Wisnu Broto
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PEMATANGAN BUAH MANGGA (Mangifera indica, L.) CV. GEDONG MENGGUNAKAN GAS ETILEN Wisnu Broto; Sari Intan Kailaku; Irpan Badrul Jamal; Rahmawati Nurjanah; Enrico Syaifullah
Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian Vol 17, No 3 (2020): Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian
Publisher : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jpasca.v17n3.2020.165-176

Abstract

Mangga (Mangifera indica, L.) cv. Gedong merupakan salah satu kultivar unggulan Jawa Barat,dengan daya saing tinggi di pasar domestik dan internasional. Sulitnya mendapatkan kematangan serempak merupakan tantangan yang harus diatasi dengan teknologi pascapanen yang tepat. Penggunaan karbit sebagai pemacu kematangan buah tidak lagi dianjurkan dan perlu diganti dengan bahan lainya seperti etilen. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi gas etilen dan lama paparan serta kondisi pemeraman terbaik untuk menghasilkan buah mangga Gedong matang sempurna dengan mutu yang baik.   Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Perlakuan yang diterapkan adalah konsentrasi gas etilen (0, 30, 60 dan 90 ppm) selama 24 jam pada kondisi ambient dan dalam ruangan berpendingin (AC).   Hasil penelitian  menunjukkan bahwa,  perlakuan  terbaik  untuk  mendapatkan  mangga  cv.  Gedong matang sempurna dengan mutu yang baik yaitu penggunaan etilen 30 ppm. Dengan perlakuan tersebut kematangan buah mangga tercapai 2 hari pada suhu berpendingin dan 4 hari   pada kondisi ambient  lebih cepat dibandingkan mangga tanpa paparan gas etilen. Suhu ruangan pemeraman lebih berpengaruh terhadap mutu buah mangga Gedong matang yang dihasilkan. Pemeraman dengan gas etilen meningkatkan kadar TPT (89,55%), vitamin C (71,31%), dan total fenol (167,23%) serta menurunkan total asam (92,62%) dan  total flavonoid (71,67%) dari buah mangga Gedong matang.  Konsentrasi gas etilen tidak berpengaruh terhadap kadar air, TPT, total asam dan vitamin C pada buah mangga Gedong matang hasil pemeraman. Gas etilen tidak menyebabkan penurunan mutu berdasarkan parameter fisikokimia yang diamati. Ripening of Mango (Mangifera Indika L.) CV. Gedong Using Ethylene GasMango (Mangifera indica, L.) CV. Gedong is one of the leading cultivars in West Java, with high competitiveness in the domestic and international markets. The difficulty of obtaining simultaneous ripe fruits is a challenge that must be overcome with the right postharvest technology. The use of carbide as a ripening booster is no longer recommended and needs to be replaced with ethylene gas which has been practiced internationally. This study aims to obtain the best ethylene gas concentration and exposure time and ripening conditions to produce perfectly  ripe  Gedong  mangoes  with  good  quality.  The  research  was  conducted  with  a completely randomized factorial design. The treatment applied was the concentration of ethylene gas (0, 30, 60 and 90 ppm) for 24 hours in ambient conditions and in an air conditioned room. The results showed that, the concentration of 30 ppm ethylene gas was the best treatment to produce fully ripe mangos with good quality, where maturity was obtained 2 days (air-conditioned room) to 4 (ambient condition) days earlier compared to those without ethylene gas exposure. The temperature of the ripening room has more effect on the quality of the ripe Gedong mango produced. Ripening with ethylene gas increased levels of TPT (89.55%), vitamin C (71.31%), and total phenols (167,23%) and decreased total acid (92.62%) and total flavonoids (71.67%) from ripe Gedong mangoes. Ethylene gas concentration had no effect on water content, TPT total acid and vitamin C in ripened mango Gedong. Ethylene gas did not cause deterioration based on observed physicochemical parameters. 
Kontaminasi Mikotoksin pada Buah Segar dan Produk Olahannya serta Penanggulangannya Miskiyah Miskiyah; Christina Winarti; Wisnu Broto
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 29, No 3 (2010): September 2010
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jp3.v29n3.2010.p79-85

