Esmi Warassih
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Kanun: Jurnal Ilmu Hukum

Recognition of Adat Forest and Plantation Concessions in Indonesia Esmi Warassih; Sulaiman Sulaiman
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 2 (2017): Vol. 19, No. 2, (Agustus, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACT: Legal recognition of adat forests has long been established through Decision of the Constitutional Court No. 35/PUU-X/2012 correcting terminology of adat forests in the Forestry Law. However, the recognition has been still not running as expected to date. This article will explore about what are legal implications of recognition of adat forests associated with plantation concessionaires. The study found a number of unfair articles in the Plantation Act, even though they had been corrected by two Decisions of the Constitutional Court. The injustice appeared in regulation to plantation concessionaires who can be entitled to land for plantation business. On the one hand, such regulation showed injustice, especially with orientation of partiality. On the other hand, it would potentially generate a conflict between plantation business and community. A number of cases occurred between communities and plantation enterprises are potentially taking small community away from justice. Pengakuan Hutan Adat dan Konsesi Perkebunan di Indonesia ABSTRAK: Pengakuan hukum atas hutan adat sudah lama diteguhkan, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang mengoreksi terminologi hutan adat dalam Undang-Undang Kehutanan. Akan tetapi hingga sekarang pengakuan tersebut masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Artikel ini ingin menelusuri bagaimana implikasi hukum atas pengakuan hutan adat terhadap pemegang konsesi perkebunan. Penelitian ini menemukan bahwa dalam Undang-Undang Perkebunan, terdapat sejum-lah pasal yang tidak berkeadilan, walau sudah diperbaiki dengan dua Putusan Mahka-mah Konsitusi. Ketidakadilan tampak pada pengaturan pelaku usaha perkebunan yang dapat diberi hak atas tanah untuk usaha perkebunan. Pengaturan demikian memperlihatkan ketidakadilan di satu pihak, terutama dengan orientasi keberpihakan. Di pihak lain, berpotensi memunculkan konflik usaha perkebunan dengan masyarakat. sejumlah kasus terjadi antara masyarakat dan usaha perkebunan, yang berpotensi menjauhkan masyarakat kecil dari keadilan.
Perlindungan Konstitusional terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Mewujudkan Keadilan Sosial Amrina Rosyada; Esmi Warassih; Ratna Herawati
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 20, No 1 (2018): Vol. 20, No. 1, (April 2018)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v20i1.10021

Abstract

Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan perlindungan konstitusional terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Namun, perlindungan kontitusional KMHA belum mewujudkan keadilan bagi KMHA itu sendiri. Penelitian ini menggunaan pendekatan sosio-legal, dalam rangka menjawab masalah yang diteliti. Faktor-faktor penyebab belum terwujudknya keadilan bagi KMHA Sedulur Sikep adalah: (1) Belum adanya Undang-Undang khusus tentang KMHA serta keragaman Istilah yang dipakai untuk menyebutkan KMHA, (2) Ego sektoral para pihak, (3) Pengakuan keberadaan KMHA Sedulur Sikep Pati belum dituangkan didalam Perda. Ketiga alasan tersebut berdampak pada konflik yang sering terjadi antara pemerintah dengan KMHA Sedulur Sikep. Constitutional Protection of Indigenous Community in Achieving Social Justice Article 18B paragraph (2) of the Indonesia Constitution 1945 mandates the constitutional protection towards indigenous communities. However, the protection still cannot bring justice for the community. This research uses a socio-legal approach in order to answer research questions. The factors of why Sedulur Sikep Community has not get justice are: (1) There is no any specified law regarding indigenous community and various terminology used to refer to the indigenous  community groups; (2) The sectoral ego of the involved parties (3) The recognition of Sedulur Sikep Community has not been embodied into Regional Regulations. Those three factors result the conflicts oftenly happens between the regional government and the Sedulur Sikep Community, which depict a clear gap between them.