Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

The Current State of Fish Marketing in Indonesia Victor P.H. Nikijuluw; Bambang Sayaka; Mewa Ariani
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 16, No 2 (1998): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v16n2.1998.10-18

Abstract

EnglishFish and fish-based products are main protein sources for Indonesian. Their production and availability are so varied by provinces and major islands. Consequently, their average consumption levels are spatially different. The inequality of consumption and production is traced to the problems of marketing and distribution. By understanding and solving the problems, per capita fish consumption level may be increased. The existing marketing organizations at producer level do not provide incentives to boost the production. Meanwhile, the marketing facilities and infrastructures are limited available. For the future development, particularly for increasing per capita fish consumption, supporting marketing facilities and infrastructures should be provided by the government. Other functions of the government are to provide regulations on the management of local fish auction markets, to undertake campaign of fish consumption, to provide marketing information in order to attract private sectors into the business, and to carry out research and development in order to anticipate changes of consumption pattern. IndonesianIkan merupakan sumber protein utama bagi penduduk. Namun distribusi produksinya sangat timpang menurut wilayah. Akibatnya konsumsi ikan tidak merata.Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi merupakan masalah pemasaran dan distribusi. Dengan memahami kondisi pemasaran, distribusi, serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi maka di harapkan konsumsi ikan yang rendah dapat ditingkatkan. Organisasi pemasaran yang ada di tingkat nelayan belum sepenuhnya memberikan insentif bagi pengembangan produksi. Sarana dan prasarana pemasaran masih sangat terbatas. Ke depan, pemerintah sebaiknya mengambil bagian dalam penyediaan sarana yang cukup, penataan pemasaran di tingkat produsen melalui peraturan yang mempertimbangka kondisi lokal, pengadaa kampanye guna meningkatkan konsumsi, pemberian kesempatan bagi swasta untuk berpartisipasi secara luas melalui penyediaan informasi pasar, serta mengadakan penelitian untuk mengantisipasi dan menyikapi perubahan konsumsi yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan di masa yang akan datang.
Menuju Era Baru Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia Bambang Sayaka; Effendi Pasandaran
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 14, No 2 (1996): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v14n2.1996.27-36

Abstract

IndonesianSumberdaya air di Indonesia sebagian besar digunakan untuk pertanian dan terutama diarahkan untuk mempertahankan swasembada pangan pokok. Hal ini memerlukan rehabilitasi jaringan irigasi maupun eksploitasi dan perawatan. Petani diajak berpartisipasi melalui P3A untuk mengelola irigasi kecil. Dengan semakin pesatnya pembangunan sektor nonpertanian sumberdaya air akan merupakan potensi konflik pada masa mendatang antara sektor nonpertanian dan pertanian. Sementara itu pengelolaan sumberdaya air dituntut untuk semakin efisien mengingat pasokan yang terbatas dan permintaan yang terus bertambah. Indonesia sekarang harus menuju era baru pengelolaan sumberdaya air. Efisiensi penggunaan air irigasi bukan hanya dilakukan pada sistem irigasi tetapi harus didasarkan pada efisiensi seluruh wilayah sungai. Ada empat hal pokok sumber efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya air, yaitu meningkatkan output per unit air yang hilang karena penguapan, mengurangi air yang hilang karena bermuara ke laut, mengurangi polutan, dan mengalikasikan air dari penggunaan yang bernilai ekonomi rendah ke penggunaan bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya air harus memperhatikan perspektif teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan.
Pengembangan Perbenihan Sapi Potong dan Perannya dalam Pencapaian Swasembada Daging Sapi Bambang sayaka
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 30, No 1 (2012): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v30n1.2012.59-71