Abstract

Indonesia merupakan negara tropis yang memungkinkan aneka tanaman buah tumbuh dan berproduksi. Penerapan teknologi produksi dan penanganan pascapanen yang kurang memadai akan mengakibatkan inkonsistensi mutu buah yang dihasilkan. Kontaminasi mikotoksin merupakan salah satu masalah pascapanen produk pertanian di Indonesia. Penelitian mengenai kontaminasi mikotoksin pada komoditas buah di Indonesia belum banyak diungkapkan, namun penelitian sejenis sudah banyak dipublikasikan di luar negeri, terutama kontaminasi mikotoksin pada aneka buah subtropis. Beberapa jenis mikotoksin yang umumnya mencemari aneka buah subtropis dan produk olahannya adalah patulin, aflatoksin, okratoksin, dan alternariol. Genus kapang yang teridentifikasi pada buah dan berpotensi menghasilkan mikotoksin antara lain adalah Fusarium sp., Aspergillus sp., Penicillium sp., dan Alternaria sp. Penanganan pascapanen buah merupakan salah satu titik kritis terjadinya infeksi kapang penghasil mikotoksin. Penanganan buah seperti pemanenan yang tepat, penanganan pascapanen yang baik, pembuangan kotoran, dan pencucian dapat menurunkan tingkat kontaminan pada buah segar. Pada buah olahan seperti sari buah, untuk menurunkan kontaminan dapat dilakukan dengan penghilangan bagian buah yang berkapang, perlakuan enzim, dan penjernihan.
STATUS CEMARAN DAN UPAYA PENGENDALIAN AFLATOKSIN PADA KOMODITAS SEREALIA DAN ANEKA KACANG Wisnu Broto
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 37, No 2 (2018): Desember, 2018
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jp3.v37n2.2018.p81-90

Abstract

Cereals and nuts commodities play a major role in present and future human consumption patterns. Increased production of these commodities that have been achieved will not mean when both are not safe for consumption. Aflatoxin contamination is one of the food safety indicators that determine consumer acceptance. The high prevalence of aflatoxicosis in South and Southeast Asia are 81% and 54% respectively implies high aflatoxin contamination of cereals and nuts consumed in the area. Aflatoxin contamination in Indonesia, especially in corn and peanut is detected more than 20 ppb, so it needs attention for the handling and controlling. The technology for reducing or eliminating aflatoxin contamination in food products up to 97% has been generated from many studies. The application of such technology is commercially constrained by aspects of the procedural complexity and limitations of industrial support devices from upstream to downstream. Aflatoxin contamination in addition to adversely affecting health also causes economic losses of the commodities concerned, but the regulatory limitations vary greatly. Indonesia sets the maximum limit of aflatoxin on cereals and nuts relatively higher (20 35 ppb) than any other country in the world, so it needs to be re-examined through multidisciplinary research and conprehensive studies to be scientifically tested with economic and political considerations to deal with the increasingly competitive competition in the global market.Keywords: Cereals, various nuts, aflatoxin, food safety AbstrakKomoditas serealia dan aneka kacang memegang peran penting dalam konsumsi pangan pada saat ini dan ke depan. Peningkatan produksi komoditas tersebut tidak berarti manakala tidak aman dikonsumsi. Cemaran aflatoksin merupakan salah satu indikator keamanan pangan yang menentukan penerimaan konsumen. Prevalensi aflatoksikosis yang tinggi di Asia Selatan (81%) dan Asia Tenggara (54%) menyiratkan masih tingginya cemaran aflatoksin pada produk serealia dan aneka kacang yang dikonsumsi. Cemaran aflatoksin di Indonesia, khususnya pada jagung dan kacang tanah, terdeteksi lebih dari 20 ppb, sehingga perlu penanggulangan serius. Teknologi pengurangan atau penghilangan cemaran aflatoksin hingga 97% pada produk pangan telah banyak dihasilkan dari berbagai penelitian. Penerapan teknologi tersebut secara komersial terkendala dari aspek kerumitan prosedural dan keterbatasan perangkat pendukung industrial dari hulu hingga hilir. Cemaran aflatoksin selain berdampak negatif pada kesehatan juga menyebabkan kerugian ekonomi, namun pengaturan batasannya sangat beragam. Indonesia menetapkan batas maksimum aflatoksin pada serealia dan aneka kacang relatif tinggi (2035 ppb) daripada negara lain, sehingga perlu dicermati kembali melalui penelitian komprehensif multidisiplin agar lebih teruji secara ilmiah dengan pertimbangan ekonomis dan politis untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar global.Kata kunci: Serealia, aneka kacang, aflatoksin, keamanan pangan.