nFN Erwidodo
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

MILK COLLECTION POINTS: INOVASI KEMITRAAN USAHA TERNAK SAPI PERAH DI PANGALENGAN-BANDUNG SELATAN Iwan Setiajie Anugrah; Tri Bastuti Purwantini; nFN Erwidodo
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 19, No 1 (2021): Analisis Kebijakan Pertanian - Juni 2021
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v19n1.2021.1-18

Abstract

The fulfillment of national milk consumption is still facing the problem of low production, productivity and quality of milk from smallholder dairy farmers. Efforts to improve the performance of dairy farming are continuously being made, one of which is partnership cooperation between the milk processing industry, dairy farmers and dairy cooperative. This paper aims to analyze the success of an innovative partnership between the Frisian Flag Indonesia (FFI) milk processing industry and farmers who are members of the South Bandung Dairy Cooperative (KPBS) Pangalengan through the management of the Milk Collection Point (MCP) program. The study results indicate that the cause of the low quality of fresh milk is influenced by the number of initial bacteria in fresh milk, the milk supply chain from farmers to the milk processing industry is too long, and the cooling system is inadequate. The low quality is the cause of the low selling price of fresh milk. The MCP program has not only succeeded in improving the quality of fresh milk but has also provided price incentives for farmers. Dairy farmers who are members of the KPBS receive incentives to improve the dairy cattle management process in the MCP program's direction. It is recommended that cooperation between dairy farmers, the milk processing industry, and dairy farmer cooperatives should continue to be developed to encourage an increase in milk volume and quality as raw material for the milk processing industry. This effort is expected to have an impact on increasing the income and welfare of the dairy farmers in Indonesia.AbstrakPemenuhan kebutuhan susu nasional masih menghadapi permasalahan rendahnya capaian produksi, produktivitas dan kualitas susu dari peternak sapi perah rakyat. Berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja peternakan sapi perah rakyat terus dilakukan, salah satunya berupa kerja sama kemitraan antara industri pengolahan susu dengan peternak dan koperasi peternak sapi perah. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan sebuah inovasi kemitraan antara industri pengolahan susu Frisian Flag Indonesia (FFI) dengan para petermak yang tergabung dalam Koperasi Persusuan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan melalui pengelolaan program Milk Collection Point (MCP). Hasil kajian menunjukkan bahwa penyebab rendahnya kualitas susu segar dipengaruhi oleh jumlah bakteri awal pada susu segar, rantai pasok penyetoran susu dari peternak kepada industri pengolahan susu terlalu panjang, dan sistem pendingin yang kurang memadai. Rendahnya kualitas menjadi penyebab rendahnya harga jual susu segar. Program MCP tidak saja berhasil meningkatkan kualitas susu segar juga telah memberikan insentif harga bagi peternak. Para peternak yang tergabung dalam KPBS memperoleh insentif untuk meningkatkan proses pengelolaan usaha ternak sapi perah ke arah yang dipersyaratkan oleh program MCP. Kerja sama antara peternak sapi perah, industri pengolahan susu, dan koperasi peternak dapat terus dikembangkan sehingga dapat mendorong peningkatan volume dan kualitas susu sebagai bahan baku industri pengolahan susu. Upaya ini diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak sapi perah di Indonesia.
Sistem Resi Gudang di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan Erma Suryani; nFN Erwidodo; Iwan Setiadjie Anugerah
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 1 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v12n1.2014.69-86

Abstract

Fenomena yang umum terjadi pada perdagangan komoditas pertanian adalah anjloknya harga pada saat panen raya dan melonjaknya harga pada masa paceklik. Kebijakan stabilisasi harga untuk gabah dan beras, yang melibatkan peran aktif Perum Bulog, dinilai cukup berhasil. Namun, kebijakan yang sama tidak segera dilakukan untuk komoditas pertanian lain karena alasan besarnya anggaran yang diperlukan dan pertimbangan kemampuan Bulog untuk melaksanakan. Upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk membantu petani dalam menghadapi fluktuasi harga tersebut adalah merancang dan memfasilitasi penyelenggaraan Sistem Resi Gudang (SRG). Meskipun Undang-Undang SRG telah diterbitkan tahun 2006, namun implementasinya di lapangan belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan dan mencari alternatif strategi dan kebijakan yang diperlukan untuk mengakselerasi SRG sehingga dapat dimanfaatkan petani produsen. Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder. Lokasi pengumpulan data primer difokuskan di Kabupaten Indramayu dan Subang. Hasil kajian menunjukkan, antara lain: (i) masih terbatasnya pemahaman tentang SRG berikut manfaatnya, (ii) jasa SRG di Indramayu dan Subang baru mencakup komoditas gabah dan beras, (iii) pengguna jasa SRG lebih banyak pedagang, dan (iv) terbatasnya ketersediaan gudang yang memenuhi persyaratan, dan (v) masih terbatasnya keterlibatan dan dukungan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan SRG. Permasalahan melembagakan SRG untuk komoditas pertanian sangat komplek karena terkait dengan banyak lembaga yang terlibat. Oleh karena itu, diperlukan strategi alternatif yang mampu mengatasi permasalahan dan kendala komplek tersebut.
Sistem Resi Gudang dalam Perspektif Kelembagaan Pengelola dan Pengguna di Kabupaten Subang: Studi Kasus KSU Annisa Iwan Setiajie Anugrah; nFN Erwidodo; Erma Suryani
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 1 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v13n1.2015.55-73

