Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

MASLAHAH AL-MURSALAH DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA (Perspektf NU dan Ulamā Mazdhāhib AL-Arbā’ah ) Yusuf hadziq; Kawakib Kawakib
Al-Maslahah : Jurnal Ilmu Syariah Vol 16, No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Syariah (Syari'ah Faculty )

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/al-maslahah.v16i1.1566

Abstract

Islamic Shari’ah is very concerned about the realization of welfare and general benefit in the life of the nation and state. Public benefit accommodates the interests of all parties regardless of faith, class, skin color and does not contradict with Islamic law (Qur'an, hadith, ijmâ and qiyas). Maslahah 'âmmah is the benefit that leads to the principle of justice, freedom and human equality in front of law. Maslahah 'âmmah must have the principle of syûra (deliberation), Maslahah 'âmmah is determined, must go through representative institutions as the aspirations of the people, as well as for their interests, which is decided in the Law on people's representative institutions (majlis istisyâri) which the government must guide as honest executors and consequently, and there must be positive support and control over representative institutions as formulators (legislative), as law enforcing judiciary (judiciary). The implication of the difference in the concept of maslahah 'âmmah will increase the breadth of the concept or make it easier to limit and seek decisions of public interest (maslahah 'âmmah), in accordance with the times that are increasingly rotating in the midst of life. Because in essence, all of this comes down to one goal, namely the realization of benefit 'âmmah (universal goodness). Ijtihad produced by Nahdlatul Ulama, in realizing maslahah 'ammah and rejecting danger, is elastic in accordance with the times and conditions. Because the two concepts of NU and madzhâhib al-Arbâ'ah can complement or strengthen both of them, and the decisions that NU come up are stronger. Because NU in formulating maslahah 'âmmah only adds or completes it. For example, decisions must be based on the provisions of syûra (voice of government and people).
Sadd Al-Dzari'ah Sebagai Hukum Islam Kawakib, Kawakib; Syuhud, Hafidz; Yusuf, Yusuf
Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist Vol 4 No 1 (2021): 2021
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an Wali Songo Situbondo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35132/albayan.v4i1.103

Abstract

Fiqh merupakan hukum produk hasil ijtihad para ulamā sehingga menghasilkan hukum yang sesuai dengan tujuan syariat Islam untuk kemaslahatan umat manusia yang semakin berkembang seiring dengan situasi dan kondisi perubahan zaman. Para Ulamā dituntut untuk selalu peka terhadap problematika sosial di masyarakat. Akan tetapi, perbedaan latar sisial-kultural para fuqaha' menyebabkan perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan konsekuwensi dalam pembentukan hukum Islam. sebagaimana perbedaan tersebut adalah tentang kehujjahan Sadd al-Dzarî’ah antara Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Hazm. Ibnu al-Qayyim memandang bahwa konsep sadd al-dzarî’ah sebagai hujjah dalam Hukum Islam selain itu, Ibnu al-Qayyim selalu memberi memotivasi selalu berijtihad, karena pintu ijtihad tidak ditutup dan mengecam kepada orang yang melakukan taklid. Berpikiran rasional diutamakan agar tidak terpaku kepada teks. Dengan pemikiran ini beliau lebih longgar dalam menetapkan dasar-dasar hukum meskipun tidak ada nash yang secara rinci mengakui kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Berbeda dengan Ibnu Hazm bahwa selama tidak ditemukan nash yang merubah ketentuan hukumnya sehingga kehujjahan sadd al-dzarî’ah tidak bisa diterima. Dengan demikian,Perbedaan pendapat ini berimplikasi kepada beberapa kasus yang tidak sama ketentuan hukumnya antara Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Hazm. Contoh; jual beli secara tempo lalu si penjual membeli lagi barang tersebut secara kontan dengan harga yang lebih murah. Dalam masalah ini, jika di dekati dengan sadd al-dzarî’ah, maka transaksi ini haram karena praktek jual beli ini berorientasi untuk melakukan praktek riba yang diharamkan. Sedangkan menurut Ibnu Hazm, jual beli ini tidak dilarang karena sudah sesuai dengan ketentuan syara'.
IMPLEMENTASI HUKUM PERIKATAN: Studi Kasus Prosedur Hukum Perjanjian Akad Pembiayaan Murabahah Bank Syariah Indonesia di Jl. Achmad Yani Kota Pontianak Kawakib
JURISY: Jurnal Ilmiah Syariah Vol. 4 No. 2 (2024): SEPTEMBER 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Hasan Jufri Bawean

