Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

PENGARUH ASAL DAN UMUR POHON TERHADAP SIFAT PENGERINGAN KAYU SENGON (The effect Age and Location on the drying properties of sengon wood) Efrida Basri; Syarif Hidayat
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 11, No 4 (1993): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1993.11.4.129-133

Abstract

This paper discusses the drying properties of sengon (Paraserianthes falcataria) from plantation forest and natural forest. The material used in the study were selected from 5, 15 and 25 year old plantation forest in Jawa Timur, and from natural forest in Maluku. The drying method used in the study were air and solar drying. Wood from plantation forest contain a large portion of juvenile wood which shrink more than the wood from mature wood. As a consequence the wood from plantation forest are more prone to warping.This study reveals that tree age has a significant effect on the drying properties, and wood from natural forest needs more time to dry.Solar drying method are faster up to 40 % of the air drying method.
HUBUNGAN SIFAT DASAR DAN SIFAT PENGERINGAN LIMA JENIS KAYU ANDALAN JAWA BARAT Efrida Basri; Nurwati Hadjib
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 22, No 3 (2004): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2004.22.3.155-166

Abstract

This study was intended to investigate the relation between basic properties and drying properties of five priority wood species, i.e. pulai kongo (Alstonia congensis Engl.), kibawang (Azadirachta excelsa Jack.), salamander (Grevillea robusta A.Gunn), mahoni (Swietenia macrophy/la King), and suren (foona sureni Merr.)from West Java. The air drying methods used were 29 - 35°C temperatures and high temperature drying (JOrJ'C). The basic properties included basic density, shrinkage, modulus of rupture (MOR), compression parallel to grain (Cl/), wood strength and anatomical structures. The drying properties included drying duration and wood quality. The maximum-minimum temperature and humidityfor each species were based on defects resulted in high temperature drying.The results showed that the drying properties were significantly affected by basic density and wood anatomical structure. Following the drying qualities and basic properties, the optimal drying schedules for pulai kongo and mahoni wood at 70 - 95°C temperature and 29 - 75% humidity; kibawang wood at 65 - 88°C temperature and 29 - 78% humidity; suren wood at 65 - 9rJ'C temperature and 29 - 78% humidity; and salamander wood at 58 - 83°C temperature and 27 - 82% humidity. These drying schedules, however, still need further trial prior to their implementation in the factory-scale operation. Based on basic density, strength class, and decorative value, kibawang, salamander, mahoni and suren wood were suitable forfancy furniture.
MUTU KAYU MANGIUM DALAM BEBERAPA METODE PENGERINGAN Efrida Basri
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 23, No 2 (2005): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2005.23.2.119-129

Abstract

Masalah serius yang dikeluhkan dalam pengolahan kayu mangium (Acacia mangiuum Willd) adalah proses pengeringannya karena berlangsung lama dengan kecenderungan cacat bentuk dan pecah dalam. Penelitian telah dilakukan dengan metode pengeringan shed; metode kombinasi tenaga surya dan enerji (panas dari tungku kayu bakar), metode shed dan kombinasi tenaga surya dan enerji biomas; kombinasi perlakuan pendinginan dan rnetode pengeringan shed. Hasilnya menunjukkan pengeringan dengan metode shed dan kombinasi tenaga surya dan enerji biomas dapat mempercepat pengeringan tanpa menimbulkan pecah dan cacat bentuk pada kayu mangium namun dari segi warna agak pucat. Mutu warna kayu mangium yang terbaik diperoleh dari hasil pengeringan shed dengan contoh uji dari ruang pendingin, walaupun dari segi waktu lebih panjang dibandingkan dengan ketiga metode yang lain. 
KUALITAS KAYU LAMINASI DENGAN PEREKAT TANIN DARI EKSTRAK KULIT KAYU MAHONI Adi Santoso; Efrida Basri; Jamal Balfas
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 38, No 3 (2020): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2020.38.3.151-160

