Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

FUNGSI DAN MAKNA UPACARA MAPAG TOYA DI SUBAK ULUN SUWI DESA NAMBARU KECAMATAN PARIGI SELATAN KABUPATEN PARIGI MOUTONG Ni Ketut Ratini
Widya Genitri : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Agama dan Kebudayaan Hindu Vol 5 No 1 (2014): Widya Genitri
Publisher : STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini mengkaji tentang fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru. Pelaksanaan upacara Mapag Toya dilakukan di ulu bendungan atau irigasi serta diantarkan ke parit yang menuju sawah yang terletak paling ulu. Hal ini dilakukan sebelum mulainya peleburan lahan sawah disertai berbagai upacara dengan harapan selama proses pengolahan dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan dan dapat meningkatkan hasil panennya. Upacara ini bertujuan untuk memohon anugerah dari Dewi Gangga dan Dewa Wisnu yang dapat memberikan air (amertha) yang digunakan dalam peleburan lahan sawah, serta memakai kurban suci yang dilakukan dalam upacara Mapag Toya yang berupa caru ayam hitam sebagai penyeimbangan alam sekitar baik bhuana agung dan bhuana alit yang dapat menetralisir suatu keadaan di dunia. Rumusan masalah: 1) Bagaimanakah tattwa dan etika upacara Mapag Toya pada Subak Ulun Suwi di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong?, dan 2) Bagaimanakah fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong?. Tujuan Penelitian ini yaitu: 1) Untuk mengetahui tattwa dan etika upacara Mapag Toya di Desa Nambaru, dan 2) Untuk memahami fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Desa Nambaru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, serta menggunakan sumber data primer dan sekunder, penentuan informan dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu memahami tattwa dan etika dalam pelaksanaan upacara Mapag Toya, melalui berbagai cara dengan mengikuti atau mengacu pada Tri Kerangka Dasar agama Hindu yaitu tattwa, etika dan upacara, serta sastra dan ajaran agama Hindu yang dilakukan oleh Subak Ulun Suwi Desa Nambaru, sebelum melakukan peleburan lahan sawah yang akan ditanami padi. Subak Ulun Suwi sebagian besar telah mengetahui fungsi dan makna dari upacara Mapag Toya yang dilakukan, yaitu sebagai anugerah dan wujud terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan kesuburan, kemakmuran dan ketentraman dalam pengolahan lahan sawah. Upacara ini merupakan proses awal turun ke sawah dengan berbagai sarana upakara banten yang memiliki makna, sebagai wujud terima kasih atas anugerah yang diberikan oleh Dewa Danu yang memberikan sumber air, yang dapat dipergunakan untuk mengairi lahan. Upacara ini didukung juga oleh Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan manusia dengan alam (palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia (pawongan).
FUNGSI DAN MAKNA UPACARA MAPAG TOYA DI SUBAK ULUN SUWI DESA NAMBARU KECAMATAN PARIGI SELATAN KABUPATEN PARIGI MOUTONG Ni Ketut Ratini
Widya Genitri : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Agama dan Kebudayaan Hindu Vol 5 No 1 (2014): Widya Genitri
Publisher : STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini mengkaji tentang fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Subak Ulun Suwi Desa Nambaru. Pelaksanaan upacara Mapag Toya dilakukan di ulu bendungan atau irigasi serta diantarkan ke parit yang menuju sawah yang terletak paling ulu. Hal ini dilakukan sebelum mulainya peleburan lahan sawah disertai berbagai upacara dengan harapan selama proses pengolahan dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan dan dapat meningkatkan hasil panennya. Upacara ini bertujuan untuk memohon anugerah dari Dewi Gangga dan Dewa Wisnu yang dapat memberikan air (amertha) yang digunakan dalam peleburan lahan sawah, serta memakai kurban suci yang dilakukan dalam upacara Mapag Toya yang berupa caru ayam hitam sebagai penyeimbangan alam sekitar baik bhuana agung dan bhuana alit yang dapat menetralisir suatu keadaan di dunia. Rumusan masalah: 1) Bagaimanakah tattwa dan etika upacara Mapag Toya pada Subak Ulun Suwi di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong?, dan 2) Bagaimanakah fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Desa Nambaru Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong?. Tujuan Penelitian ini yaitu: 1) Untuk mengetahui tattwa dan etika upacara Mapag Toya di Desa Nambaru, dan 2) Untuk memahami fungsi dan makna upacara Mapag Toya di Desa Nambaru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, serta menggunakan sumber data primer dan sekunder, penentuan informan dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu memahami tattwa dan etika dalam pelaksanaan upacara Mapag Toya, melalui berbagai cara dengan mengikuti atau mengacu pada Tri Kerangka Dasar agama Hindu yaitu tattwa, etika dan upacara, serta sastra dan ajaran agama Hindu yang dilakukan oleh Subak Ulun Suwi Desa Nambaru, sebelum melakukan peleburan lahan sawah yang akan ditanami padi. Subak Ulun Suwi sebagian besar telah mengetahui fungsi dan makna dari upacara Mapag Toya yang dilakukan, yaitu sebagai anugerah dan wujud terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan kesuburan, kemakmuran dan ketentraman dalam pengolahan lahan sawah. Upacara ini merupakan proses awal turun ke sawah dengan berbagai sarana upakara banten yang memiliki makna, sebagai wujud terima kasih atas anugerah yang diberikan oleh Dewa Danu yang memberikan sumber air, yang dapat dipergunakan untuk mengairi lahan. Upacara ini didukung juga oleh Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan manusia dengan alam (palemahan) dan hubungan manusia dengan manusia (pawongan).
Ethnopedagogy of the Rambu Solo Ceremony in the Toraja Hindu Community in West Sulawesi Ni Ketut Ratini; Wayan Paramartha; I Gusti Ayu Suasthi
International Journal of Interreligious and Intercultural Studies Vol. 8 No. 2 (2025): International Journal of Interreligious and Intercultural Studies
Publisher : UNHI PRESS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/ijiis.vol8.iss2.2025.8304

