Bambang Sudibyo
Universitas Gadjah Mada

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

KEMISKINAN: SEBAB STRUKTURAL DAN RESEP TEKNOKRATIS UNTUK MENGHAPUSKANNYA Bambang Sudibyo
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 18, No 1 (2003): January
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jieb.6614

Abstract

There are in Indonesian economy big discrepancies of the nominal per capita NationalIncome and its Purchasing Power Parity with a ratio of 1:5, meaning that the real economy is indeed bigger than what is reported. The very low wages and income of the lowest strata including farmers are indication that the state is being subsidized by its people. This discrepancy can and must be corrected, in stages through “structural correction”.The relationship with foreign economies must not be “in their terms” but eventually tobecome “on our term”. National interest must be given priority in all internationalrelations, and program with IMF should be terminated as soon as possible without seriousnegative impacts to the Indonesian economy.Keywords: Economic nationalism, self-reliance.
ANALISIS BIAYA-VOLUME-LABA JANGKA PANJANG Bambang Sudibyo
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 1, No 1 (1986): September
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (771.771 KB)

Abstract

No abstract was detected.Sudibyo, Bambang. (1986). Analisis Biaya-Volume-Laba Jangka Panjang. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia [Journal of Indonesian Economy and Business], 1. 21-40.
THE ADEQUACY OF CPAs’ UNDERSTANDING OF THE RELATIVE SERIOUSNESS OF ALPHA AND BETA RISKS IN STATISTICAL AUDIT SAMPLING Bambang Sudibyo
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 15, No 4 (2000): October
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.984 KB)

Abstract

The issue raised in this article is the adequacy of US CPAs' understanding of the relative seriousness of alpha and beta risks in statistical audit sampling. The objective of this study is to seek empirical evidence on the issue. Empirical data was collected in 1984 using the method of mail survey, with members of the American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) serving as the target population. The author concluded that CPAs, in general, did not have an adequate understanding of the relative seriousness of alpha and beta risks in statistical audit sampling. The author also concluded that the understanding of the issue differed across various groups of CPAs. Big eight CPAs, in general, had an adequate understanding of the issue, while CPAs of the other groups, in general, did not. Comparisons between the scores of these groups Indicate that 1) big-eight CPAs scored higher than non-big-eight CPAs; 2) academic CPAs scored higher than non-academic CPAs; and 3) contrary to expectation, practitioners in general did not score significantly higher than non-practitioners.
PEMULIHAN LINGKUNGAN USAHA* Bambang Sudibyo
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 14, No 1 (1999): January
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (76.301 KB)

Abstract

Krisis ekonomi Indonesia sekarang ini terjadi karena sebagai suatu entitasperadaban Indonesia memang sedang dalam keadaan rentan, baik pada dimensiekonomi, politik, sosial, kultural, dan siklusnya dalam sejarah. Market confidancemerosoi drastis karena pembusukan multi-dimensional itu. Dalam artikel ini penulismenguraikan tidak memadainya paradigma pemulihan yang masih mengungkungpemikiran banyak pejabat Pemerintah dan pengamat ekonomi karena paradigma inipada substansinya anti reformasi, pro status quo, dan retrospektif. Sebagai gantinyapenulis menyodorkan paradigma reformasi. Paradigma reformasi ini harusmangkerangkai proses sosial pembentukan kontrak sosial baru yang akanmenggantikan kontrak sosial lama yang selama ini diberi label Orde Baru. Proseskeluar dari krisis dipandang sebagai proses formatif pembentukan sinergi baru yangdikerangkai oleh kontrak sosial baru tersebut.
PENGUKURAN KINERJA PERUSAHAAN DENGAN BALANCED SCORECARD: BENTUK, MEKANISME, DAN PROSPEK APLIKASINYA PADA BUMN Bambang Sudibyo
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 12, No 1 (1997): January
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4258.874 KB) | DOI: 10.22146/jieb.40008