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak: Konsep akad pembiayaan murabahah pada bank syariah Indonesia bentuk jual beli barang dengan harga pokok dan keuntungan yang diambil penjual pihak Bank yang harus disampaikan kepada nasabah harus rinci dan jelas sesuai dengan akad perjanjiannya. Sebab akad pembiayaan Murabahah di PT. Bank Syariah Indonesia Jl. Ahmad Yani Kota Pontianak, berdasarkan ketentuan Hukum Islam, dan ketentuan Undang-Undang Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Implementasi yang diterapkan oleh pihak bank syariah dengan cara negosiasi akad Pembiayaan Murabahah antara calon nasabah dengan syarat menunjukkan dokumen pribadi seperti; ktp, suami isteri, legalitas usaha, dan dokumen Pendukung Usaha yang telah ditentukan oleh pihak bank syariah sebagaimana Standar Operasional Prosedur (SOP) pihak bank. selain itu Bank Syariah di Pontianak mendapatkan kepercayaan para nasabah baik muslin dan non muslim dengan menunjukkan 65%-75% dari tahun 2023-2024 nasabah semakian bertamah. bertabah. sedangkan akibat hukum dalam akad pembiayaan murabahah ketika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, penyelesaiannya berdasarkan pada isi akad yang telah disepakati bersama dengan cara musyawarah dan kekeluargaan, Jika cara tersebut tidak dapat tercapai, barulah upaya terakhir diselesaikan melalui Pengadilan Agama dan Negeri setempat. Kata kunci: perjanjian akad, pembiayaan, murabahah, Bank syariah
Interelasi Akal dan Wahyu: Analisis Pemikiran Ulama Mutakallimin dalam Pembentukan Hukum Islam: Interelasi Akal dan Wahyu: Analisis Pemikiran Ulama Mutakallimin dalam Pembentukan Hukum Islam Kawakib, Kawakib; Syuhud, Hafidz
Journal of Islamic Law Vol. 2 No. 1 (2021): Journal of Islamic Law
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/jil.v2i1.127

Abstract

This paper aims to reveal and analyze the thoughts of Mutakallimin scholars on the interpretation of reason and revelation in the formation of Islamic law, which has been a debate. The debate was caused by several factors, including the understanding of the Quran and Sunnah texts, dwellings, social, and culture. In this article, the author finds that Mutakallimin scholars agree that the answer to Islamic law problems cannot be separated from the first source, namely the Quran and the Sunnah. If the Alquran and Sunnah are not found, then Mutakalimin scholars agree to use ijtihad and qiyas. Ijtihad and qiyas are the results of the mujtahid’s reasoning towards Allah SWT's revelations, whose meaning is still unclear, global, and general to reveal the purpose and purpose Allah's revelation regarding the problems of everyday human life. Thus, the Mutakalimin scholars position human reason in the formation of Islamic law as a mediation of the argument of ‘aqliyah to answer everyday human problems in worship, zakat, muamalah, economics, and politics. Besides, Mutakallimin scholars have different Islamic legal, methodological concepts, but the primary sources in forming mutually agreed upon Islamic law are the Alquran, Sunnah, ijma’, and qiyas. Ijma’ and qiyas here have an essential role in the mind's intellect towards revelation so that they can become a bridge in the formation of laws to answer human problems along with the place and era.