Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PERKEMBANGAN SOSIO-EKONOMI DAN PERKEBUNAN MASYARAKAT KUNINGAN, 1830-1870 Tendi Tendi
DIALEKTIKA: Jurnal Ekonomi dan Ilmu Sosial Vol 2 No 1 (2017): Dialektika : Jurnal Ekonomi dan Ilmu Sosial
Publisher : Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (393.541 KB) | DOI: 10.36636/dialektika.v2i1.232

Abstract

AbstrakMasyarakat Kuningan adalah masyarakat yang telah akrab dengan dunia pertaniansejak berabad-abad yang lalu, dari zaman kerajaan tradisional hingga sekarang.Namun, tidak banyak literatur yang membahas mengenai sejarah ekonomi masyarakatpedesaan ini. Tulisan ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi kondisi sosial-ekonomimasyarakat Kabupaten Kuningan dalam kurun pemberlakuan Sistem Tanam Paksa, sejaktahun 1830 hingga tahun 1870. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metodesejarah dengan lima tahapannya, yaitu: pemilihan topik; pengumpulan sumber;verifikasi (kritik sejarah); interpretasi; dan penulisan. Berdasarkan penelitian inidiketahui bahwa pada umumnya kegiatan perkebunan di Kuningan berjalan dengan baikdan menghasilkan keuntungan yang cukup menggembirakan bagi pihak kolonial. Meskidemikian, pihak yang diuntungkan ternyata bukanlah para buruh kebun yang menggaraplahan-lahan kopi untuk mewujudkan panen yang melimpah tersebut, melainkan pihakpemerintah Hindia Belanda beserta kaki tangannya yang duduk di pelbagai kursistruktur pemerintahan yang ada.Kata kunci: sosio-ekonomi, perkebunan, penjajahan, kolonialAbstractBrass society is a society that has been familiar with the world of agriculture centuriesago, from the days of the traditional kingdoms until now. However, not a lot of literaturethat discusses the economic history of this rural community. This paper has the aim toidentify the socio-economic condition of Kuningan Regency society within theimplementation of the Cultivation System, from 1830 to 1870. The method used in thisresearch is the historical method with five stages, namely: choice of topics; collection ofresources; verification (historical criticism); interpretation; and writing. Based on thisresearch note that in general the plantation activity in Kuningan running well andmaking a profit is quite encouraging for the Colonial. However, the beneficiary was notthe workers who worked on the farm lands of coffee to realize the abundant harvest, butthe Dutch government and its henchmen are sitting in different seats of existinggovernance structur.Keywords: socio-economic, plantation, imperialism, colonialism
Sejarah dan Akulturasi dalam Pedang Cikeruh Tendi Tendi
JURNAL PANALUNGTIK Vol. 3 No. 1 (2020): Vol. 3 (1) 2020
Publisher : Kemendikbud

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24164/pnk.v3i1.39

Abstract

Cikeruh is a village located in Jatinangor, Sumedang Regency. In the colonial period, the village was famous as the production center of various kinds of weapons in the Priangan region. Consumers of the Cikeruh bladesmith varied, ranging from indigenous groups to Europeans groups in the Dutch East Indies. This article aims to reveal the history of Cikeruh’s bladesmith and explain the acculturation which is seen on the Cikeruh sword. The method used in this study is a historical method consisting of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Based on the study, it can be seen that the existence of Cikeruh bladesmith cannot be separated from the history of the Sumedang Larang Kingdom because the pioneer of Cikeruh bladesmith came from the royal descent of the kingdom. In addition, cultural acculturation can be witnessed from the Cikeruh blades that shows mixed models between Priangan and European styles.
PEDANG PENINGGALAN PRABU SILIWANGI DARI PANJALU, CIAMIS, JAWA BARAT Tendi Tendi
Naditira Widya Vol 16 No 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 Tahun 2022
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v16i1.467

Abstract

Pedang Sanghyang Borosngora adalah pedang yang diyakini oleh sebagian masyarakat Panjalu sebagai pemberian Sayyidina Ali kepada Prabu Borosngora. Pedang yang sekarang disimpan di Bumi Alit, Panjalu, dan merupakan artefak penting dalam sejarah masyarakat Ciamis dan Sunda, karena memuat nilai-nilai kultural masa lalu yang dapat diidentifikasi sebagai sumber penulisan sejarah. Informasi yang bias tentang Pedang Sanghyang Borosngora adalah masalah utama penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menarasikan sejarah Pedang Prabu Siliwangi dan bagian-bagiannya secara detail sesuai dengan pakem. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur review dengan menelaah sumber arsip, dan melakukan observasi langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber-sumber tradisional yang dianggap otoritatif oleh masyarakat terkait narasi sejarah Pedang Sanghyang Borosngora mengalami perubahan sejak awal abad ke-20 Masehi. Hal tersebut terjadi karena sejak masa itu Pedang Sanghyang Borosngora mulai dikenal sebagai Pedang Sayyidina Ali, padahal sebelumnya pedang itu diriwayatkan sebagai pedang pemberian Prabu Siliwangi kepada Raja Panjalu. Selain itu, ditemukan kesamaan yang spesifik dari pedang ini dengan pedang-pedang lain yang berasal dari Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Pedang Sanghyang Borosngora lebih cocok untuk disebut sebagai Pedang Prabu Siliwangi. The Sanghyang Borosngora sword is believed by some Panjalu people to have been given by Sayyidina Ali to King Borosngora. The sword is now stored in Bumi Alit, Panjalu, and is known as an important artifact in the history of the Ciamis and Sundanese people due to its old cultural values which can be identified as a source of historical writing. Biased information about the sword of Sanghyang Borosngora is the main issue of this research. This study aims to narrate the history of King Siliwangi's sword and its parts in detail according to its standard narration. The method used in this study was literature reviews by examining archival sources and making direct observations. The study suggests that traditional sources which are considered authoritative by the community regarding the historical narrative of the sword of Sanghyang Borosngora have changed since the early 20th century. Such a circumstance occurred because since the early 20th century the Sanghyang Borosngora Sword began to be known as the Sayyidina Ali Sword, even though previously the sword was narrated as a sword given by Prabu Siliwangi to King Panjalu. Additionally, specific similarities were found between this sword and other swords originating from the Kingdom of Sunda. Thus, the Sanghyang Borosngora Sword is more suitable to be called the Prabu Siliwangi Sword.