Abstract

Balanced Scorecaid (BSC), sebagaimana dituturkan oleh penciptanya yaitu Robert S. Kaplan dan David P. Norton (Kaplan dan Norton, 19% A), bermula dari suatu penelitian satu tahun pada selusin perusahaan-Advanced Micro Devices, American Standard, Apple Computer, Bell South, CIENA, Conner Peripherals, Coy Research, Du Pont, Electronic Data Systems, General Electric, HewlettPachard, dan Shell Canada pada tahun 1990 disponsori oleh Nolan Norton Institute, lembaga penelitian milik KPMG. Penelitian itu berjudul "Measuring Performance in the Organization of the Future," dan David Norton, CEO dari Nolan Norton, bertindak sebagai ketua tim peneliti sementara Bob Kaplan menjadi konsultan akademisnya. Studi itu dimotivasi oleh keyakinan bahwa model pengukuran kinerja perusahaan melalui akuntansi keuangan tidak lagi memadai dan bahkan bisa menghambat kemampuan perusahaan menciptakan nilai ekonomis di masa yang akan datang. Motivasi ini tentu mengingatkan kita pada buku Johnson dan Kaplan berjudul "Relevance Lost' (1987) yang menceritakan perkembangan akuntansi manajemen yang cenderung lebih memenuhi selera sofistikasi akademik daripada menjawab permasalahan rifl dalam bisnis. Temuantemuan dari studi itu diringkas dalam suatu attikel, Measures That Drive Performance!' di Harvard Business Review (HBR) edisi Januari-Februari 1992 (Kaplan dan Norton, 1992).  Pengamatan lebih lanjut terhadap penerapan BSC di beberapa perusahaan menyadarkan Kaplan dan Norton bahwa BSC bisa dipakai lebih dari sekedar sebagai sistem pengukuran, melainkan juga untuk mengkomunikasikan strategi baru dan mengalign organisasi terhadap strategi baru itu. Observasi ini mereka tulis dalam artikel HBR lain dengan judul "Putting the Balanced Scorecard to Work," (Kaplan dan Norton, 1993). Pengamatan lebih lanjut terhadap penggunaan banyak ukuran dalam BSC yang satu sama lain dirangkai bersama oleh suatu serihubungan sebab-akibat mengantarkan mereka pada kesimpulan baru, yaitu bahwa BSC bisa dipakai untuk mengelok strategi. Tegasnya BSC adalah suatu sistem manajemen yang bisa dipakai sebagai kerangka sentral dalam berbagai proses managerial penting: penentuan gol individual dan tim, pemberian konpensasi, alokasi sumberdaya, perencanaan dan peranggaran, pemberian umpan balik strategis, dan pemberdayaan karyawan serta penumbuhan iklim belajar dalam organisasi. Perkembangan baru ini mereka laporkan dalam artikel HBR yang ketiga, "Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System' (Kaplan dan Norton, 1996). Dan akhirnya, laporan yang paling komprehensif tentang BSC ini mereka tulis dalam buku monograf berjudul "The Balanced Scorecard' (Kaplan dan Norton, 199 A), acuan utama penulis dalam penulisan makalah ini. Mereka berharap BSC masih akan berkembang lebih lanjut, terbukti dari pengakuan mereka bahwa monograf itu masih merapakan suatu progress report.
PENGUKURAN KINERJA PERUSAHAAN DENGAN BALANCED SCORECARD: BENTUK, MEKANISME, DAN PROSPEK APLIKASINYA PADA BUMN Bambang Sudibyo
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 12, No 2 (1997): April
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4258.874 KB)

