Benita Gratia Sitepu
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

ANALISIS DOKTRIN FAIR USE ATAS PENGGUNAAN KLIP AUDIOVISUAL DALAM VIDEO REVIEW DAN VIDEO REACTION BERDASARKAN KETENTUAN PERLINDUNGAN HAK CIPTA DI INDONESIA DAN AMERIKA Benita Gratia Sitepu
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, April 2021
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Benita Gratia Sitepu, Moch. Zairul Alam,Ranitya GanindhaFakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono No 169 Malange-mail: benitagratia.s@gmail.comAbstrak Video Review dan Video Reaction telah menjadi bentuk kritik audiovisual yangpopuler. Untuk mengetahui apakah suatu karya bermuatan ulasan kritik dapatdilindungi oleh hak cipta dan memperoleh pembenaran atas perlindungan Fair Use, maka perlu untuk diketahui lebih lanjut kelayakan karya tersebut sebagaiciptaan. Sangatlah perlu untuk memahami bagaimana batasan penggunaanwajar untuk tujuan kritik, khususnya prnggunaan klip audiovisual berhak ciptasebagai bagian dari ulasan. Walaupun di Indonesia belum dijumpai secarakhusus kasus terkait ini, Amerika Serikat sudah memiliki banyak pengalamandalam menanganinya sehingga dapat menjadi pembelajaran, mengingatpembuat konten terkait cukup banyak di Indonesia karena berpeluang untukdimonetize. Penelitian ini mengangkat rumusan masalah: (1) Bagaimanaanalisis doktrin Fair Use atas penggunaan klip audiovisual dalam video Reviewdan video Reaction berdasarkan ketentuan Undang-Undang Tentang Hak CiptaNomor 28 Tahun 2014 dan United States Copyright Act 1976, dan (2)Bagaimana perlindungan doktrin Fair Use atas klaim hak cipta bagi pembuatvideo review dan video reaction bermuatan klip audiovisual oleh pemegang hakcipta? Menggunakan metode yuridis normatif dengan metode pendekatanperundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan.Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis akandianalisis dengan menggunakan metode penafsiran gramatikal, penafsiransistematis dan penafsiran komparatif.Kata kunci: fair use, audiovisual, kritik AbstractBoth review and reaction videos have become popular audio-visual criticism. To find out whether a creation laden with criticism can be protected by copyright and is justifiable for the fair use protection, it is necessary to further investigate the appropriateness of the creation. It is essential to understand the scope of fair use for the purpose of criticism, especially regarding the use of copyrighted audio-visual clip as the basis of the review. Although it is not common in Indonesia to find such cases, America has often handled these cases, and this can serve as a reference recalling content creation is growing in popularity since people can monetize this trend. This research aims to investigate (1) how the doctrine of fair use in audiovisual clip regarding review video and reaction video is analysed according to the provision of Law concerning Copyright Number 28 of 2014 and United States Copyright Act 1967, and (2) how the doctrine of fair use is protected by copyright holders over copyright claim for review video and reaction video makers regarding the videos with audiovisual clip. With normative juridical, statutory, conceptual, and comparative approaches, this research analysed primary, secondary, and tertiary materials with grammatical, systematic, and comparative interpretation.Keywords: fair use, audiovisual, critics
PEMBENTUKAN DEWAN PERTIMBANGAN MARGINAL GUNA MEWUJUDKAN REGULASI DAERAH YANG INKLUSIF Benita Gratia Sitepu
Jurnal Studia Legalia Vol. 1 No. 1 (2020): Mimbar Jurnal Hukum (Migrasi Data)
Publisher : FKPH Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1200.323 KB)

