Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

TOKOH RAMA ANTARA KESAKSIAN DAN KENYATAAN Muhammad Mukti
Jurnal Cakrawala Pendidikan CAKRAWALA PENDIDIKAN, EDISI 1,1991,TH.XI
Publisher : LPMPP Universitas Negeri Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (275.891 KB) | DOI: 10.21831/cp.v1i1.8740

Abstract

Sesuai dengan kodratnya, manusia adalah sebagai makhul penganalisis (man of analisys); hewan yang berfikir. Untuk memberikan nilai baik atau buruk terhadap suatu barang misalnya, terlebih dahulu memperhatikan-menganalisis-mempertimbangkan dan seterusnya. Setelah mendapatkan kejelasan, baru kemudian menetapkan nilai baik atau buruk barang tersebut.
RESISTENSI WAYANG SADAT DALAM MENGHADAPI HEGEMONI MUHAMMADIYAH Muhammad Mukti
Jurnal Penelitian Humaniora Vol 13, No 1: April 2008
Publisher : LPPM UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (36.284 KB) | DOI: 10.21831/hum.v13i1.5023

Abstract

The Muhammadiyah Organization in Trucuk-Klaten in the recent period is truly a puritan movement which commits in eradicating the polytheist (musyrik), tahayul, bid’ah, churofat (TBC). The lived-Sadat puppet is flourishing in Tucuk as the part of the art tradition which considers by Muhammadiyah as full of polytheist TBC. Therefore, it becomes the target of eradicating (to hegemony). However, the Sadat puppet is also re-against by defending its existence in many ways. This research is aimed to reveal the form of hegemony of Muhammadiyah Trucuk to the Sadat puppet, and the resistance of Sadat puppet toward that hegemony. The research shows that there are 2 forms of Muhamamdiyah Trucuk’s hegemony to the Sadat puppet. The first is internal hegemony, and the second is external hegemony. Meanwhile, the forms of resistance of Sadat puppet toward the hegemony of Muhammadiyah are the opened resistance and the closed resistance.
WAYANG DALAM KONTEKS BUDAYA Muhammad Mukti
Imaji Vol 4, No 1 (2006): IMAJI FEBRUARI
Publisher : FBS UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.658 KB) | DOI: 10.21831/imaji.v4i1.6700

Abstract

Wayang is a traditional drama performance, which has existed since the period of Erlangga. Its history then can be traced back from Majapahit, Demak, and the nine wali until this present time. In cultural context, especially that of Islam, wayang is a means to spread the Islamic religious teachings, leading people to God. As a medium of religious propagation, this performance always transforms the syahaadah sentences Laailaahailallah and Muhammadar-rasulullah. These can be sent explicitly or implicitly. Additionally, the ways to invite people to implement the teaching values are done directly or indirectly. Through this performance, the audience can observe the good conducts to be deduced as Islamic knowledge. Since the direction is from practices to knowledge, as a medium of propagation this performance is a set back. Keywords: wayang, cultural context, religious propagation
PERTUNJUKAN WAYANG KULIT PURWA LAKON “CUPU MANIK ASTAGINA” SEBAGAI MEDIA DAKWA Muh Mukti
Imaji Vol 10, No 1 (2012): IMAJI FEBRUARI
Publisher : FBS UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (48.884 KB) | DOI: 10.21831/imaji.v10i1.6368

Abstract

This research tries to answer the following research questions: (1) how is the perfection of the purwa leather puppet performance entitled “Cupu Manik Astagina” as a sermon? (2) What lessons are taught? and (3) How are the lessons delivered through the leather puppet performance? This research is a descriptive-qualitative research. The data collecting technique was conducted through library research, observation and interview, and documentation. The research results show: (1) the perfection of the performance of purwa leather pupet entitled “Cupu Manik Astagina” as a sermon cannot be gained optimally as it only achieves the the targhiblevel, not the takhrujlevel. (2) The religious lessons given are those related to hablumminalllah (relationship with God), hablumminannaas(relationship among human beings), dan hablumminal ‘alm(relationship with nature). (3) The methods of delivering the religious lessons are methok, and medhang miring.
PELANGGARAN WAYANG TERHADAP AGAMA DAN SOLUSINYA Muh. Mukti
Imaji Vol 13, No 2 (2015): IMAJI AGUSTUS
Publisher : FBS UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.942 KB) | DOI: 10.21831/imaji.v13i2.7879