Abstract

Balanced Scorecaid (BSC), sebagaimana dituturkan oleh penciptanya yaitu Robert S. Kaplan dan David P. Norton (Kaplan dan Norton, 19% A), bermula dari suatu penelitian satu tahun pada selusin perusahaan-Advanced Micro Devices, American Standard, Apple Computer, Bell South, CIENA, Conner Peripherals, Coy Research, Du Pont, Electronic Data Systems, General Electric, HewlettPachard, dan Shell Canada pada tahun 1990 disponsori oleh Nolan Norton Institute, lembaga penelitian milik KPMG. Penelitian itu berjudul "Measuring Performance in the Organization of the Future," dan David Norton, CEO dari Nolan Norton, bertindak sebagai ketua tim peneliti sementara Bob Kaplan menjadi konsultan akademisnya. Studi itu dimotivasi oleh keyakinan bahwa model pengukuran kinerja perusahaan melalui akuntansi keuangan tidak lagimemadai dan bahkan bisa menghambat kemampuan perusahaan menciptakan nilai ekonomis di masa yang akan datang. Motivasi ini tentu mengingatkan kita pada buku Johnson dan Kaplan berjudul "Relevance Lost' (1987) yang menceritakan perkembangan akuntansi manajemen yang cenderung lebih memenuhi selera sofistikasi akademik daripada menjawab permasalahan rifl dalam bisnis. Temuantemuan dari studi itu diringkas dalam suatu attikel, Measures That Drive Performance!' di Harvard Business Review (HBR) edisi Januari-Februari 1992 (Kaplan dan Norton, 1992). Pengamatan lebih lanjut terhadap penerapan BSC di beberapa perusahaan menyadarkan Kaplan dan Norton bahwa BSC bisa dipakai lebih dari sekedar sebagai sistem pengukuran, melainkan juga untuk mengkomunikasikan strategi baru dan mengalign organisasi terhadap strategi baru itu. Observasi ini mereka tulis dalam artikel HBR lain dengan judul "Putting the Balanced Scorecard to Work," (Kaplan dan Norton, 1993). Pengamatan lebih lanjut terhadap penggunaan banyak ukuran dalam BSC yang satu sama lain dirangkai bersama oleh suatu serihubungan sebab-akibat mengantarkan mereka pada kesimpulan baru, yaitu bahwa BSC bisa dipakai untuk mengelok strategi. Tegasnya BSC adalah suatu sistem manajemen yang bisa dipakai sebagai kerangka sentral dalam berbagai proses managerial penting: penentuan gol individual dan tim, pemberian konpensasi, alokasi sumberdaya, perencanaan dan peranggaran, pemberian umpan balik strategis, dan pemberdayaan karyawan serta penumbuhan iklim belajar dalam organisasi. Perkembangan baru ini mereka laporkan dalam artikel HBR yang ketiga, "Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System' (Kaplan dan Norton, 1996). Dan akhirnya, laporan yang paling komprehensif tentang BSC ini mereka tulis dalam buku monograf berjudul "The Balanced Scorecard' (Kaplan dan Norton, 199 A), acuan utama penulis dalam penulisan makalah ini. Mereka berharap BSC masih akan berkembang lebih lanjut, terbukti dari pengakuan mereka bahwa monograf itu masih merapakan suatu progress report. Pada hemat penulis ada dua faktor penting saling berhubungan yang melatar-belakangi lahirnya BSC, yaitu 1) semakin tidak memadainya pengukuran akuntansi untuk merefleksikan realitas bisnis yang mulai terasa sejak dekade 1970an, dan 2) terjadinya pergeseran-pergeseran fundamental dalam lingkungan bisnis sejak dekade 1970 an yang menyebabkan pergeseran-pergeseran yang fundamental pula dalam paradigma dan pendekatan manajemen bisnis pada dekade 1980an dan 1990an. Akuntansi keuangan sudah dirundung kontroversi sejak dekade 1960an. Misalnya kontroversi dalam metode penilaian aset dan pengukuran zmomeantara kubu entry-value (Edwards dan Bell 1961) dan exitvalue (Sterling, 1970; Chambers, 1965), kontroversi tentang akuntansi inflasi, kontroversi tentang obyek pengukuran akuntansi (Sorter, 1969), dan kontroversi tentang tujuan akuntansi keuangan. Financial Accounting Standard Board (FASB), yang didirikan di Amerika Serikat pada akrtir dekade 1970an untuk mengatasi berbagai kontroversi ini dan sebagai tanggapan profesi akuntansiterhadap kritikan dan tekanan Konggres serta Senat alas berbagai kekurangan dalam pengukuran dan pelaporan akuntansi, menghasilkan Conseptual Framework (FASE 1978; 198Q 1984; dan 1985), yang lebih merupakan produk politik yang sangat kenyal untuk mengelabuhi Konggres dan Senat daripada suatu penyelesaian rasional yang komprehensif dan konsisten. Perkembangai akuntansi manajemen juga tidak lebih baik daripada akuntansi keuangan. Seperti telah dikemukakan di muka, Johnson dan Kaplan (1987) mensinyalir bahwa perkembangan teknik-teknik akuntansi manajemen cenderung mengarah ke sofistikasi akademis terlepas dari komitmennya untuk mengatasi masalah dantantangan riil dalam penyediaan informasi untuk bisnis. Pada hemat penulis, permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh akuntan keuangan dan akuntansi manajemen ini sebagian bersifat teknologis, sebagian lagi bersumber pada lingkungan penerapan akuntansi yang mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Mengenai yang terakhir, karena lingkungan penerapan yang berubah secara fundamental maka akuntansi menjadi semakin tidak memadai dalam merefleksikan realitas bisnis.  