Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Objektifikasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Sebuah Gagasan Pemikiran) Dikson T. Yasin
Al-Mizan (e-Journal) Vol. 12 No. 1 (2016): Al-Mizan
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (476.996 KB) | DOI: 10.30603/am.v12i1.128

Abstract

This study analyzes the modern legal formulation in the formulation of Islamic marriage law in Indonesia. Therefore, the objective considerations in establishing the rule of law a marriage becomes absolutely necessary. In addition, the formulation must produce the material marriage laws within the context of socio-cultural and socio-historical Indonesian Islamic community. With the approach of social history, this study would like to assert that the products Islamic marriage law Indonesia should not only by tradition inherited from generation-a generation ago, but required a study approach to social history with attention and consider the social life of the Indonesian Islamic community who step toward community modern Islam. It is characterized by the marriage laws that are applied to the Indonesian Islamic community in the form of legislation, namely Law No. 1 of 1974. When the Indonesian Islamic marriage law has been codified into national law, then the legislation can be regarded as consensus of Indonesia, or can be viewed as an Indonesian fiqh formulations.
Toleransi Pelencengan Arah Kiblat di Indonesia Perspektif Ilmu Falak dan Hukum Islam Ismail Ismail; Dikson T. Yasin; Zulfiah
Al-Mizan (e-Journal) Vol. 17 No. 1 (2021): Al-Mizan (e-Journal)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30603/am.v17i1.2070

Abstract

This study discusses the limits of deviation of the direction of qibla that is allowed in facing the direction of qibla in Indonesia. This study uses qualitative descriptive analysis with an astronomical approach and Islamic law approach. The results show that there are two types of tolerance towards the qibla, namely mathematical tolerance, and sociological tolerance. Mathematically, tolerance lies in the ability to face three directions, namely the direction of the Ka'bah, the direction of the holy mosque, and the direction of the forbidden land. Sociologically, the deflection tolerance of the direction of qibla 6 ° bows to the left of the Ka'bah or the right of the Ka'bah. Mathematical qibla direction tolerance is provided for the construction of places of worship such as mosques and small mosques, while sociological of Islamic Law, qibla tolerance is allocated for people who perform prayers.
Menelisik Pesan Sosial Poligami dalam KHI Dikson T. Yasin
Jurnal Al Himayah Vol. 2 No. 1 (2018): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1171.157 KB)

Abstract

Perkawinan poligami tidak dilakukan berdasar pada alasan-alasan yang ditentukan oleh perundang-undangan, melainkan karena alasan-alasan lain termasuk untuk pemenuhan kebutuhan biologis saja. Seseorang bisa saja membuat alasan dengan menganggap pasangannya tidak mampu memberikan kepuasan batin. Padahal dalam praktiknya melakukan pernikahan poligami tidak mudah, hal ini dikarenakan banyaknya persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi seorang suami sebelum melakukan poligami. Islam menberikan syarat yang sangat ketat apabila hendak melakukan pernikahan poligami, yakni harus bersifat adil, apabila tidak mampu maka hal ini diharamkan dan jumlah istri yang diperbolehkan untuk dinikahi maksimal empat orang saja, dengan catatan apabila yang sanggup dipenuhi oleh sang suami hanya tiga orang istri maka haram baginya menikah dengan empat orang istri. Jika ia hanya sanggup memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya menikah dengan tiga orang istri. begitu juga apabila khawatir berbuat zalim dengan menikahi dua orang istri, maka haram baginya untuk melakukan poligami. Untuk syarat poligami banyak terjadi perdebatan mengenai masalah ini, mulai dari masyarakat, cendikiawan, para akademisi, termaksud para ulama, ada yang pro dan ada kontra. Salah satu yang kontra terhadap syarat poligami adalah Musdah Mulia ia menyatakan bahwa “terjadi ketidak-seimbangan syarat yang ada di dalam KHI terutama pada pihak perempuan/istri yang mana sangat melemahkan posisi sang istri. Hal ini dikarenakan apabila istri tidak mau memberikan izin poligami pengadilan dapat menetapkan pemberian izin hal ini tertera dalam Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berkenaan dengan hal ini, maka dua hal yang menjadi temuan peneliti, Pertama. Norma hukum poligami dalam KHI menunjukan bahwa pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan tersebut lebih dimaksudkan untuk bersifat umum, abstrak dan berlaku terus menerus atau dengan kata lain norma pasal poligami yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam bersifat peraturan perundang-undangan (regelingen) dan bukan bersifat penetapan (beschiking). Kedua. Putusan hakim tentang poligami dengan menggunakan ketentuan pasal Kompilasi Hukum Islam dikarenakan KHI dipandang sebagai fikih khas Indonesia yang merupakan hasil ijma para ulama Indonesia dan sesuai dengan masyarakat muslim Indonesia. Disamping itu KHI merupakan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Dengan hal ini para hakim Pengadilan Agama hampir tidak pernah menyampingkan ketentuan yang ada dalam KHI untuk memutuskan perkara Poligami.
The Shift in Divorce Patterns among Muslim Families in Gorontalo Dikson T. Yasin
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 24 No. 1 (2025): Pena Justisia
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31941/pj.v24i2.6455

Abstract

In Gorontalo, over 600 divorce rulings were issued in 2022, with the majority stemming from a weakening of marital commitment. This study investigates the evolving divorce patterns among Muslim families in Gorontalo, highlighting two key shifts. First are attitudinal shifts, where social media platforms are frequently misused as instruments of online infidelity. Second are behavioral shifts, where marriage is increasingly perceived as a temporary and negotiable bond, no longer anchored firmly in religious and moral values. Employing a qualitative, field-based approach, this research draws upon direct observations and in-depth interviews with divorced or divorcing Muslim couples. An empirical framework is used to explore the socio-cultural and technological dynamics shaping divorce, with a particular emphasis on judicial data from the Gorontalo Religious Court. Findings reveal a substantial transformation in the patterns of divorce driven by two interrelated forces. First, the pervasive presence of social media has accelerated the internalization of materialistic and consumerist ideals, which in turn erode moral consciousness and reshape both attitudes and behaviors within the marital relationship. Second, social media has contributed to a transformation in divorce typology—from traditionally talaq-based divorces (initiated by husbands) to a rise in contested divorces (initiated by wives). This shift reflects changing power dynamics and an emerging trend in which women increasingly claim their legal agency to terminate marriages they perceive as dissatisfying or unjust