Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Dinas Sosial Dalam Penyediaan Fasilitas Bagi Penyandang Disabilitas Di Kota Banda Aceh Dian Riska Sani; Efendi Efendi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam Pasal 19 huruf (b) Peraturan Gubernur Nomor 111 Tahun 2016 yang mengatur tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Sosial Aceh, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas Dinas Sosial Kota Banda Aceh menyelenggarakan fungsi “Pelaksanaan kebijakan dalam penyendiaan fasilitas bagi penyandang disabilitas”. Namun pada kenyataannya masih banyak ditemukan penyandang disabilitas yang belum mendapatkan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhannya di Kota Banda Aceh, hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Sosial dalam penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas di kota Banda Aceh belum dilaksanakan secara maksimal. Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Sosial,  kendala yang dihadapi Dinas Sosial dalam penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas di Kota Banda Aceh, upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Sosial dalam penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas di Kota Banda Aceh. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan internet dan hasil karya ilmiah lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini serta penelitian lapangan yang dilakukan untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Sosial dalam penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas di Kota Banda Aceh tidak berjalan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Peraturan Gubernur Nomor 111 Tahun 2016 tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Sosial Aceh. Hal ini dikarenakan kurangnya dana operasional, penyandang disabilitas bukan berasal dari Banda Aceh, masyarakat tidak memberikan data tentang keluarganya yang mengalami disabilitas, pihak keluarga menyembunyikan identitas penyandang disabilitas, dan pihak keluarga tidak mengizinkan penyandang disabilitas direhabilitasi diluar daerah,. Upaya yang dilakukan oleh Dinas Sosial dalam menghadapi kendala penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas antara lain memberikan sosialisasi kepada masyarakat, memberikan pendidikan dan keterampilan kepada penyandang disabilitas, dan memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas yang memiliki usaha. Diharapkan kepada Kepala Dinas Sosial Kota Banda Aceh untuk lebih meningkatkan dana dalam bidang Rehabilitasi Sosial dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya memberikan data tentang penyandang disabilitas kepada Dinas Sosial Kota Banda Aceh.
Pelaksanaan Pasal 21 Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Terhadap Bencana Gempa Bumi 7 Desember 2016 di Kabupaten Pidie Jaya T. Farhad Wardhana; Efendi Efendi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mengingat lahirnya Undang-Undang No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana sudah sepuluh tahun, maka seharusnya BPBD sudah dapat menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang dan dapat meminimalisir resiko bencana terhadap masyarakat karena mengingat Aceh adalah salah satu daerah rawan akan bencana gempa bumi. BPBD seharusnya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pencegahan resiko bencana. Pada gempa bumi Kabupaten Pidie Jaya, masih belum adanya pemahaman kepada masyarakat mendirikan bangunan yang tahan akan gempa bumi. Sehingga bencana gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya tanggal 7 Desember 2016, banyak masyarakat menjadi korban dikarenakan tertimpa bangunan akibat gempa bumi. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan tugas Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Pidie Jaya dalam penanggulangan bencana gempa bumi 7 Desember 2016, faktor-faktor yang menghambat tugas Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Pidie Jaya dalam penanggulangan bencana gempa bumi 7 Desember 2016, dan upaya untuk mengatasi hambatan tugas BPBD Pidie Jaya dalam penanggulangan bencana gempa bumi 7 Desember 2016. Data yang diperoleh dalam penulisan artikel ini, dilakukan dengan menggunakan metode yuridis empiris, yakni penelitian kepustakaan dan lapangan. Dalam mendapatkan data sekunder dilakukan penelitian kepustakaan dengan menelaah buku-buku dan peraturan perundang-undangan sedangkan data primer diperoleh dari wawancara yang dilakukan dengan sejumlah responden dan informan yang terkait langsung denan masalah yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa BPBD Pidie Jaya belum maksimal menjalankan tugasnya dalam penanggulangan bencana gempa bumi 7 Desember 2016 terutama dalam hal pengkoordinasian dan manajemen informasi. Faktor-faktor yang menghambat tugas BPBD Pidie Jaya dalam penanggulangan bencana gempa bumi tersebut yaitu sarana dan prasarana yang kurang memadai serta pemilihan SDM yang kurang tepat. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut seharusnya BPBD Pidie Jaya memaksimalkan pendidikan mengenai kebencanaan dan sosialisasi terhadap masyarakat. Disarankan kepada BPBD Pidie Jaya untuk melaksanakan penanggulangan bencana dengan kesiapan yang mantap serta merekrut relawan yang berkompeten. Dan lebih giat memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kebencanaan untuk meningkatkan kesiapsiagaan agar dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan akibat bencana.
Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan (BBPOM) Terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Tanpa Izin Edar Di Kota Banda Aceh Muhammad Haikal; Efendi Efendi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan penyebab masih ditemukannya produk pangan olahan impor tanpa izin edar di Kota Banda Aceh, faktor yang menyebabkan tugas dan fungsi pelaksanaan pengawasan terhadap peredaran produk pangan olahan impor tanpa izin edar oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Kota Banda Aceh kurang berjalan,  upaya yang telah dilakukan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan dalam mengatasi kendala pelaksanaan pengawasan terhadap peredaran produk pangan olahan impor tanpa izin edar di Kota Banda Aceh. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan internet dan hasil karya ilmiah lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini serta penelitian lapangan yang dilakukan untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi Balai Besar POM terhadap peredaran produk pangan olahan impor tanpa izin edar di Kota Banda Aceh tidak berjalan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh perundang-undangan. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih menyukai produk pangan olahan impor, harga produk pangan olahan impor relatif lebih murah, BBPOM sering terlambat dalam melakukan pemeriksaan atau pengkajian terhadap produk pangan olahan impor. Kurangnya jumlah pegawai petugas lapangan pemeriksaan BBPOM, perbandingan jumlah pegawai pemeriksaan dan sarana pangan, kurangnya sosialisasi oleh BBPOM Kota Banda Aceh terkait perihal adanya pemberlakuan izin edar terhadap produk pangan olahan impor. Upaya yang dilakukan oleh BBPOM dalam menghadapi kendala pelaksanaan pengawasan terhadap peredaran produk pangan olahan impor tanpa izin edar antara lain mengajukan penambahan pegawai petugas lapangan pemeriksaan ke Badan Kepegawaian  Negara, melakukan pembinaan dan pemeriksaan terhadap pelaku usaha produk pangan olahan impor, memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi produk pangan olahan impor tanpa izin edar dari BBPOM. Diharapkan kepada Kepala BBPOM Kota Banda Aceh, agar dapat meningkatkan pengawasan terhadap peredaran produk pangan olahan impor yang beredar, serta melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha.
Pelaksanaan Koordinasi Dalam Pengawasan Peredaran Produk Kosmetik Yang Tidak Terdaftar Di Kota Banda Aceh Lia Riska; Efendi Efendi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dari penulisan artikel ini untuk menjelaskan penyebab masih ditemukannya produk kosmetik tidak terdaftar di Kota Banda Aceh, untuk menjelaskan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengawasan terhadap produk kosmetik tidak terdaftar di Kota Banda Aceh, dan untuk menjelaskan pelaksanaan koordinasi dalam pengawasan yang dilakukan oleh BBPOM, Dinkes dan Disperindag terhadap kosmetik yang tidak terdaftar di BBPOM beredar di Kota Banda Aceh. Untuk memperoleh data dalam penulisan artikel ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara membaca peraturan perundang-undangan, buku literatur hukum atau bahan hukum tertulis lainnya. Penelitian lapangan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan dengan penelitian ini melalui wawancara dengan responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyebab munculnya produk kosmetik yang tidak terdaftar beredar di Kota Banda Aceh adalah karena mahalnya syarat untuk melakukan pendaftaran, adapun pihak-pihak yang harus bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengawasan terhadap produk kosmetik yang tidak terdaftar di Kota Banda Aceh adalah BBPOM, Dinkes, dan Disperindag. Koordinasi BBPOM, Dinkes dan Disperindag dalam mengatasi peredaran produk kosmetik yang tidak terdaftar adalah dengan memberikan pembinaan, sosialisasi dan pemeriksaan rutin terhadap pelaku usaha kosmetik yang terdapat di Kota Banda Aceh. Disarankan kepada BBPOM agar dapat meningkatkan koordinasi dengan Dinkes dan Disperindag dalam melakukan pengawasan terhadap kosmetik beredar yang tidak terdaftar, melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku usaha serta dapat meningkatkan jumlah petugas pengawas terhadap kosmetik beredar yang tidak terdaftar di BBPOM Kota Banda Aceh.