Perubahan lingkungan penerapan ini terkait erat dengan faktor penting kedua yan melatarbelakangi munculnya BSC, yaitu terjadinya pergeseran fundamental dalam lingkungan bisnis yang menyebabkan pergeseran fundamental pula dalam paradigma dan pendekatan manajemen bisnis. Dua dekade terakhir di penghujung abad ini manusia menyaksikan perubahan dan pergeseran yang mendasar sekali dalam pola hubungan dan interaksi antar sesama manusia padaskala mikro maupun makro, bahkan mondial. Penyebab utama dari perubahan dan pergeseran itu, pada hemat penulis, adalah dua hal, yaitu meredarnya semua ketegangan yang bersumber pada perang dingin dan kemajuan yang fenominal pada teknologi komputer dan komunikasi. Dampak dari dua faktor tersebut secara populer dinamai "globalisasi," yang cenderung untuk bias pada pengamatan eksoterik perubahan dan pergeseran pada skala makro mondial dan karenanya kurang peduli pada pengamatan serta analisis isoterik dan detail akan perubahan dan pergeseran pada tingkat mikro. Kegagalan sistem komunis di Eropa Timur, yang segera diikuti dengan peredaan ketegangan perang dingin antara blok Barat dan Timur, menyebabkan timbulnya persepsi pada tingkat mondial akan supremasi sistem ekonomi pasar di atas sistem ekonomi komando. Dua kekuatan raksasa komunis pun, yaitu UniSoviet dan RRC, serta-merta mempercayai dan mengadopsi sistem ekonomi pasar. Langkah Uni-Soviet dan RRC itu segera diikuti oleh negara-negara komunis lainnya. Pada negara-negara non komunis terjadi pendalaman sistem pasar dalam bentuk deregulasi, yang dilakukan tidak hanya oleh negara-negara berkembang yang masih malu-malu terhadap sistem pasar, tetapi bahkan juga oleh negaranegara yang sudah lama dikenal sebagai strong advocate sistem pasar seperti Amerika Serikat, Canada, dan Inggris. Bersamaan dengan itu kemajuan pada teknologi elektronika dan material telah melahirkan teknologi komputer, yang secara drastis merubah teknologi desain dan produksi informasi. Munculnya teknologi komputer yang segara tumbuh dan berkembang secara cepat itu terjadi kontemporer dengan kemajuan yang luar biasa pada teknologi komunikasi, terutama telekomunikasi satelit. Perkembangan dan interaksi antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi itu melahirkan serta menyuburkan pertumbuhan teknologi informasi. Adalah perluasan serta pendalaman sistem ekonomi pasar dan perkembangan yang luar biasa pada teknologi informasi itulah yang menyebabkan perubahan pola hubungan antar manusia, baik pada skala mikro kelembagaanmaupun pada skala makro mondial. Secara bersama-sama kedua faktor tersebut telah berdampak menambah keberdayaan manusia sebagai individu relatif terhadap semua bentuk kelembagaan seperti perusahaan, partai politik, organisasi masa, negara, dan lain sebagainya. Proses pemberdayaan manusia sebagai individu itu terjadi baik dalam arti meningkatnya kekuatan, kekuasaan, dan pengaruh manusia individual, maupun dalam arti melonggarnya berbagai ikatan struktural dan kultural yang membelenggu kebebasannya sebagai pribadi. Perluasan dan pendalaman pasar, atau liberalisasi pasar, berdampak pada semakin kuatnya posisi tawar-menawar konsumen relatif terhadap posisi produsendan/atau penjual. Pasar, bila terbebas dari berbagai bentuk intervensi dari luar sistem, adalah lembaga ekonomi yang sangat demokratis. Keputusan terpenting di pasar, yaitu keputusan tentang harga, terjadi melalui proses tawar-menawar yang demokratis tanpa paksaan dan pengaruh siapapun. Kedaulatan konsumen dalam lingkungan seperti itu ditentukan oleh perimbangan antara jumlah konsumen dan produsen/penjual Semakin besar jumlah produsen/penjual relatif terhadap konsumen, artinya semakin pasar efisien, semakin kuat posisi konsumen dalam tawar-menawar. Liberalisasi pasar menghilangkan berbagai bentuk intervensipasar dan menghilangkan entry baniers bagi produsen/penjual baru untuk masuk ke pasar, dan berakibat pada semakin kuatnya kedaulatan atau keberdayaan konsumen. Sebelum merebaknya teknologi informasi seperti sekarang ini, manusia individual hanya bisa dengan