Abstract

Wayang dalam perspektif agama Islam selama ini selalu dipandang positif oleh masyarakat umum bisa mengantarkan mamusia sampai pada Penciptanya, tetapi tidak demikian  oleh orang  alim, wayang dianggap sebagai pelanggaran terhadap agama Islam karena tidak bisa mengantarkan manusia sampai pada Penciptanya, hingga harus diberi solusinya.  Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan pelanggaran wayang terhadap agama Islam, serta solusinya agar bisa mengantarkan manusia sampai pada Penciptranya. Pelanggaran wayang terhadap agama Islam,  pertama  wayang bukanlah dakwah, kedua bukan taklim, ketiga bukan ibadah, hingga tidak bisa mengantarkan manusia sampai pada Penciptanya, Adapun Solusinya, wayang harus disambungkan dengan dakwah khuruj fii sabiilillaah.tiga hari, empatpuluh hari, atau empat bulan.
RELASI ESTETIKA WAYANG DAN ESTETIKA AGAMA Muh. Mukti
Imaji Vol 7, No 1 (2009): IMAJI FEBRUARI
Publisher : FBS UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.993 KB) | DOI: 10.21831/imaji.v7i1.6644

Abstract

Keberadaan budaya bangsa untuk sekarang ini, tidak selalu berjalan dengan estetika agama, wayang di antaranya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemikiran bagaimana wayang tersebut berjalan dengan estetika agama. Agar wayang berjalan dengan estetika agama, harus disambungkan dengan dakwah. Untuk keperluan itu, digunakan tasykil, yakni ajakan secara langsung kepada penonton untuk dakwah usai wayang. Wayang setelah disambungkan dengan dakwah, berubah jenisnya menjadi kesenian dakwah, terminologinya ganda: wayang, tasykil, dan dakwah, tuntunannya agama, dan bentuknya sambung. Kata kunci: estetika, estetika wayang, dan estetika agama
Interpretasi Makna Gramatis dan Psikologis Tembang Macapat dengan Analisis Hermeneutika Schleiermacher Anarbuka Kukuh Prabawa; Muh Mukti
Indonesian Journal of Performing Arts Education Vol 2, No 2 (2022)
Publisher : Jurusan Pendidikan Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/ijopaed.v2i2.7113

Abstract

AbstractThis study aims to reveal the philosophical meanings behind the Macapat song with grammatical and psychological interpretations through Schleiermacher's hermeneutic theory. This study is qualitative with a literature study technique using Schleiermacher's philological and hermeneutic approach analysis. Philology is used to identify words in the Macapat songs sentence from fiber texts, including Serat Wulangreh, Wedhatama, and others. Meanwhile, Schleiermacher's hermeneutics focuses on being used as an analytical tool to interpret the relationship between the meaning of the word (grammatical) and the meaning of the author's expression (psychological). The results of the study found the meaning of moral messages from 11 kinds of Macapat songs, each of which has its own philosophy, the sequence includes Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, and Pocung. The connection of the 11 Macapat songs represents the stages of human life, from the womb to death. The philosophical meaning behind the Macapat song is a reminder of one's awareness of its origins and acts as a true human being who always includes God in every step.AbstrakKajian ini bertujuan untuk mengungkap makna-makna falsafah dibalik tembang Macapat dengan interpretasi gramatikal dan psikologikal melalui teori hermeneutika Schleiermacher. Metode kajian ini berjenis kualitatif dengan teknik studi literatur menggunakan analisis pendekatan filologi dan hermeneutik Schleiermacher. Filologi digunakan untuk mengidentifikasi kata pada kalimat tembang Macapat dari naskah-naskah serat, antara lain: Serat Wulangreh, Wedhatama, dan selainnya. Sementara hermeneutika Schleiermacher terfokus digunakan sebagai alat analisis untuk menafsirkan keterkaitan antara makna kata (gramatic) dengan makna ungkapan ekspresi dari pengarang (psychological). Hasil kajian ditemukan makna pesan moral dari 11 macam tembang Macapat yang masing-masing mempunyai falsafah tersendiri, urutannya meliputi Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pocung. Keterkaitan ke-11 tembang Macapat merupakan representasi tahap kehidupan manusia sejak dari alam kandungan hingga meninggal. Kesimpulannya bahwa makna falsafah dibalik tembang Macapat merupakan pengingat kesadaran seseorang akan asal muasalnya dan berlaku menjadi manusia sejati yang senantiasa mengikutsertakan Tuhan dalam setiap langkahnya. 
Kiat dan keberhasilan masyarakat Jawa: “Memayu hayuning bawana” dalam bidang budaya seni wayang Mukti, Muh.
Imaji: Jurnal Seni dan Pendidikan Seni Vol 21, No 1 (2023): IMAJI APRIL
Publisher : FBSB UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/imaji.v21i1.59299

