Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Metodologi Penelitian Ekonomi Islam: Perlukah berbeda? M. Husein Sawit
Economic Journal of Emerging Markets Vol 3, No 1 (1998)
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/ejem.v3i1.6845

Abstract

Islamic economics in Indonesia has been less developed rather than in other countries such as Malasysia and Pakistan. Even through, the mushrooming discussion about Islamic economics in many universities recently has been grateful. The article extends theories and models developed for doing research about Islamic economic.
Kebijakan Swasembada Beras: Keinginan Besar yang Kehilangan Fokus (Rice Self-sufficiency Policy: Big Desire but Losing Focus) M. Husein Sawit
JURNAL PANGAN Vol. 22 No. 2 (2013): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v22i2.85

Abstract

Tantangan swasembada beras semakin tinggi dan risikonya besar. Hal ini disebabkan antara lain oleh buruknya infrastruktur irigasi dan tampungan air, kerusakan aliran sungai dan deforestrasi meluas, konversi lahan sawah, serta perubahan iklim. Kebijakan beras belum fokus. Tujuan makalah ini adalah menelaah implementasi kebijakan beras periode 2010-2012. Hasilnya disimpulkan dan disarankan sebagai berikut: (i) subsidi input terus ditingkatkan namun tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan produktivitas dan sustainabilitas pertumbuhan produksi padi. Irigasi dan kualitas tampungan air banyak yang rusak, lahan kritis mencapai 68 DAS (Daerah Aliran Sungai). Alokasikan APBN yang lebih besar untuk mengatasinya, termasuk deforestasi; (ii) Konversi lahan sulit dibendung, UU 41/2009 belum efektif. Pemda cenderung ingin mengkonversikan lahan sawah. Segera tetapkan moratorium konversi lahan sawah; (iii) Kebijakan menaikkan insentif harga di atas HPP (Harga Pembelian Pemerintah) pada musim gadu telah memicu kenaikan harga beras dan target pengadaan beras BULOG tetap tidak terpenuhi. Pemerintah dianjurkanjangan mengulang kebijakan ad hoc tersebut; (iv) Program GP3K belum mampu meningkatkan produksi dan pengadaan beras BULOG. BUMN sebaiknya fokus untuk memperkuat industri hilir pada sub-sektor pangan.Challenges to maintain rice self-sufficiency and the risks are getting higher. This is due to among others: poor irrigation infrastructure, water reserve, up-streams damage, deforestration, conversion of sawah land, as well as difficult climate change. Government policies designed have not properly focused. This paper is aimed to examine the implementation of rice policy during 2010-2012. This research suggests as follows: (i) despite continuous upgrade on input subsidies, however it did not affect significantly to the increased rice productivity and the sustainability of the growth. Furthermore, many of the irrigation and water reserve are damaged, criticle land reaching to 68 river basins. Therefore, it is recommended to allocate a larger state budget to address these matters, including deforestation; (ii) land conversions are difficult to avoid. Local governments tend to convert paddy fields. To prevent this, it is recommended to immediately set moratorium on conversion of sawah; (iii) the policy in providing price incentives set above the HPP (government procurement price) level on dry season has kept rice prices to rise and BULOG remained incapable of meeting its domestic rice procurement target. The Government recommended do not replicate the ad hoc policies; (iv) GP3K program is not effective to increase rice production and the BULOG procurement. Ministry of State Owned Enterprises should have to play role in enhancing the downstream food industry. 
Strategi Peningkatan Daya Saing BULOG Melalui Pendekatan Balanced Scorecard Suswono Suswono; Arief Daryanto; M. Husein Sawit; Bustanul Arifin
JURNAL PANGAN Vol. 19 No. 2 (2010): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v19i2.123