mudah mengakses informasi pasar dan informasi tak resmi dalam pergaulan sosial, tetapi sangat tidak mudah untuk mengakses informasi resmi kelembagaan. Informasi kelembagaan terproteksi baik secara horisontal maupun vertikal Secara horisontal, ada filter kelembagaan yangmembatasi lalulintas informasi keluar dan masuk lembaga. Bahkan di dalam lembaga itu sendiri infortnasi tidak bebas mengalir horisontal keluar-masuk unitunit di dalam organisasi secara vertikal informasi mengalir melalui jalur di dalam struktur politik yang hierarkis. Setiap hierarki berfungsi sebagai filter aliran informasi baik ke atas maupun ke bawah. Birokrat yang berpengalaman, baik dari lembaga pemerintah maupun swasta, bisa dengan piawai memainkan filter-filterinformasi vertikal dan horisontal itu untuk membangun kekuasaan dan pengaruh efektif, dan pada saat yang sama mengurangi atau membatasi keberdayaan stakeholders yang mereka layani. Kemajuan yang pesat dalam teknologi informasi secara drastis mengurangi keefektifan filter-filter informasi vertikal dan horisontal itu. Terhadap mereka yang di luar lembaga, organisasi menjadi lebih transparan. Di dalam lembaga, organisasi juga menjadi lebih transparan baik vertikal maupun horisontal. Informasi di puncak piramid organisasi menjadi lebih mudah untukdiakses oleh para pelaksana yang berada di dasar piramid, dan demikian pula sebaliknya, sehingga relevansi lapis tengah piramid yang berfungsi sebagai perantara antara puncak dan dasar piramid menjadi berkurang sekali. Teknologi informasi juga memperluas span of control seorang fungsionaris, sehingga jumlah sekat yang membagi organisasi secara horisontal juga menurun secara drastis. Dengan demikian, organisasi yang sesuai dengan kebutuhan zaman adalah yang lebih melebar (Bat) dan transparan. Perkembangan yang seperti itu berdampak pada semakin berdayanya mereka yang berada di luar lembaga dan mereka yang berada di lapis lebih bawah dalam organisasi. Apa yang terjadi pada era revolusi informasi sekarang ini adalah kebalikan daripada era revolusi industri. Pada era revolusi industri masuknya teknologi ke dalam fungsi produksi menyebabkan tumbuhnya organisasi-organisasi birokratis,yang berfungsi sebagai teknostruktur yang cocok untuk mengelola kegiatan produksi dan distribusi yang agar ekonomis ham bersekala besar (Galbraith, 1973). Munculnya lembaga-lembaga birokratis dan tertutup itu mengurangi keberdayaan individu melalui dua cara. Pertama, penerapan teknologi memerlukan skala ekonomi besar, yang mendorong pada semakin terkonsentrasinya pasar dari sisi penawaran (Galbraith,1973). Semakin terkonsentrasinya sisi penawaran itu memperlemah keberdayaan sisi permintaan, yaitu sisinya konsumen. Kedua, lembaga besar yang birokratis dan tertutup itu mempunyai tabiat alami suka memonopoli informasi yang berdampak pada semakin tak berdayanya individu di hadapan lembaga. Era revolusi informasi sekarang ini mengembalikan kedaulatan konsumen di pasar, dan kedaulatan individu di hadapan lembaga. Faktor inilah yang menjadi pemicu utama munculnya berbagai metoda atau pendekatan baru dalam pengelokan organisasi.Organisasi-organisasi bisnis adalah lembaga yang paling responsif danadaptif terhadap perubahan lingkungan yang terutama ditandai oleh menguatnya keberdayaan konsumen di pasar dan keberdayaan individu di hadapan lembaga tersebut.flat-nonbureaucratic-intelligent-enterpreneurial organization, partisipative workteams, cross training, downsizing, push-ing decision making down the pyramid,customer orientation, outsourcing, just-in-time inventory, activity basedmanagement, dan overhead reduction- pada hakekatnya merapakan upaya-upayaflat-nonbureaucratic-intelligent-enterpreneurial organization, partisipative workteams, cross training, downsizing, push-ing decision making down the pyramid,customer orientation, outsourcing, just-in-time inventory, activity basedmanagement, dan overhead reduction- pada hakekatnya merapakan upaya-upayaflat-nonbureaucratic-intelligent-enterpreneurial organization, partisipative workteams, cross training, downsizing, push-ing decision making down the pyramid,customer orientation, outsourcing, just-in-time inventory, activity basedmanagement, dan overhead reduction- pada hakekatnya merapakan upaya-upaya
THE IMPACTS OF INDIGENOUS-CHINESE RELATIONS ON MUSLIM-CHRISTIAN RELATIONS: ECONOMIC, POLITICAL, SOCIAL, CULTURAL, AND HISTORICAL ANALYSIS Bambang Sudibyo
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 12, No 3 (1997): July
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2102.487 KB)