Abstract

Masyarakat Jawa sejak dulu sampai sekarang, merasa diri bagian dari sistem dunia, hingga merasa wajib memayu hayuning bawana dalam bidang apapun termasuk budaya seni wayang, agar dunia ini menjadi baik, maju, dan lestari. Penelitian dilakukan maksudnya untuk mengetahui kiat dan keberhasilan masyarakat Jawa tersebut dalam memayu hayuning bawana khusus dalam budaya seni wayang.  Metode penelitian yang digunakan adalah metode kajian, maksudnya materi dikaji dengan formal dalam hal ini adalah “kiat dan keberhasilan”. Objeknya masyarakat Jawa, datanya diperoleh dari berbagai wawancara, buku, dan clib file yang ada selama ini. Instrumennya peneliti sendiri dengan alat bantu, audiovisual, photo, dan rekam suara. Hasilnya, kiat masyarakat Jawa zaman Hindu memayu hayuning bawanna dalam bidang budaya seni wayang, seni wayang digunakan untuk Tuhan (agama), dalam hal ini adalah untuk ibadah, hasilnya mereka paham agama, dan wayang menjadi baik, maju dan lestari. Kiat masyarakat zaman Islam memayu hayuning bawanna dalam bidang budaya seni wayang, seni wayang digunakan untuk Tuhan (agama), dalam hal ini untuk dakwah, hasilnya mereka paham agama, dan wayang menjadi baik, maju dan lestari. Sedang masyarakat Jawa zaman sekarang memayu hayuning bawanna dalam bidang budaya seni wayang, seni wayang digunakan untuk material—hiburan, ekonomi, dan pertunjukan, hasilnya mereka tidak paham agama, dan wayang juga tidak menjadi baik, maju dan lestari. Kata kunci: kiat, masyarakat Jawa, wayang  Wisdom and success of the Javanese community: "Memayu hayuning bawana" in the field of wayang art and culture Abstract            The Javanese people, from the past until now, feel themselves part of the world system, to the point where they feel obligated to support hayuning bawana in any field, including wayang art culture, so that this world can be good, advanced, and sustainable. The aim of the research was to find out the tips and success of the Javanese people in embracing hayuning bawana specifically in wayang art culture. The research method used is the study method, meaning that the material is studied formally in this case is "tips and successes". The object is the Javanese people, the data is obtained from various interviews, books, and existing clip files. The instrument is the researcher himself with tools, audiovisual, photos, and sound recording. As a result, the tips of the Javanese people of the Hindu era memayu hayuning Bawanna in the field of wayang art culture, wayang art was used for God (religion), in this case it was for worship, the result was that they understood religion, and wayang became good, advanced and sustainable. Tips for the people of the Islamic era to memayu hayuning bawanna in the field of wayang art culture, wayang art is used for God (religion), in this case for da'wah, the result is that they understand religion, and wayang becomes good, advanced and sustainable. While the Javanese people are currently embracing hayuning Bawanna in the field of wayang art culture, wayang art is used for materials—entertainment, economy, and performances, the result is that they don't understand religion, and wayang also doesn't become good, advanced and sustainable.Keywords: ips, Javanese people, wayang