Abstract

EnglishThe Beef Self-Sufficiency Program (PSDS) to be realized in 2014 is one of the main agricultural development targets for the period of 2010-2014. Some regulations are launched to support this program. Many provincial governments create program to encourage domestic cattle population. Artificial insemination (AI) is still a dominant method besides natural reproduction through the village breeding centers (VBC). Supply of quality frozen cement at sufficient quantity and affordable price, expanding number of inseminators, improving VBC, profitable domestic cows’ price, feed supply, and grazing land intensification are prerequisites for beef self-sufficiency achievement. IndonesianProgram Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang dicanangkan untuk dicapai pada tahun 2014 merupakan bagian dari sasaran utama pembangunan pertanian periode 2010-2014. Berbagai peraturan telah diluncurkan untuk mendukung PSDS. Demikian juga berbagai program di daerah dibuat untuk meningkatkan populasi sapi potong demi keberhasilan PSDS. Peningkatan populasi sapi melalui upaya perbenihan, khususnya inseminasi buatan (IB), masih merupakan pilihan utama disamping pembibitan rakyat dengan cara alami (VBC). Permintaan IB yang tinggi perlu diimbangi dengan penyediaan semen beku dalam jumlah dan mutu yang memadai serta harga yang terjangkau. Disamping itu perlu penambahan jumlah inseminator, perbaikan  VBC, peningkatan harga jual sapi dalam negeri, kecukupan pakan, serta instensifikasi lahan penggembalaan merupakan prasyarat keberhasilan PSDS.
Prospek konsumsi cengkeh di Indonesia Bambang Sayaka; Benny Rachman
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 8, No 1-2 (1990): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v8n1-2.1990.35-43

Abstract

IndonesianProspek cengkeh agaknya semakin tidak menentu sebagai akibat menurunnya harga cengkeh yang berkepanjangan serta tata niaga yang kurang sehat dalam mempertahankan harga dasar. Untuk memacu produktivitas cengkeh, salahsatu kebijakan yang cukup penting adalah masalah harga saprodi maupun harga cengkeh. Hal ini dapat ditempuh dengan menaikkan dana penyangga pemerintah dari Rp 62 milyar menjadi Rp 614 milyar serta menyempurnakan Keppres 8/80 tentang tataniaga cengkeh. Besarnya dana penyangga ini didasarkan pada hasil produksi serta harga per kg yang layak diterima petani. Untuk mengimbangi konsumen yang semakin monopsoni sebaiknya petani membentuk asosiasi agar posisi penawarannya menjadi lebih kuat atau membentuk badan penyangga cengkeh.
Kendala Adopsi Benih Bersertifikat untuk Usahatani Kentang Bambang sayaka; Juni Hestina
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 29, No 1 (2011): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v29n1.2011.27-41

Abstract

EnglishMost potato farmers in Indonesia do not adopt certified potato seed. Relatively expensive price of certified seed is the main reason the farmers apply the seed produced by themselves. In general, prices of potato produced using certified seed and those produced using uncertified seed are relatively equal. The farmers who regularly apply certified seed are those having partnership with the potato processor. High risk of potato seed production discourages the certified seed producers to produce it in sufficient amount for market supply. Less cost of certified seed production and improved potato selling price will enhance farmers’ adoption of certified seed. The government needs to empower the farmers to produce quality seed by themselves through informal seed system development rather than they have to depend on commercial certified-seed produced by the formal seed industry. IndonesianAdopsi benih kentang bermutu oleh petani kentang di berbagai daerah relatif rendah. Harga benih kentang bersertifikat yang relatif lebih mahal dibanding benih kentang yang dibuat sendiri oleh petani merupakan alasan utama petani tidak menggunakan benih bersertifikat. Harga kentang yang berasal dari benih buatan sendiri dibanding harga kentang yang berasal dari benih bersertifikat jika dijual ke pasar umum harganya relatif sama. Penggunaan benih kentang bersertifikat dilakukan petani terutama untuk kemitraan dengan prosesor kentang. Risiko tinggi dalam memproduksi benih kentang bersertifikat merupakan disinsentif bagi penangkar benih kentang untuk berproduksi dalam jumlah yang memadai. Kemudahan dalam menangkarkan benih bersertifikat dan membaiknya harga jual kentang akan meningkatkan adopsi petani terhadap benih kentang bersertifikat. Pemerintah juga harus berinisiatif agar petani secara mandiri bisa menghasilkan benih kentang bermutu melalui pengembangan sistem benih informal dan tidak harus bergantung pada benih kentang komersial yang dihasilkan industri benih formal.