Perlindungan Lokasi Yang Diduga Situs Cagar Budaya Oleh Pemerintah Kota Banda Aceh Desfa Meutia Lestari; Efendi Efendi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan. “Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya. Dan dalam Pasal 99 Ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengawasan Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan kewenangannya.Namun dalam kenyataannya masih terdapat lokasi yang diduga cagar budaya yang tidak dilindungi. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjelaskan alasan dibangunnya proyek IPAL di lokasi yang diduga situs cagar budaya, menjelaskan upaya perlindungan yang dilakukan oleh  Pemerintah Kota Banda Aceh terhadap  lokasi yang diduga situs cagar budaya, hambatan yang dialami Pemerintah Kota Banda Aceh untuk melindungi lokasi yang diduga situs cagar budaya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis empiris.Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca dan menelaah buku-buku, perundang-undangan. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer melalui wawancara dengan responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan faktor penyebab dibangunnya lokasi IPAL di lokasi yang diduga situs cagar budaya dikarenakan belum ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Terhadap penemuan situs yang diduga cagar budaya, Pemerintah Kota Banda Aceh menghentikan sementara proyek hingga dilakukan pengkajian ilmiah, pengkajian dilakukan dengan segera membentuk Tim Ahli Cagar Budaya. Tidak adanya Peraturan Pelaksana Undang-Undang Cagar Budaya dan Qanun tentang perlindungan cagar budaya ditingkat provinsi dan/atau kota membuat perlindungan hukum menjadi tidak optimal. Tidak adanya sumber daya manusia dibidang kepurbakalaan ditingkat Dinas Pendidikan dan kebudayaan sebagai instansi berwenang di bidang cagar budaya membuat proses untuk membentuk Tim Ahli Cagar Budaya menjadi terhambat. Pemerintah Kota Banda Aceh disarankan agar menata ulang dan melakukan kajian terhadap lokasi yang diduga cagar budaya agar dapat dijadikan kawasan cagar budaya. Melakukan upaya pencarian teradap situs cagar budaya yang belum ditemukan di seitar lokasi yang diduga situs cagar budaya dan di wilayah sekitarnya terutama Gampong Jawa. Pemerintah Pusat disarankan segera menerbitkan Peraturan Pelaksana dari Undang- Undang Cagar Budaya dan Pemerintah daerah baik provinsi maupun pusat segera membentuk Qanun Perlindungan Cagar Budaya. Untuk mempermudah kinerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banda Aceh dalam hal kewenangnnya melindungi cagar budaya disarankan untuk nambahan sumber daya manusia dibidang kepurbakalaan.
Kedudukan Pegawai Negeri Sipil Yang Diberhentikan Secara Tidak Hormat Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan Wirza Fahmi; Mahdi Syahbandir; Efendi Efendi
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (243.205 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12293

Abstract

Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum. Tujuan penelitian ini untuk  mengetahui, dan menganalisis kedudukan hukum terhadap Pegawai Negeri Sipil yang telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan dan konsekwensi yuridis terhadap Pegawai Negeri Sipil yang tidak Diberhentikan karna melakukan tindak pidana jabatan. Metode penelitian yang digunakan adalah  penelitian hokum empiris. Terkait Kedudukan Pegawai Negeri Sipil Yang Diberhentikan Secara Tidak Hormat Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan harus diberhentikan secara tidak dengan hormat dari jabatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil. konsekwensi yuridis terhadap Pegawai Negeri Sipil yang tidak diberhentikan pemblokiran data base bersangkutan dalam Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian, sehingga tidak dapat diberikan pelayanan dalam pembinaan karirnya termasuk  tidak berhak untuk memperoleh kenaikan pangkat dan pensiun serta promosi jabatan.Article 87 (4) verse b of the Act Number 5, 2014 regarding Civil Servant (Official Apparatus) states that a civil servant is removed from office irrespectively as being punished or put in custody based on the permanent court decision due to committing official crimes or the crime having relation to official/or public crime. The purpose of this study is to know and analyze the legal status of Civil Servants who have been sentenced who have had permanent legal force for committing crimes of offense and juridical consequences against Civil Servants who are not dismissed for committing offense. The research method used is empirical law study. Related to Position of Civil Servant who was dismissed disrespectfully for Committing Crime of Official Crimes shall be dismissed with respect from his position as Civil Servant. The juridical consequences of Civil Servants who are not dismissed from blocking the relevant data base in the Staffing Service Application System so that they can not be given services in their career development including not being eligible for promotion and retirement and promotion of position.
Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Sempadan Sungai Krueng Jambo Aye Aceh Utara Bahrul Walidin; Efendi Efendi; Mahfud Mahfud
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 19, No 1 (2017): Vol. 19, No. 1, (April, 2017)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK: Peningkatan aktivitas pembangunan, berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang. Sejumlah ruang tidak bisa bebas dimanfaatkan, seperti sempadan sungai. Penelitian ini ingin mengkaji bagaimana pemanfaatan ruang di sempadan sungai Krueng Jambo Aye, Aceh Utara. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yang mengkaji implementasi ketentuan hukum positif dan kontak secara faktual pada setiap peristiwa tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang ditentukan. Selain data primer, penelitian ini juga didukung oleh data sekunder. Analisis data secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan temuan penelitian, penyebab terjadinya penyimpangan adalah adanya intervensi politik dalam bentuk aspirasi dewan. Di samping itu kurang berjalannya fungsi koordinasi dan peran antara satuan kerja perangkat daerah dan legislatif. Hal lain yang menjadi penyebab, karena belum adanya rencana tata ruang wilayah yang berkekuatan hukum, belum terealisasinya rencana tata ruang kawasan strategis dan peraturan zonasi sebagai penjabaran rencana tata ruang wilayah Kabupaten Aceh Utara 2012-2032. Sebab terakhir perumahan warga karena  tidak adanya teguran kepada para penghuni rumah yang secara turun-temurun tinggal di atas sempadan sungai. Disarankan agar Pemerintah Kabupaten Aceh Utara meninjau kembali melalui revisi rencana tata ruang yang telah ditetapkan dalam Qanun No. 7 Tahun 2013, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010. Spatial Abuse at Riparian Krueng Jambo Aye North Aceh River ABSTRACT: An increase on construction activities, affects spatial usages. A number of spaces cannot be used, such as river border. This paper examines the use of space in the border river of Krueng Jambo Aye, North Aceh. This is empirical legal research exploring the implementation of legislations and contact factually on any special events that occur within the community in order to achieve its objectives. In addition, primary data are also supported by secondary data. Data are analyzed through qualitative approach.  The findings show that the cause of the violation is political interference of parliament members. Moreover, lack of coordination and the role of the functioning of the local work unit and the members. Furthermore, there is no spatial plan that is legal; there is no strategic regional spatial plans realization and zoning regulations as the elaboration of spatial plan, the North Aceh district from 2012 to 2032. Finally, residents’ houses are occupying the place since their ancestors have not been warned. It is recommended that the Government of North Aceh District should revise the spatial plans as ruled in Qanun Number 7, 2013 in accordance with the Government Regulation Number 15, 2010.
Pelibatan Perancang Peraturan Kanwil Kemenkumham Aceh dalam Pembentukan Qanun Kabupaten Muhammad Isa; Efendi Efendi; Suhaimi Suhaimi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 22, No 1 (2020): Vol. 22 No. 1, April 2020
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v22i1.11862

Abstract

Penelitian ini untuk mengetahui alasan pemerintah kabupaten tidak melibatkan perancang peraturan perundang-undangan dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam pembentukan qanun. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, setiap tahapan pemben-tukan peraturan perundang-undangan melibatkan perancang peraturan perundangan-undangan. Hal ini berdampak pada beberapa qanun yang dibatalkan oleh pemerintah. Metode pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah yuridis empiris, yakni dengan memadukan data primer dan sekunder. Hasil penelitian menyatakan bahwa pemerintah kabupaten tidak memiliki anggaran untuk melibatkan perancang peraturan perundang-undangan, selain subtansi pengaturan dalam qanun belum perlu melibatkan perancang serta belum adanya kententuan yang mewajibkan melibatkan perancang dalam setiap pembentukan qanun. Penelitian ini menyarankan kepada pemerintah kabupaten untuk melibatkan perancang peraturan perundang-undangan demi menghasilkan sebuah produk hukum yang berkualitas dan dapat berdaya laku dalam masyarakat. The Involvement of Legal Drafter from Kemenkumham Aceh In Formstion of District Qanun This study aims to find out the reason for the district government not involving the drafting of laws and regulations from the Regional Office of the Ministry of Law and Human Rights in the formation of qanun. As determined in the Laws Formation of Laws and Regulations, each stage in the formation of laws and regulations involves the drafters of laws and regulations. This resulted in several qanuns being canceled by the government. This research uses an empirical juridical approach, which is by combining primary and secondary data. The results showed that the district government did not have a budget to involve the drafter of laws and regulations, in addition to the substance of the regulation in the qanun, it was not necessary to involve the designer and the absence of provisions requiring the involvement of the designer in each formation of the qanun. This research recommends that the district government involve the drafting of legislation in order to produce a qualityof legal product that can be empowered in society.