Kota yang baik merupakan kota yang bisa mewadahi seluruh aktivitas masyarakatnya. Segala fasilitas penunjang bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat kota terus meningkat. Meski demikian, kondisi kota yang menjanjikan membuat banyak masyarakat desa memilih pindah dari tempat tinggalnya di desa ke kota-kota besar, salah satunya Surabaya. Arus perpindahan masyarakat desa ke kota inilah yang dikenal sebagai arus urbanisasi. Sejalan dengan semakin banyaknya penduduk dan semakin mengecilnya lahan untuk dibangun hunian, banyak dari masyarakat urban yang berpenghasilan rendah terpaksa menempati ruang-ruang ilegal mulai dari sepanjang tepian sungai, lahan-lahan milik pemerintah, hingga sepanjang tepi rel kereta api yang membahayakan penghuni. Kondisi permukiman ilegal (squatter) di sepanjang rel kereta salah satunya ialah permukiman sepanjang rel kereta stasiun Sidotopo. Kebanyakan permukiman penduduk menempati lahan yang dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia. Pada kenyataannya, permukiman yang mayoritas dihuni oleh migran etnis Madura ini tidak sesuai dengan peraturan RTRW Kota Surabaya 2010-2030 dan RDTRK UP Tanjung Perak 2008-2018 tentang infrastruktur. Tujuan dari perancangan yang dibuat adalah untuk bisa merancang kembali permukiman yang berada di sekitar rel kereta api stasiun Sidotopo agar tidak menyalahi aturan dan keamanan bagi penduduk sekitar. Permukiman yang dirancang kembali merupakan permukiman yang terjangkau oleh penduduk sekitar stasiun Sidotopo yang kebanyakan dihuni oleh masyarakat berekonomi menengah ke bawah. Dengan menggunakan pendekatan Participatory Design, permukiman yang dibangun kembali diharapkan bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang bermukim di sepanjang jalur kereta.