Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Vulnerability of Miangas Island Maartianus S. Baroleh; Achmad Fahrudin; Rokhmin Dahuri; Setyo Budi Susilo; Daniel Monintja
Jurnal Ilmiah PLATAX Vol. 7 No. 1 (2019): ISSUE JANUARY-JUNE 2019
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jip.7.1.2019.21546

Abstract

There are several methods of analysis in knowing the vulnerability of a community. In the analysis to determine the vulnerability of Miangas island, the determinant vulnerability was used. Determinant vulnerability evaluation is very easy to use and simple. Therefore, the determinants of ordinary vulnerabilities use an assessment of resources that are carried out in full, so that results can be used as reference for management. One approach that is widely used in determining the index is the method of scaling parameters into certain values. These values are expressed as a score of a parameter. As done by (Tahir 2010) referred to in Doukakis (2005) and Rao et al. (2008), the Miangas Island analysis refers to the determination of the paramater scale and the weight of the vulnerability.          The vulnerability index model constructed in this study consists of a static model of environmental vulnerability index and dynamic model of small island environmental vulnerability index. The static model of the environmental vulnerability index is intended to calculate the current vulnerability index (momentary), while the dynamic model of the environmental vulnerability index is used to predict the vulnerability dynamics in the future. In general, the values of IK-PPK = IE x IS / IAC = 4.29 x 2.35 / 1.6 = 6.30 By using these maximum and minimum values, the scale of assessment of the vulnerability of small islands is divided into 4 categories of vulnerability (Doukakis 2005), Miangas Island is obtained as follows; 0.20-6.04 = Low vulnerability, 6.05 -18.18 = Moderate vulnerability, 18.19-40.48 = High vulnerability (high), 40.49-76.00 = Very high vulnerability (very high). That there is a vulnerability with a moderate position.Keywords:  vulnerability, index, determinant, MiangasABSTRAKAda beberapa metode analisis dalam mengetahui kerentanan suatu komunitas.  Dalam analisis untuk mengetahui kerentanan pulau Miangas maka digunakan kerentanan determinan. Evaluasi kerentanan determinan sangat mudah digunakan dan sederhana. Oleh karna itu, determinan kerentanan biasa menggunakan assessment terhadap sumberdaya yang dilakukan secara utuh, sehingga hasil dapat dijadikan bahan acuan terhadap pengelolaan.   Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam penentuan indeks adalah metode penskalaan parameter ke dalam nilai-nilai tertentu.  Nilai-nilai tersebut dinyatakan sebagai nilai skor dari suatu parameter.  Sebagaimana yang dilakukan oleh (Tahir 2010) yang diacu dalam Doukakis (2005) dan Rao et al. (2008) maka pada analisis Pulau Miangas mengacu penentuan skala paramater dan bobot kerentanan tersebut.Model indeks kerentanan yang dikonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari model statis indeks kerentanan lingkungan dan model dinamik indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil.  Model statis indeks kerentanan lingkungan dimaksudkan untuk menghitung indeks kerentanan saat ini (sesaat), sedangkan model dinamik indeks kerentanan lingkungan digunakan untuk melakukan prediksi dinamika kerentanan pada masa yang akan datang. Secara umum didapatkan nilai IK-PPK = IE x IS/IAC =  4,29 x 2,35 /1,6 = 6,30. Dengan menggunakan nilai maksimum dan minimum tersebut, skala penilaian tingkat kerentanan pulau-pulau kecil dibagi menjadi 4 kategori kerentanan (Doukakis 2005) maka Pulau Miangas didapatkan sebagai berikut; 0.20-6.04 = Kerentanan rendah (low), 6.05-18.18 = Kerentanan sedang (moderate), 18.19-40.48 = Kerentanan tinggi (high), 40.49-76.00 =         Kerentanan sangat tinggi (very high). bahwa ada kerentanan dengan posisi moderate.Kata kunci :  kerentanan, determinan, indeks, Miangas
Kajian Perubahan Lahan Ekosistem Mangrove Kabupaten Aceh Timur Rahmawati Rahmawati; Achmad Fahrudin; Agus Sadelie; Eka Lisdayanti
Journal of Aceh Aquatic Sciences Vol 6, No 2 (2022): Journal of Aceh Aquatic Sciences
Publisher : Journal of Aceh Aquatic Sciences

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35308/jaas.v6i2.5824

Abstract

Ekosistem mangrove tumbuh disepanjang pesisir Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh. Kawasan ekosistem mangrove yang ada terus mengalami perubahan selama kurun waktu 27 tahun terakhir. Perubahan tersebut perlu dilakukan kajian pemetaan untuk mengetahui lokasi dan luasan perubahan mangrove yang tersisa. Penelitian ini bertujuan untuk Memetakan sebaran ekosistem mangrove di daerah penelitian tahun 1990, 2001,2007,2011 dan 2017, serta mengidentifikasi pola sebaran tutupan lahan . Penelitian ini menggunakan data Penginderaan Jauh yaitu Citra Landsat 5 TM tahun perekaman tahun 1990, 2001, 2007, 2011 dan 2017. Sebaran tutupan lahan mangrove dipetakan secara digital melalui interpretasi media citra Landsat 5 TM untuk mendapatkan tren perubahan yang terjadi antara tahun 1990, 2001, 2007, 2011 dan 2017. Selanjutnya hasil klasifikasi secara terbimbing menggunakan algoritma support vector machine dan neural network untuk menunjukan perubahan sampel pada setiap kelas tutupan lahan. Hasil dari klasifikasi ini kemudian dilakukan uji akurasi guna mengetahui lokasi yang terjadi perubahan, pola perubahan dan faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan.Penelitian ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan hutan mangrove yang terjadi selama kurun waktu 27 tahun dengan luasan lahan yang berubah adalah 23.210 Ha (1990) menjadi 8.773 Ha (2001) menjadi 8.644 Ha (2007), selanjutnya pada tahun berikutnya menjadi 9.611 Ha (2011) meningkat menjadi 9.655 Ha (2017). Perubahan mangrove yang terjadi mempunyai pola random (tersebar tidak merata) dikarenakan faktor manusia yang melakukan eksploitasi secara berlebihan dan alih fungsi lahan menjadi tambak, lahan sawit dan lahan terbuka (idle). Perubahan tutupan mangrove terjadi sepanjang pesisir Kabupaten Aceh Timur cenderung menurun dari tahun 1990 sampai 2007 hal ini karena eksploitasi lahan ekosistem mangrove yang terjadi. Sementara pada tahun 2007 sampai 2017 terjadi peningkatan luasan ekosistem mangrove hal ini disebabkan rehabilitasi ekosistem mangrove yang dilakukan pasca tsunami melanda Provinsi Aceh.