Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dapat Digugat Di Pengadilan Tata Usaha Negara Diani Kesuma
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 1 No 1 (2015): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35814/selisik.v1i1.627

Abstract

PPAT dapat menjadi Tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. PPAT dapat dikatagorikan sebagai Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, karena tugas PPAT membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan tugas dibidang Pendaftaran Tanah, khususnya dalam melayani masyarakat dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan Tata Usaha Negara, dan PPAT diangkat oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah. PPAT yang tidak menjawab suatu permohonan yang diajukan kepadanya, maka PPAT tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan alasan tidak melaksanakan kewajiban sebagai Badan Pejabat Tata Usaha Negara yaitu tidak menjawab permohonan yang diajukan kepadanya sehingga dapat dianggap telah mengeluarkan Keputusan yang berisi penolakan, dan menimbulkan kerugian bagi seseorang.
Dinamika Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Setelah Hadirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014 Diani Kesuma
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.987 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v2i1.639

Abstract

Hadirnya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan khususnya dengan adanya Pasal 53 yang mengatur mengenai Objek sengketa tata usaha negara berupa Keputusan bersifat Fiktif Positif telah merubah konsep Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Fiktif negatif pasal 3 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang PERATUN, yaitu dengan tidak dijawabnya permohonan seseorang/ Badan Hukum Perdata yang diajukan kepada pemerintah, maka pada awalnya dianggap mengeluarkan Keputusan berisi penolakan berubah menjadi permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara Hukum. Dengan ditentukannya waktu yang wajib ditaati baik oleh Badan Pejabat Pemerintah maupun Pengadilan Tata Usaha Negara disertai dengan adanya sanksi administratif (pasal 80 ayat (2), telah mencerminkan adanya pembenahan penyelenggaraan pemerintah dalam meningkatkan Good Governance (pemerintahan yang baik).
Masih Perlukah Adanya Hakim AD HOC Sekarang Ini ? Diani Kesuma
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 3 No 2 (2017): Desember
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (517.568 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v3i2.678

Abstract

Keberadaan hakim ad hoc pada awalnya dikarenakan kurangnya kepercayaan masyarakat pada pengadilan, sehingga dipandang perlu pengawalan hakim ad hoc dalam pelaksanaan peradilan di pengadilan Tipikor. Penentuan hakim ad hoc dan komposisinya pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi semula diatur pada Pasal 56 ayat (1) Jo Pasal 58 ayat (2), Jo. Pasal 59 ayat (2) Jo Pasal 60 ayat (2) Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa jumlah hakim ad hoc melebihi jumlah hakim karir dalam satu majelis, akan tetapi sejak diberlakukannya Undang-undang No.46 Tahun 2009 yang khusus merubah ketentuan mengenai penentuan komposisi hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diserahkan kepada kebijakan masing-masing Ketua Pengadilan Tipikor. Untuk menghasilkan sebuah putusan dalam sistem peradilan pidana adalah didasarkan pada musyawarah dan jika tidak tercapai maka diambil suara terbanyak yang tentunya akan selalu dimenangkan oleh hakim yang jumlahnya lebih besar, dan jika hakim yang jumlahnya komposisinya lebih besar adalah para hakim karier maka sebagus kualitas hakim ad hoc tetap putusan yang dihasilkan tidak akan maksimal dan terjadilah putusan yang terdapat dissenting opinion yang sering kita jumpai sekarang ini. Sehingga sudah saatnya perlu dikaji kembali apakah masih perlu adanya hakim ad hoc dalam dunia peradilan di Indonesia? jangan sampai biaya menghadirkan hakim ad hoc yang cukup besar akan tetapi tujuan awal keberadaan hakim ad hoc yang diharapkan oleh masyarakat tidak terwujud.
Beberapa Terobosan Pengembangan Konsep Dari Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Diani Kesuma
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (586.017 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v4i1.685

Abstract

Pengembangan konsep dalam Peradilan Tata Usaha untuk menjawab permasalahan-permasalahan hukum yang timbul terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan,dengan dilakukannya beberapa kali amandemen dari Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya amandemen tersebut terlihat jelas pengembangan hokum yang terjadi sesuai yang dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 alasan pengajuan gugatan yang telah diatur pada awalnya oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pasal 53 ayat (2) yang unsurnya dihilangkan oleh Undang-Undang no 51 tahun 2009 Pasal 53 ayat(2) kembali dimunculkan walaupun dengan format yang berbeda. Terobosan baru lainnya yaitu dalam pasal 71 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan batal atau tidak sah nya suatu Keputusan TUN tidak saja melalui putusan Hakim sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (1) UU no 5 tahun 1986, akan tetapi dapat saja Keputusan Pembatalan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan dan /atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan keputusan yang baru. Sekarang ini warga masyarakat apabila dirugikan atas Keputusan (produk) Badan/ Pejabat TUN tidak perlu lagi buang waktu dan uang untuk meminta pembatalan Keputusan TUN dengan mengajukan gugatan ke PTUN dikarenakan Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mengatur akibat hukum keputusan dan atau tindakan sebagaimana diatur pasal 70 ayat (1)menjadi tidak mengikat sejak Keputusan dan /atau Tindakan tersebut ditetapkan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada. Kekurangannya tidak ada penjelasan dari pasal tersebut yang menjelaskan siapa dan bagaimana prosedur harus dilakukan atau dapat secara otomatis menjadi batal?. Tercermin dari Undang undang no 30 tahun 2014 berusaha menyetarakan kedudukan warga masyarakat dengan pejabat pemerintah, yaitu adanya sangsi yang diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat pemerintahan sebagaimana pasal 71 ayat 5 yang menyatakan Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintah.
PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA TERKAIT DENGAN KEWENANGAN MENGADILI DAN PERMASALAHAN HUKUMNYA Diani Kesuma
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 6 No 1 (2020): Juni
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (344.894 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v6i1.1704