Abstract

Every religion believed by the community has its own tradition or culture, as the identity of the community. Culture is one of the reflections that maintain world civilization. So that the existence of human wisdom is maintained, one of the cultures that still exists from the Toraja tribe which is very unique is the Rambu Solo Ceremony. The uniqueness of the Rambu Solo Ceremony is the technique of treating the bodies of people who have died, in this case some are buried, some are preserved first in chests, some are stored in caves, and some are stored in special houses or burrows. The Rambu Solo ceremony also makes animal sacrifice offerings, including buffaloes and pigs in fantastic numbers, the animal offerings number up to hundreds of heads, and have an economic value of hundreds of millions and even billions of rupiah. This practice is an effort to give the last respect to the ancestors, where this custom or Rambu Solo Ceremony is a traditional funeral ritual that must be carried out by the Aluk Todolo community, this ceremony is an itangible cultural heritage, which is a custom that has been passed down for years from their ancestors. This then attracts the author to answer these three problems: (1) Why the Ethnopedagogy of Rambu Solo Ceremony in Toraja Hindu community can survive, (2) How is the process of Ethnopedagogy of Rambu Solo Ceremony, (3) How is the implication of Ethnopedagogy of Rambu Solo Ceremony on knowledge, attitude, and behavior of Toraja Hindu community. Research objectives: (1) To analyze the survival of Rambu Solo Ceremony Ethnopedagogy in Toraja Hindu community, (2) To analyze the process of Rambu Solo Ceremony Ethnopedagogy, (3) To analyze the implication of Rambu Solo Ceremony Ethnopedagogy. Three theories are used in this research: (1) structural functionalism theory, (2) constructivistic theory, and (3) meaningful learning theory. This type of research is qualitative, how to determine informants by purposive sampling, data collection techniques include: Observation, interview, document study, and literature study. The results of this research analysis strengthen the postulates of structural functionalism theory where the Rambu Solo Ceremony is not only a religious ritual, but an educational process that plays an important role in maintaining the social and cultural structure of society, this is in line with the AGIL scheme (Adaptation, Goal attaement, Integration, and Latency), but has not been able to fully overcome the external situation (latency) which can eliminate the ethnopedagogical existence of the Rambu Solo Ceremony.