Abstract

Tujuan makalah ini adalah untuk (i) merancang sasaran strategik, key performance indicator (KPI), inisiatif strategik yang ditinjau melalui empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses internal bisnis dan pertumbuhan dan pembelajaran pada BULOG sebagai lembaga yang menjalankan fungsi PSO dan non PSO (komersial), dan (ii) membuat peta strategi berdasarkan pendekatan balanced scorecard (BSC). Penelitian ini menunjukkan dari empat perspektif BSC di BULOG untuk fungsi non PSO, sasaran strategiknya terdiri dari: (i) perspektif keuangan sebanyak 10 sasaran strategik, diantaranya meningkatkan penjualan dan menurunnya persentase biaya operasional; (ii) perspektif pelanggan sebanyak 4 sasaran strategik, diantaranya mampu memberikan produk dan layanan yang bercitra positif dan juga kompetitif kepada pelanggan, serta mampu memberikan jaminan ketepatan waktu pengiriman barang kepada pelanggan; (iii) perspektif bisnis internal sebanyak 10 sasaran strategik, diantaranya kemampuan menguasai industri hulu dan mampu memberikan jaminan mutu barang yang dikirim kepada pelanggan; dan (iv) perspektif pertumbuhan dan pembelajaran sebanyak 14 sasaran strategik, diantaranya mengembangkan penciptaan nilai (value creation) bagi organisasi dan kemampuan memetakan kebutuhan sumber daya organisasi untuk bisnis 5 tahun yang akan datang. Perspektif BSC di BULOG untuk fungsi bisnis PSO, sasaran strategik-nya terdiri dari: (i) perspektif keuangan sebanyak 7 sasaran strategik, di antaranya meningkatkan kemampuan untuk menentukan harga jual yang ideal dan mempertahankan delta; (ii) perspektif pelanggan sebanyak 3 sasaran strategik, diantaranya rumah tangga sasaran memperoleh beras dengan jumlah mutu, harga, waktu, dan tempat yang tepat serta petani memperoleh jaminan pasar dengan harga yang wajar; (iii) perspektif bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, fungsi bisnis PSO dan fungsi bisnis non PSO memiliki jumlah sasaran strategik yang sama karena kedua fungsi ini masih dijalankan dalam satu organisasi dan belum ada pemisahan sumber daya.The purpose of this study is to (i) formulate strategic objectives, Key Performance Indicators (KPIs), strategic initiatives which are reviewed through four perspectives: finance, customer, internal business process and growth & learning in BULOG as an institution that runs the function of PSO and non-PSO (commercial), and (ii) create BULOG’s strategic map as institution that runs the function of PSO and non-PSO (commercial) based on the Balanced Scorecard approach. The research method used is descriptive research techniques with a Balanced Scorecard approach. The study shows that from the four perspectives of BULOG BSC for non-PSO function, its strategic objectives consist of: (i) Financial perspective as much as 10 strategic objectives, including increasing sales and decreasing the percentage of operating costs; (ii) Customer perspective as much as 4 strategic objectives, among others, able to provide products and services that has a positive image and also competitive to the customer, and is able to guarantee timely delivery to customers; (iii) internal business perspective as much as 10 strategic objectives, including the ability to master the upstream industry and is able to provide quality assurance of the delivered goods to customers; and (iv) Growth and learning perspective as much as 14 strategic objectives, including developing value creation for the organization and the ability to map organization resource needs for business five years to come. From the four BULOG BSC perspectives for PSO business functions, its strategic objectives consist of: (i) Financial perspective as much as seven strategic objectives, including increasing the ability to determine the ideal price and maintenance delta; (ii) Customer perspective as much as three strategic objectives, including target households obtaining rice within the appropriate quality, price, time and place as well as farmers guaranteed a fair market price; (iii) internal business perspective and growth and learning perspective, PSO business functions and non-PSO business functions has the same number of strategic targets, because both functions are executed within one organization and there is no separation of resources.
PERUM BULOG DALAM INPRES PERBERASAN NO. 3/2007: EVALUASI KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASINYA M. Husein Sawit
JURNAL PANGAN Vol. 17 No. 1 (2008): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v17i1.225