Abstract

The development of the procedure in Administration Court is the consequences from the issuanceLaw No 30 Year 2014 Concerning Government Administration. One of the legal consequence,there is paradigm changes of authority to adjudicate related to the Unlawful Act done by the ruler,in this matter government official which is knows as Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD) whichpreviously is the authority of District Court, based on Article 1365 of Indonesian Civil Code, theloses classified as civil law as a result of government action. Further the authorization toadjudicate Unlawful Act by the government become jurisdiction of State Administration Court.Several legal problems are found related to the transition of authority to adjudicate in StateAdministration Court. Supreme Court has issued six (6) Supreme Court Regulations, on theregulation is Supreme Court Regulation No 2, 2019 Concerning Guidelines of dispute resolutionof government action and authority to adjudicate Unlawful Act by government institution and/orofficer Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD). Unlawful Act is identical with the claim forcompensation, however there is no regulation as the legal ground related to how much themaximum and minimum limitation could be claimed in the case related Unlawful Act by theGovernment officer and also whether or not there is immaterial claim in the future
Permasalahan Terkait Kuantitas Regulasi Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Diani Kesuma
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 7 No 1 (2021): Juni 2021
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.092 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v7i1.2431

Abstract

It is often encountered basic orderly of laws and regulations problematic, which areuncontrollable types of regulations which could be classified as laws and regulations which aresometimes contained materials the one who resist the higher laws and regulations. Theexistence of Article 8 Paragraph (1) of Law Number 12 Year 2011Concerning Formation ofLaw and Regulations often is interpreted all regulations such as People’s Advisory Councilregulation, The House of Representative regulations, Regional Representative Councilregulation, Supreme Court regulation, Constitutional Court regulation are categorized as lawsand regulation as long as ordered by the higher regulation or established by authority. In fact,not all of those institutions could produce laws and regulations which binds externally. Tocreate basic orderly and formatting laws and regulations need re arrangement among others tothe types, hierarchy, and material content of laws and regulations. The existence of JobCreation Law does not a way out to solve the problem related to quantity of regulations. Article175 of Law Number 11 Year 2020 Concerning Job Creation Cluster GovernmentAdministration does not codify all related regulations with litigation process in stateAdministration Court, due to the litigation process still refer to the previous law. Expected theprovision of litigation process which are governed in various Law and Supreme Court Regulation could be arranged with unify to one law, to make easier for the justice seeker whichinvolved in State Administration disputeprovision of litigation process which are governed in various Law and Supreme Court
LANGKAH PEMERINTAH MENGHADAPI 2 TAHUN PUTUSAN MK NOMOR 91/ PUU-XVIII/2020 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA (Government’s Step to Face 2 Years of MK Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 Concerning About Job Creation Act Testing) Diani Kesuma; Siti Fatiha Aurelia
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 8 No 1 (2022): Juni 2022
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.857 KB) | DOI: 10.35814/selisik.v8i1.3560