Abstract

EnglishA drop in agricultural commodity prices at harvest season and difficulty of obtaining farm financing are problems often faced by farmers . Warehouse Receipt System (WRS) is expected to be one among other government efforts to facilitate farmers to cope with these problems. WRS is a delay selling strategy by farmers in a way to temporarily storage their products in the warehouse and sell them at the right time to get the possi ble highest price . Warehouse Receipt ( WR) may be used by farmers as collateral to get loan from designated b ank and other financial institution. In general, the implementation of the WRS has been slow and has not been widely used by farmers and other WRS target participants. This paper aims to analyze policy in the implementation of WRS with regard to institutional perspectives of service supplier and users in Subang Regency and to formulate policy options for future performance improvement. Some findings indicate that small land size, the immediate need of cash during harvest season and famers’ limited ability to meet quality standards are regarded as constraining factors for farmers to utilize WRS. Lacks of understanding of the concept , benefits, and impl ementation procedures of WRS remain fundamental problems. These occur at the farm level and in related agencies including local government officials. Dissemination and advocacy of WRS to farmers, farmer groups and all stakeholders need to be undertaken in a wider scale . An active role of local government is urgently needed to accelerate the dissemination of SRG. IndonesiaMerosotnya harga komoditas pertanian saat musim panen dan kesulitan memperoleh pembiayaan usaha tani merupakan fenomena yang seringkali dihadapi oleh para petani. Sistem Resi Gudang (SRG) diharapkan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk memfasilitasi petani dan peserta skim SRG lainnya dalam menghadapi permasalahan tersebut. SRG merupakan strategi tunda jual yang dilakukan petani dengan cara menyimpan hasil panennya di gudang pengelola SRG dan menjualnya pada saat yang tepat untuk memperoleh harga yang tertinggi. Resi Gudang (RG) dapat dipergunakan oleh para petani sebagai jaminan untuk memperoleh kredit perbankan atau lembaga keuangan lain yang ditunjuk. Secara umum pelaksanaan SRG masih berjalan lambat dan belum banyak dimanfaatkan oleh para petani dan sasaran peserta skim SRG lainnya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan penyelenggaraan SRG dalam perspektif kelembagaan pengelola dan pengguna di Kabupaten Subang dan merumuskan alternatif kebijakan untuk meningkatkan kinerja SRG. Terbatasnya luas lahan garapan, kebutuhan untuk memperoleh uang tunai serta persyaratan kualitas dan volume minimal produk yang ditetapkan pengelola SRG, merupakan pembatas tingkat partisipasi petani dalam memanfaatkan SRG. Keterbatasan pemahaman tentang konsep dan manfaat SRG maupun tata cara pelaksanaannya menjadi permasalahan mendasar, tidak hanya di tingkat petani sebagai sasaran, tetapi juga terjadi pada para petugas pelaksana instansi terkait, termasuk aparat Pemda setempat. Oleh karenanya, sosialisasi dan advokasi tentang SRG kepada petani, kelompok tani, dan semua pemangku kepentingan perlu ditingkatkan dan diperluas. Peran aktif Pemda setempat sangat dibutuhkan untuk mempercepat penyebarluasan SRG.
Sistem Resi Gudang dalam Perspektif Kelembagaan Pengelola dan Pengguna di Kabupaten Subang: Studi Kasus KSU Annisa Iwan Setiajie Anugrah; nFN Erwidodo; Erma Suryani
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 1 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.103 KB) | DOI: 10.21082/akp.v13n1.2015.55-73

