dijawab, baik secara normatif dalam ketentuan UU dan aturan pelaksananya maupun pada tataran empiris pelaksanaannya.  Fokus tulisan ini adalah pada isu kedua, yaitu terkait dengan penegakan hukum.  Tanpa bermaksud mengesampingkan isu pengelolaan, penegakan hukum merupakan pilar terakhir dalam menjaga kedaulatan dan memastikan agar sumber daya laut dapat dikelola secara berkelanjutan untuk tujuan pembangunan nasional.  Meskipun demikian, kita perlu garis bawahi bahwa penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan efektif jika masih banyak kelemahan pada aspek pengelolaan.