Abstract

Komponen kimia polifenol produk ekstraksi dari kayu mahoni (Swietenia macrophylla) dengan kopolimerisasi resorsinol dan formaldehida dalam kondisi basa, menghasilkan resin yang dapat digunakan sebagai perekat. Tulisan ini menyajikan penggunaan kopolimer tanin dari ekstrak kulit kayu mahoni sebagai perekat kayu laminasi. Metode penelitian mencakup formulasi dan pengujian sifat fisiko-kimia perekat, pembuatan dan pengujian kualitas produk perekatan, dan analisis data. Perlakuan yang dikenakan dalam penelitian ini berupa perbedaan formula perekat, jenis kayu yang digunakan sebagai bahan baku, dan jenis produk yang dibuat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk kopolimerisasi tanin ekstrak dari kulit kayu mahoni dapat digunakan sebagai perekat dalam pembuatan kayu laminasi barupa balok (glulam) dan papan lamina (laminated board) dari tiga jenis kayu, yaitu: tusam (Pinus merkusii), jabon (Anthocepalus cadamba), dan sengon (Falcataria moluccana). Kualitas perekatan dan sifat mekanik kedua jenis produk tersebut sebanding dengan produk sejenis berperekat impor serta tergolong tipe eksterior rendah emisi formaldehida katagori F** atau F***, dengan formula perekat T:R:F = (1:0,025:0,1)%, dan T:K:F = (1:0,03:0,1)%.
PENGUPASAN DAN PEMOLISAN ROTAN DALAM KEADAAN BASAH DAN KERING Efrida Basri; Osly Rachman; Achmad Supriadi
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 15, No 8 (1998): Buletin Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1998.15.8.475-487

Abstract

Pengupasan  dan pemolisan   rotan  berdiameter  besar selama  ini dilakukan  pada  keadaan kering. Yang menjadi permasalahan  di sini adalah  untuk mencapai  keadaan  kering,  waktu pengeringan  yang  diperlukan  sangat  lama yakni  bisa satu bulan atau lebih untuk mencapai  kadar air ±  16%. Keadaan yang  demikian  tentu tidak menguntungkan   karena selain menghambat  proses produksi, juga keawetan rotan  menjadi  turun.Penelitian  ini dilakukan  dengan  tujuan memperoleh  beberapa faktor   konversi  dalam pengupasan dan pemolisan yang   dilakukan  pada  rotan  dalam  keadaan  basah  dan  kering.  Sasarannya   adalah untuk  mengetahui   apakah  pengupasan  dan  pemolisan  rotan  pada  keadaan   kering  dapat  diganti dengan pada keadaan  basah.Bahan yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  tiga jenis  rolan  berdiameter   besar,  yaitu manau (Calamus manan Miq.),  seuti (Calamus  ornatus BL.), dan nunggal  (Calamus ornatus BL.) yang masing-masing  dikupas  dan dipolis  dalam keadaan  basah  (KA. 70-80%) dan kering  (KA.  15 - 18%). Faktor yang  diamati  pada  saat pengupasan  dan pemolisan  adalah pengurangan   diameter,  rendemen, cacat  serat  berbulu  dan serat patah,  cacat warna, dan produktivitasnya.Pengupasan   dan  pemolisan  rotan  dalam  keadaan  basah  menghasilkan  rendemen  lebih  rendah  serta  cacat  serat   berbulu  dan  serat  patah  lebih  tinggi, namun  pengurangan  diameter    dan produktivitas   sama dengan  rotan yang  dikupas  dan dipolis dalam keadaan kering.Mengacu  kepada  klasifikasi  pemesinan,   pengupasan   dan pemolisan  rotan  dalam  keadaan  basah menghasilkan   rotan  dengan  mutu  baik  untuk jenis  manau  dan nunggal,  dan mutu  sedang  untuk jenis seuti.  Sedangkan,   apabila  ketiga  jenis  rotan  tersebut  dikupas   dan  dipolis  dalam   keadaan  kering mutunya  menjadi  sangat  baik.Mengingat  alat pengupasan  dan pemolisan rotan yang  ada sekarang  hanya  untuk  rotan  kering, maka untuk meningkatkan   mutu  rotan kupas dan polis  basah perlu merekayasa  kedua  alat tersebut.
UJI COBA MESIN PENGERING KAYU KOMBINASI TENAGA SURYA DAN PANAS DARI TUNGKU TIPE I Efrida Basri; Achmad Supriadi
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 24, No 5 (2006): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2006.24.5.437-448