Abstract

Tensions between the Muslims and the Christians have been high in the 90s. The tensions, this writer believes, are strongly confounded by ethnic prijudice beween the predominantly Muslim poor indigeneous and predominantly Christian wealthy Chinese. Relaxing the just mentioned tensions, therefore, should precede any other attemls to relax the tensions between the Muslims and the Christians. This writer proposes Malaysian model of affirmative programs for the Indegeneous to relax tension between the Indegeneous and the Christians, and therefore the Muslims and the. Christians
Pengaruh Publikasi Publikasi Laporan Arus Kas terhadap Volume Perdagangan Saham Perusahaan di Bursa Efek Jakarta Ambar Woro Hastuti; Bambang Sudibyo
The Indonesian Journal of Accounting Research Vol 1, No 2 (1998): JRAI May 1998
Publisher : The Indonesian Journal of Accounting Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33312/ijar.15

Abstract

The efficient market hypotheses state that security prices instaneously reflect all relevant available information. In other words, the investment decisions made by the investors are a reaction to the information received by them. The financial statements published consist of specific information about the firm, and in the Financial Accounting Standards (Standar Akuntansi Keuangan) No. 2 the Cash-Flow Statements as part of financial statements must be published since January 1, 1995.The objective of this study, is to investigate whether Cash-Flow Statements influence investors decisions. This is expected to be reflected in the change of the average relative trading volume activity (TVA) around the dates of financial statements published two years prior to two years after Cash Flow Statements are publications.Analysis of 37 security samples indicate that: (1) For financial statements of December, 31 1991 and 1992, TVA did not significantly relate to the financial statement published, while for the financial statements of December, 31 1993 and 1994 TVA related significantly to the financial statements published. This results provide empirical evidence that investors react to the financial statements as of Desember , 31 1993 and 1994. (2) There is a significant difference between TVA two years prior with two years after Cash Flows Statements publication. The result indicates that TVA prior Cash Flow Statements publication ( TVA 1991 = O,1355,   1992 = 0,0745) and after Cash Flows Statements publication  TVA 1993 = 0,0927, TVA 1994 = 0,0711). In fact these significantly difference caused of TVA three days around the financial statements Desember, 31 1991 publication date relatively higher to 1992, 1993, and 1994. Is probably caused of bullish condition in Indonesian stock market in 1989 up to 1990, where many investors bought the stocks without really considering the information contains in the financial statements. This case were also supported by the result of first hyphotheses in this research, and the findings of Papilaya (1989) and Hendrayati (1992) indicate that the investors did not use financial information in investment decision making.Keywords:       Financial Statements, Cash-Flows Statements, Trading Volume Activity
Studi Empiris tentang Pengaruh Pemilihan Metode Akuntansi untuk Merjer dan Akuisisi terhadap Volume Perdagangan Saham Perusahaan Publik di Indonesia Etty Gurendrwati; Bambang Sudibyo
The Indonesian Journal of Accounting Research Vol 2, No 2 (1999): JRAI May 1999
Publisher : The Indonesian Journal of Accounting Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33312/ijar.30

Abstract

-
Implications of the Shifts in Geo-Economic Center of Gravity and the ASEAN Charter on the Accounting Profession and Accounting Regulation in Indonesia (2010 National Accounting Symposium Keynote Speech) BAMBANG SUDIBYO
The Indonesian Journal of Accounting Research Vol 13, No 3 (2010): IJAR September 2010
Publisher : The Indonesian Journal of Accounting Research

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33312/ijar.225

Abstract

The hypothetical ongoing shift of geo-economic center of gravity from the developed economies concentrated in the West to the emerging economies concentrated in the East, given that it was true, is very interesting and is supposed to bring pervasive and strategic implications to the Indonesian economy, business and accounting world. The ASEAN Charter 2007, ratified by the Indonesian Parliament in 2008, was committed by ASEAN leaders during the hypothetical shift. The Charter commits ASEAN 10 member countries to become one solid economic community, one solid socio-cultural community and one solid security community by 2015. This article refers to a secondary data based economic policy research on the shift and the Charter, and their bearings and implications on the accounting profession, financial accounting regulation and standard setting in Indonesia. In addition, the author also develops a theology of happenings which affirms the aforesaid shift.