Abstract

The Law on Job Creation is promulgated to bring convenience to investorswhich has an impact on the speed of the nation’s economic development. Withthe omnibus law technique, the Job Creation Act has succeeded in cuttingdown several overlapping and long-winded regulations. Like other laws, theestablishment of the Job Creation Law must be in line with what is regulatedthrough the PPP Law. This is a major concern because the omnibus law techniqueis not yet known in the PPP Law, resulting in the Job Creation Act being declaredconditionally unconstitutional. In this case, the Constitutional Court is of theopinion that the Job Creation Law is not in accordance with the mandate of thePPP Law and has also forgotten the involvement of the public in its formation.Therefore, within 2 years of the decision being issued, the government must finda way out so that the Job Creation Law can be enforced as before. This step wastaken by the government by revising the PPP Law by normating the omnibus lawmethod. In addition, there needs to be a spark regarding what form is suitableto bring the community into the formation of the Job Creation Law, consideringthat there is very little time to be able to catch up with the shortcomings of theJob Creation Law
MENEROPONG KEPASTIAN HUKUM BAGI PELAKU USAHA PASCA HADIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG CIPTA KERJA (ENSURING LEGAL CERTAINTY FOR BUSINESSMEN LAW NO. 6 OF 2023 ON CREATION OF WORK) Diani Kesuma
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol 9 No 1 (2023): Juni 2023
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Situasi pandemi ditahun 2020 sangat mempengaruhi nilai ekonomi Indonesia,pertumbuhan ekonomi global melambat, hal ini tidak terjadi hanya diIndonesia tetapi terjadi secara luas diberbagai negara, baik kelompok negaramaju maupun negara berkembang. Tingkat ketidakpastian yang tinggi padaperekonomian dunia membuat Indonesia meningkatkan daya saing dan dayatarik pasar domestik bagi investor dengan memberikan kemudahan berusahabagi Pelaku Usaha. Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkahstrategis dalam pemulihan ekonomi nasional. Mahkamah Konstitusi dalamPutusannya Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa Undang-UndangNomor 11 Tahun2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil, dan menyatakanUndang-Undang Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat Secara hukumdalam 2 (dua) tahun tidak diperbolehkan membuat kebijakan strategis,danyang berdampak luas bagi masyarakat. Hal ini membuat kegamangan bagiInvestor dan pelaku usaha terkait dengan berbagai keputusan investasi,berpacu dengan waktu Pemerintah mengambil upaya sebelumnya denganmengamandeman UU PPP dan mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022tentang Cipta kerja. adanya Perppu tersebut menjadi pertimbangan parainvestor akan keamanan investasi dan imbal hasil yang diharapkan.PascaPerppu pada Desember 2022 Bank dunia melaporkan Indonesia menjadinegara terbesar kedua di Asia Tenggara penerima Foreign Direct Investment(FDI), menandakan aspek positif hadirnya Cipta Kerja perlu dipertahankanoleh Pemerintah.Tidak ada suatu negara yang dapat membuat kebijakan yangdapat memuaskan semua pihak, akan tetapi hadirnya Undang_Undang Nomor6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta kerja akan memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha baik investor asing (PMA ) dan (PMDN) dalammenginveskan dananya
PENANGGULANGAN SAMPAH DI DESA UMBUL TANJUNG: PENDEKATAN SOSIAL, YURIDIS DAN TEKNOLOGI HIJAU Rury Octaviani; Cipta Rachman; Diani Kesuma; Yunan Kurniawan; Gunady Haryanto; Wibisono Oedoyo; Endra Wijaya; Cindy Fatharani; Isfia Mappiaty; Mochammad Assidiqi; Shafiyah Rahmah; Syafara Azahwa; Zakia Zulkifli
Community Development Journal : Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol. 5 No. 5 (2024): Vol. 5 No. 5 Tahun 2024
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/cdj.v5i5.33895

Abstract

Problem sampah masih tetap menjadi permasalahan serius bagi masyarakat. Walaupun secara hukum pengaturan mengenai lingkungan yang bersih dan sehat telah ada, namun dalam praktiknya kondisi lingkungan tetap rawan mengalami pencemaran, termasuk karena keberadaan sampah. Masyarakat Desa Umbul Tanjung juga menghadapi problem sampah, yang jika tidak tertangani dengan baik, maka berpotensi pula menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kesehatan masyarakat bahkan terhadap hasil tangkapan ikan para nelayan di Desa Umbul Tanjung. Kajian ini akan membahas mengenai kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh tim Fakultas Hukum Universitas Pancasila yang ditujukan untuk mengatasi persoalan sampah. Kegiatan tersebut lantas menawarkan beberapa alternatif solusi untuk mengatasi problem sampah di Desa Umbul Tanjung yang mengedepankan sinergi antara aspek sosial, hukum, dan teknologi ramah lingkungan.
Pelatihan Paralegal bagi Masyarakat dan Perangkat Pemerintah Desa Karang Suraga serta Desa Bulakan Endra Wijaya; Cipta Indralestari Rachman; Diani Kesuma; Febri Meutia; Lisda Syamsumardian; Yunan Prasetyo Kurniawan
E-Dimas: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 15, No 3 (2024): E-DIMAS
Publisher : Universitas PGRI Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26877/e-dimas.v15i3.17284

Abstract

Kesadaran hukum masyarakat desa dapat dibina melalui pelatihan paralegal yang melibatkan warga desa dan aparat pemerintah desa sebagai pesertanya. Kesadaran hukum merupakan unsur yang penting dalam proses penegakan hukum. Artikel ini memaparkan mengenai kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pelatihan paralegal yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pancasila bekerja sama dengan beberapa lembaga negara serta pemerintah, dan juga lembaga swadaya masyarakat. Para peserta pelatihan paralegal ini ialah warga masyarakat dan perangkat pemerintah Desa Karang Suraga dan Desa Bulakan, Provinsi Banten. Simpulan yang dapat diambil ialah bahwa pelatihan paralegal merupakan program yang penting bagi upaya menumbuhkembangkan pemahaman, kesadaran serta keterampilan masyarakat di bidang hukum. Melalui pelatihan paralegal, masyarakat dan aparat desa dibekali pemahaman mengenai hukum yang kelak dapat mereka manfaatkan untuk merespons dan menyelesaikan problem hukum yang mereka hadapi sehari-hari.