Abstract

Pada tingkat kedaerahan, konfigurasi politik yang demokratis tidak serta merta melahirkan regulasi daerah yang berbasis hak asasi manusia atau berpihak kepada masyarakat marginal. Proses pembentukan regulasi daerah tidak selalu melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Upaya menjaring pendapat masyarakat umum yang populer disebut public hearing dilakukan tidak lebih dari sekedar prasyarat formal tanpa makna substantif. Demikian juga dengan substansi dan isi regulasi daerah. Cukup banyak fakta empirik, fakta hukum dan fakta sosial yang mengindikasikan tidak/belum berpihaknya regulasi daerah kepada masyarakat marginal. Terdapat pandangan bahwa dalam negara hukum yang demokratis, maka politik hukum HAM harus bersifat promotif, protektif, dan implementatif terhadap HAM guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk pelanggaran HAM. Salah satu upaya untuk melaksanakan kewajiban tersebut adalah dengan melaksanakan ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu melakukan langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Sehubungan dengan langkah implementasi pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut maka penulis secara konkrit menggagas dibentuknya Dewan Pertimbangan Marginal yang merupakan himpunan dari perwakilan tiap kelompok marginal dan rentan yang diakui oleh Komnas HAM, antara lain perempuan, anak, penyandang cacat, manusia lanjut usia, narapidana/tahanan, masyarakat adat, orang dengan masalah kejiwaan, kelompok minoritas, dan pengungsi dalam negeri (IDPs). Keterwakilan kelompok marginal dalam Dewan Pertimbangan Marginal tersebut dipilih langsung oleh anggotanya. Adapun pembidangan kelompok marginal pada lembaga tersebut menyesuaikan dengan potensi di tiap daerah. Lembaga ini hanya dapat menjalankan fungsinya apabila muatan materi dalam Raperda tersebut berkaitan dengan kepentingan kelompok yang diwakilkan agar tercipta regulasi daerah yang inklusif.
PEMBENTUKAN DEWAN PERTIMBANGAN MARGINAL GUNA MEWUJUDKAN REGULASI DAERAH YANG INKLUSIF Benita Gratia Sitepu
Journal of Studia Legalia Vol. 1 No. 1 (2020): Mimbar Jurnal Hukum
Publisher : FKPH Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61084/jsl.v1i1.11

Abstract

Pada tingkat kedaerahan, konfigurasi politik yang demokratis tidak serta merta melahirkan regulasi daerah yang berbasis hak asasi manusia atau berpihak kepada masyarakat marginal. Proses pembentukan regulasi daerah tidak selalu melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Upaya menjaring pendapat masyarakat umum yang populer disebut public hearing dilakukan tidak lebih dari sekedar prasyarat formal tanpa makna substantif. Demikian juga dengan substansi dan isi regulasi daerah. Cukup banyak fakta empirik, fakta hukum dan fakta sosial yang mengindikasikan tidak/belum berpihaknya regulasi daerah kepada masyarakat marginal. Terdapat pandangan bahwa dalam negara hukum yang demokratis, maka politik hukum HAM harus bersifat promotif, protektif, dan implementatif terhadap HAM guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk pelanggaran HAM. Salah satu upaya untuk melaksanakan kewajiban tersebut adalah dengan melaksanakan ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu melakukan langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Sehubungan dengan langkah implementasi pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut maka penulis secara konkrit menggagas dibentuknya Dewan Pertimbangan Marginal yang merupakan himpunan dari perwakilan tiap kelompok marginal dan rentan yang diakui oleh Komnas HAM, antara lain perempuan, anak, penyandang cacat, manusia lanjut usia, narapidana/tahanan, masyarakat adat, orang dengan masalah kejiwaan, kelompok minoritas, dan pengungsi dalam negeri (IDPs). Keterwakilan kelompok marginal dalam Dewan Pertimbangan Marginal tersebut dipilih langsung oleh anggotanya. Adapun pembidangan kelompok marginal pada lembaga tersebut menyesuaikan dengan potensi di tiap daerah. Lembaga ini hanya dapat menjalankan fungsinya apabila muatan materi dalam Raperda tersebut berkaitan dengan kepentingan kelompok yang diwakilkan agar tercipta regulasi daerah yang inklusif.