Abstract

Pemerintah telah menerbitkan lagi Inpres tentang Kebijakan Perberasan 3/2007 pada akhir Maret 2007. Tujuan inpres ini tidak banyak berubah dibandingkan dengan Inpres yang serupa tahun-tahun sebelumnya, kecuali tentang stabilisasi harga beras. Khusus tentang stabilisasi harga beras, pemerintah telah menempuh berbagai belit baru, yaitu monopoli impor beras diserahkan kembali ke Perum BULOG, dimana Operasi Stabilisasi Harga Beras (OSHB) dipakai sebagai salah satu instrumen untuk stabilisasi harga, disamping Operasi Pasar (OP) sesuai dengan ketentuan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Tujuan tulisan ini adalah untuk Perum BULOG mengevaluasi dan menganalisa kebijakan perberasan mulai dari diktum vi sampai dengan diktum xi, yang terkait dengan tugas-tugas Perum BULOG Itu mencakup kebijakan stabilisasi harga konsumen dan produsen Harga Pembelian Pemerintah (HPP), kebijakan beberapa ketentuan impor beras, pengadaan beras Dalam Negeri (DN), stok dan CBP, dan beras untuk rakyat miskin (Raskin). Hasil utama dari evaluasi ini terlihat bahwa volume pengadaan DN meningkat dan HPP naik, namun kualitas beras pengadaan DN merosot dari standarkualitas Perum BULOG tahun-tahun sebelumnya. Perum BULOG akan kelebihan stok sekitar 0,6 juta ton, dan hal ini akan berpengaruh negatif terhadap efisiensi dan kualitasnya. Dianjurkan agar komponen kualitas beras ditetapkan sesuai dengan SNI (IV atau III). Kenaikan HPP sebaiknya terkait dengan perbaikan kualitas beras/gabah. HPP yang ditetapkan telah terlalu tinggi, hampir 50% lebih tinggi dari harga beras di pasar dunia. Disarankan agar HPP tidak dinaikkan pada 2008, kecuali ada justifikasi khusus. Stok cadangan CBP sebaiknya ditingkatkan minimal menjadi 750 ribu ton pada 2009. OSHB sebagai instrumen stabilisasi harga disarankan agar dipakai sebagai instrumen jangka menengah, bukan bersifat ad hoc. Dengan cara itu, diharapkan bahwa lembaga pelaksana dapat membangun jaringan kerja dan infrastruktur untuk mendukungnya. Pengadaan DN sebaiknya dibuka secara luas, diumumkan persyaratannya di koran lokal atau website.Kata kunci: stabilisasi harga beras, stok cadangan beras pemerintah, kualitas stok, pengadaan dalam negeri, impor beras,Perum BULOG.
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Multi-kualitas: Pengalaman Negara Lain dan Gagasan untuk Indonesia M. Husein Sawit
JURNAL PANGAN Vol. 18 No. 3 (2009): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v18i3.242

Abstract

Pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan HPP gabah/beras satu jenis kualitas yaitu medium, sejak awal 1970an. Hampir setiap tahun, insentif harga melalui HPP dinaikkan, namun tidak banyak kaitannya dengan kualitas gabah/beras dan penguatan industri penggilingan padi. Sejumlah negara produsen padi di Asia telah lama menerapkan HPP/harga dasar multi-kualitas, sehingga petani dan penggilingan padi terdorong untuk meningkatkan kualitas gabah dan beras sesuai dengan tingkat insentifnya. Tujuan makalah ini adalah memperlihatkan HPP/harga dasar gabah/beras multi kualitas di sejumlah negara lain di Asia, serta kemungkinan penerapannya di Indonesia. Pada masa mendatang, kenaikan HPP dan pengadaan BULOG dianjurkan multi-kualitas. Pada tahap awal, cukup 2 jenis kualitas yaitu medium dan premium, sehingga tidak terlalu sulit untuk diimplementasikan. HPP ditetapkan sesuai dengan kualitas, yaitu lebih tinggi untuk HPP kualitas premium dibandingkan dengan HPP kualitas medium. Ini dapat mendorong peningkatan pengadaan DN (dalam negeri), disamping peningkatan kualitas gabah/beras. Dalam jangka menengah/panjang, petani produsen akan merespons untuk memperbaiki kualitas gabah dengan menggunakan benih bermutu, mekanisasi panen dan perontokan gabah. Penggilingan padi (PP) akan terdorong untuk mempercepat pengembangan pengeringan mekanis (dryers), dan mempercepat peralihan dari PP kecil/menengah ke PP modern. Kebijakan ini perlu pula dilengkapi dengan skim kredit dan insentif fiskal dalam kerangka modernisasi PP/percepatan perubahan teknologi panen/pasca panen.
Analisa Hasil Sensus Penggilingan Padi 2012 (Analysis ofRice Milling 2012 Census Results) M. Husein Sawit
JURNAL PANGAN Vol. 23 No. 3 (2014): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v23i3.257