Abstract

Telah dilakukan uji coba teknis dan finansial terhadap mesin pengeringan kayu kombinasi tenaga surya dan panas dari tungku tipe SC+TI untuk kapasitas 19 m3 di salah satu industri/pengrajin kayu di Ngaringan, Grobogan, Jawa Tengah.   Uji coba dilakukan terhadap kayu jati (Tectona grandis L.f.). Kebutuhan panas pengeringan di siang hari diperoleh dari tenaga surya dan di malam hari atau tergantung kebutuhan diperoleh dari tungku pembakaran dengan  bahan bakar biomas/limbah kayu dari penggergajian sendiri. Tujuan uji coba adalah untuk mengetahui kelayakan teknis dan finansial dari pemanfaatan masin pengering tersebut.Hasil uji coba menunjukan suhu rata-rata harian dari panas surya yang diterima ruang pengering berkisar    antara 40 - 50°C, sementara suhu untuk pengeringan kayu jati berkisar antara 45 - 70°C. Kekurangan panas diperoleh dari tungku bakar. Untuk mengeringkan sortimen kayu dengan kadar air 50% sampai mencapai kadar air 10% memerlukan waktu rata-rata 13 hari dan menghasilkan rendemen kayu kering sekitar 80%. Konsumsi limbah kayu untuk bahan bakar tungku pada setiap periode pengeringan 8 m3.Investasi pendirian unit pengeringan memerlukan biaya sebesar Rp 74.635.000. Biaya produksi setahun (jumlah produksi 304 m3) adalah Rp 3.251.548.750, sehingga harga pokok produk Rp 10.695.884/m3. Analisis kelayakan finansial pemanfaatan mesin pengering menunjukan dengan harga jual kayu jati kering Rp 11.000.000/m3. Titik impas (BEP) tercapai pada produksi sebesar 86,3 m3, Nilai sekarang neto (NPV) Rp + 374.245.458 dan Internal Rate of Return (IRR) 80%. Hasil ini menunjukkan bahwa mesin pengering tersebut layak untuk dioperasikan.
High temperature drying properties and basic drying schedule of 5 lesser-known species from Riau Karnita Yuniarti; Efrida Basri
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol. 6 No. 2 (2017)
Publisher : Foresty Faculty of Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (967.025 KB) | DOI: 10.18330/jwallacea.2017.vol6iss2pp91-99

Abstract

Drying process is a crucial stage in the utilization of any wood for construction and furniture purposes. The study aimed to: (i) investigate the sensitivity of several lesser-known wood species from natural forest in Riau to drying process at high temperature; and (ii) develop basic drying schedule for each wood. Five lesser-known species from Riau were investigated, namely punak (Tetramerista glabra), mempisang (Diospyros korthalsiana), pasak linggo (Aglaia argentea), meranti bunga (Shorea teysmanniana) and suntai (Palaquiumburckii). Modified Terazawa’s (1965) method was used for the experiment. The result shows that deformation was found for all species. The most severe deformation level was observed for both punak (score value of 4-6) and mempisang (score value of 4-5). On the other hand, pasaklinggo experienced the most severe initial end/surface check/split (score value of 6) and honeycombing (score value of 5). The result also showed that punak and pasaklinggo can be dried with the same drying schedule at the temperature range of 40-65° C and the humidity range of 38-88%. The proposed temperature and humidity ranges (or drying schedules) are 50-80° C and 28-80% for suntai, 50-70° C and 25-80% for mempisang, and 50-70° C and 40-84% for meranti bunga. Mempisang and suntai can use the same drying condition until fiber saturation point, then different drying condition applies.