Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Sadd Al-Dzari'ah Sebagai Hukum Islam Kawakib, Kawakib; Syuhud, Hafidz; Yusuf, Yusuf
Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist Vol 4 No 1 (2021): 2021
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an Wali Songo Situbondo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35132/albayan.v4i1.103

Abstract

Fiqh merupakan hukum produk hasil ijtihad para ulamā sehingga menghasilkan hukum yang sesuai dengan tujuan syariat Islam untuk kemaslahatan umat manusia yang semakin berkembang seiring dengan situasi dan kondisi perubahan zaman. Para Ulamā dituntut untuk selalu peka terhadap problematika sosial di masyarakat. Akan tetapi, perbedaan latar sisial-kultural para fuqaha' menyebabkan perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan konsekuwensi dalam pembentukan hukum Islam. sebagaimana perbedaan tersebut adalah tentang kehujjahan Sadd al-Dzarî’ah antara Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Hazm. Ibnu al-Qayyim memandang bahwa konsep sadd al-dzarî’ah sebagai hujjah dalam Hukum Islam selain itu, Ibnu al-Qayyim selalu memberi memotivasi selalu berijtihad, karena pintu ijtihad tidak ditutup dan mengecam kepada orang yang melakukan taklid. Berpikiran rasional diutamakan agar tidak terpaku kepada teks. Dengan pemikiran ini beliau lebih longgar dalam menetapkan dasar-dasar hukum meskipun tidak ada nash yang secara rinci mengakui kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Berbeda dengan Ibnu Hazm bahwa selama tidak ditemukan nash yang merubah ketentuan hukumnya sehingga kehujjahan sadd al-dzarî’ah tidak bisa diterima. Dengan demikian,Perbedaan pendapat ini berimplikasi kepada beberapa kasus yang tidak sama ketentuan hukumnya antara Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Hazm. Contoh; jual beli secara tempo lalu si penjual membeli lagi barang tersebut secara kontan dengan harga yang lebih murah. Dalam masalah ini, jika di dekati dengan sadd al-dzarî’ah, maka transaksi ini haram karena praktek jual beli ini berorientasi untuk melakukan praktek riba yang diharamkan. Sedangkan menurut Ibnu Hazm, jual beli ini tidak dilarang karena sudah sesuai dengan ketentuan syara'.
Interelasi Akal dan Wahyu: Analisis Pemikiran Ulama Mutakallimin dalam Pembentukan Hukum Islam: Interelasi Akal dan Wahyu: Analisis Pemikiran Ulama Mutakallimin dalam Pembentukan Hukum Islam Kawakib, Kawakib; Syuhud, Hafidz
Journal of Islamic Law Vol. 2 No. 1 (2021): Journal of Islamic Law
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/jil.v2i1.127

Abstract

This paper aims to reveal and analyze the thoughts of Mutakallimin scholars on the interpretation of reason and revelation in the formation of Islamic law, which has been a debate. The debate was caused by several factors, including the understanding of the Quran and Sunnah texts, dwellings, social, and culture. In this article, the author finds that Mutakallimin scholars agree that the answer to Islamic law problems cannot be separated from the first source, namely the Quran and the Sunnah. If the Alquran and Sunnah are not found, then Mutakalimin scholars agree to use ijtihad and qiyas. Ijtihad and qiyas are the results of the mujtahid’s reasoning towards Allah SWT's revelations, whose meaning is still unclear, global, and general to reveal the purpose and purpose Allah's revelation regarding the problems of everyday human life. Thus, the Mutakalimin scholars position human reason in the formation of Islamic law as a mediation of the argument of ‘aqliyah to answer everyday human problems in worship, zakat, muamalah, economics, and politics. Besides, Mutakallimin scholars have different Islamic legal, methodological concepts, but the primary sources in forming mutually agreed upon Islamic law are the Alquran, Sunnah, ijma’, and qiyas. Ijma’ and qiyas here have an essential role in the mind's intellect towards revelation so that they can become a bridge in the formation of laws to answer human problems along with the place and era.
Sadd Al-Dzari'ah Sebagai Hukum Islam: Studi Komparatif Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah Dan Ibnu Hazm Kawakib, Kawakib; Syuhud, Hafidz; Yusuf, Yusuf
Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist Vol 4 No 1 (2021): Januari
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an Wali Songo Situbondo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35132/albayan.v4i1.103

Abstract

Fiqh merupakan hukum produk hasil ijtihad para ulamā sehingga menghasilkan hukum yang sesuai dengan tujuan syariat Islam untuk kemaslahatan umat manusia yang semakin berkembang seiring dengan situasi dan kondisi perubahan zaman. Para Ulamā dituntut untuk selalu peka terhadap problematika sosial di masyarakat. Akan tetapi, perbedaan latar sisial-kultural para fuqaha' menyebabkan perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan konsekuwensi dalam pembentukan hukum Islam. sebagaimana perbedaan tersebut adalah tentang kehujjahan Sadd al-Dzarî’ah antara Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Hazm. Ibnu al-Qayyim memandang bahwa konsep sadd al-dzarî’ah sebagai hujjah dalam Hukum Islam selain itu, Ibnu al-Qayyim selalu memberi memotivasi selalu berijtihad, karena pintu ijtihad tidak ditutup dan mengecam kepada orang yang melakukan taklid. Berpikiran rasional diutamakan agar tidak terpaku kepada teks. Dengan pemikiran ini beliau lebih longgar dalam menetapkan dasar-dasar hukum meskipun tidak ada nash yang secara rinci mengakui kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Berbeda dengan Ibnu Hazm bahwa selama tidak ditemukan nash yang merubah ketentuan hukumnya sehingga kehujjahan sadd al-dzarî’ah tidak bisa diterima. Dengan demikian,Perbedaan pendapat ini berimplikasi kepada beberapa kasus yang tidak sama ketentuan hukumnya antara Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Hazm. Contoh; jual beli secara tempo lalu si penjual membeli lagi barang tersebut secara kontan dengan harga yang lebih murah. Dalam masalah ini, jika di dekati dengan sadd al-dzarî’ah, maka transaksi ini haram karena praktek jual beli ini berorientasi untuk melakukan praktek riba yang diharamkan. Sedangkan menurut Ibnu Hazm, jual beli ini tidak dilarang karena sudah sesuai dengan ketentuan syara'.