Abstract

EnglishA drop in agricultural commodity prices at harvest season and difficulty of obtaining farm financing are problems often faced by farmers . Warehouse Receipt System (WRS) is expected to be one among other government efforts to facilitate farmers to cope with these problems. WRS is a delay selling strategy by farmers in a way to temporarily storage their products in the warehouse and sell them at the right time to get the possi ble highest price . Warehouse Receipt ( WR) may be used by farmers as collateral to get loan from designated b ank and other financial institution. In general, the implementation of the WRS has been slow and has not been widely used by farmers and other WRS target participants. This paper aims to analyze policy in the implementation of WRS with regard to institutional perspectives of service supplier and users in Subang Regency and to formulate policy options for future performance improvement. Some findings indicate that small land size, the immediate need of cash during harvest season and famers’ limited ability to meet quality standards are regarded as constraining factors for farmers to utilize WRS. Lacks of understanding of the concept , benefits, and impl ementation procedures of WRS remain fundamental problems. These occur at the farm level and in related agencies including local government officials. Dissemination and advocacy of WRS to farmers, farmer groups and all stakeholders need to be undertaken in a wider scale . An active role of local government is urgently needed to accelerate the dissemination of SRG. IndonesiaMerosotnya harga komoditas pertanian saat musim panen dan kesulitan memperoleh pembiayaan usaha tani merupakan fenomena yang seringkali dihadapi oleh para petani. Sistem Resi Gudang (SRG) diharapkan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk memfasilitasi petani dan peserta skim SRG lainnya dalam menghadapi permasalahan tersebut. SRG merupakan strategi tunda jual yang dilakukan petani dengan cara menyimpan hasil panennya di gudang pengelola SRG dan menjualnya pada saat yang tepat untuk memperoleh harga yang tertinggi. Resi Gudang (RG) dapat dipergunakan oleh para petani sebagai jaminan untuk memperoleh kredit perbankan atau lembaga keuangan lain yang ditunjuk. Secara umum pelaksanaan SRG masih berjalan lambat dan belum banyak dimanfaatkan oleh para petani dan sasaran peserta skim SRG lainnya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan penyelenggaraan SRG dalam perspektif kelembagaan pengelola dan pengguna di Kabupaten Subang dan merumuskan alternatif kebijakan untuk meningkatkan kinerja SRG. Terbatasnya luas lahan garapan, kebutuhan untuk memperoleh uang tunai serta persyaratan kualitas dan volume minimal produk yang ditetapkan pengelola SRG, merupakan pembatas tingkat partisipasi petani dalam memanfaatkan SRG. Keterbatasan pemahaman tentang konsep dan manfaat SRG maupun tata cara pelaksanaannya menjadi permasalahan mendasar, tidak hanya di tingkat petani sebagai sasaran, tetapi juga terjadi pada para petugas pelaksana instansi terkait, termasuk aparat Pemda setempat. Oleh karenanya, sosialisasi dan advokasi tentang SRG kepada petani, kelompok tani, dan semua pemangku kepentingan perlu ditingkatkan dan diperluas. Peran aktif Pemda setempat sangat dibutuhkan untuk mempercepat penyebarluasan SRG.
Sistem Resi Gudang di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan Erma Suryani; nFN Erwidodo; Iwan Setiadjie Anugerah
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 1 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.187 KB) | DOI: 10.21082/akp.v12n1.2014.69-86

Abstract

Fenomena yang umum terjadi pada perdagangan komoditas pertanian adalah anjloknya harga pada saat panen raya dan melonjaknya harga pada masa paceklik. Kebijakan stabilisasi harga untuk gabah dan beras, yang melibatkan peran aktif Perum Bulog, dinilai cukup berhasil. Namun, kebijakan yang sama tidak segera dilakukan untuk komoditas pertanian lain karena alasan besarnya anggaran yang diperlukan dan pertimbangan kemampuan Bulog untuk melaksanakan. Upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk membantu petani dalam menghadapi fluktuasi harga tersebut adalah merancang dan memfasilitasi penyelenggaraan Sistem Resi Gudang (SRG). Meskipun Undang-Undang SRG telah diterbitkan tahun 2006, namun implementasinya di lapangan belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan dan mencari alternatif strategi dan kebijakan yang diperlukan untuk mengakselerasi SRG sehingga dapat dimanfaatkan petani produsen. Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder. Lokasi pengumpulan data primer difokuskan di Kabupaten Indramayu dan Subang. Hasil kajian menunjukkan, antara lain: (i) masih terbatasnya pemahaman tentang SRG berikut manfaatnya, (ii) jasa SRG di Indramayu dan Subang baru mencakup komoditas gabah dan beras, (iii) pengguna jasa SRG lebih banyak pedagang, dan (iv) terbatasnya ketersediaan gudang yang memenuhi persyaratan, dan (v) masih terbatasnya keterlibatan dan dukungan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan SRG. Permasalahan melembagakan SRG untuk komoditas pertanian sangat komplek karena terkait dengan banyak lembaga yang terlibat. Oleh karena itu, diperlukan strategi alternatif yang mampu mengatasi permasalahan dan kendala komplek tersebut.