Abstract

Sejak lama, Penggilingan Padi (PP) di Indonesia didominasi oleh PP Kecil (PPK). PP jenis ini tidak mampu menghasilkan beras kualitas baik dengan biaya rendah. Jumlah PP terus bertambah, terutama jumlah PPK. PPsaat inisedang menghadapi kesulitan memperoleh gabah dan diduga mempunyai kapasitas terlantar yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah : (i) menganalisa pertambahan PP, dan (ii) menghitung kapasitas terlantar PP. Penelitian ini menggunakan hasil sensus Pendataan Industri Penggilingan Padi (PIPA) BPS 2012. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah PP telah mencapai 182 ribu unit, 86 persen berada di 13 propinsi utama penghasil padi. Pangsa Penggilingan Padi Besar (PPB) sangat kecil (1 persen), sebaliknya pangsa PPK sangat besar (93 persen). PPK dan Penggilingan Padi Keliling (PPKL) terus bertambah tanpa kendali. Disimpulkan bahwa kesulitan utama PP adalah ketersediaan bahan baku gabah dan modal. Total angka kapasitas terlantar PP secara umum adalah sebesar 15 persen, dimana kapasitas terlantar untuk PPB dan PPK adalah, masing-masing sebesar 10 persen dan 17 persen. Pengadaan beras kualitas medium oleh BULOG telah menjadi salah satu faktor penghambat perbaikan kualitas beras. Dominasi PPK dan PPKL berimplikasi menghambat upaya pengurangan kehilangan hasil pada tahap pengeringan dan penggilingan, menyebabkan rendahnya rendemen giling, serta telah mempersulit upaya peningkatan kualitas beras dan efisiensi; yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan biaya produksi beras dan harga beras menjadi mahal. The rice milling industry in Indonesia has been dominated by small scale rice mills for a long time. This type ofmills is incapable ofproducing good quality rice at low costs. The number of small scale rice mills (SSRM) has continued to grow. This type of rice mills is currentlypresumed to face serious difficulty in obtaining grains, resulting in quite high idle capacity The purposes of this paper are: (i) to analyze the increasing numberof rice mills, and (ii) to calculate the rice mills'idle capacity Thisstudy uses 2012 CBS Rice Milling Census data. The results of the study show that the number of rice mills has reached 182 thou sand units of which 86 percent are located in 13 of the main rice producing provinces. The share of large scale rice mills (LSRM) is very small (1 percent); in contrary the share ofSSRM is very large (93 percent). The total idle capacity ofrice mills is about 15 percent for which the idle capacity forLSRMaccounts for 10 percent and SSRM 17 percent. The predominance of small scale and mobile rice mills has provided sev eral implications: hindered efforts to reduce losses duringdryingand milling stages; resulted in low milling yields; and undermined the efforts to improve the rice qualityand cost efficiency which in turn resulted in the increase of production costs and higher rice prices. 
INDONESIA DALAM TATANAN PERUBAHAN PERDAGANGAN BERAS DUNIA M. Husein Sawit
JURNAL PANGAN Vol. 15 No. 2 (2006): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v15i2.291

Abstract

Ciri perdagangan beras dunia masih tetap tipis, walau volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia telah meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan awal 1990an. Ciri lainnya yang masih melekat adalah sebagai pasar sisa (residual market). Negara eksportir utama seperti Thailand, Vietnam dan India tetap mengutamakan kepentingan dalam negar dan membatasi ekspor, manakala stabilisasi harga dan stok pangan nasional terancam. Disamping itu, harga beras di pasar dunia, belum menggambarkan tingkat efisiensi, karena besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintahnya, terutama di negara net eksportir. Pendapatan petani padi di negara maju OECD misalnya, sekitar 80% diantaranya berasal dari bantuan dan subsidi pemerintahnya. Tujuan tulisan ini adalah membahas instrumen yang paling tepat untuk perlindungan petani. Perlindungan itu, tidak seharusnya memakai instrumen primitif seperti pelarangan impor, lebih tepat ke perlindungan tarif. Disamping itu, daya saing industri padi/beras harus didorong melalui faktor non-harga, sebagai unsur utama untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi industri padi/beras. Insentif harga terutama HPP haruslah dirancang secara hati-hati, sekali ditetapkan terlalu tinggi, akan sulit dikoreksi untuk diturunkan. Pada saat sekarang, HPP telah mencapai 37% dari harga beras di pasar dunia, jauh lebih tinggi dari jaminan harga di Thailand untuk kualitas beras bagus (fragrant rice):