Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search
Journal : JURNAL BIOMEDIK

PENENTUAN DERAJAT LUKA DALAM VISUM ET REPERTUM PADA KASUS LUKA BAKAR Kristanto, Erwin G.; Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4346

Abstract

Kebutuhan masyarakat atas berbagai dokumen medikolegal kian meningkat seiring peningkatan kesadaran masyarakat atas hak hukumnya. Setiap dokter, dalam berbagai tingkat pelayanan kesehatan, diwajibkan mampu untuk memberikan pelayanan forensik dan medikolegal, khususnya visum et repertum. Visum et repertum yang dibuat seorang dokter harus dapat membantu penegakan hukum melalui kesimpulan yang sesuai dengan ilmu kedokteran dan kebutuhan penegakan hukum. Pada kasus dugaan penganiayaan yang mengakibatkan korban menderita luka bakar, maka amat penting bagi para penegak hukum untuk memperoleh pendapat ilmiah dokter mengenai derajat keparahan atau derajat luka dari korban tersebut. Pendapat ilmiah mengenai derajat luka ini akan membantu aparat penegak hukum dalam menentukan beratnya hukuman yang diancamkan pada pelaku. Kesimpulan dokter akan membawa dampak besar bagi pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut, sehingga pengambilan kesimpulan yang tepat amatlah penting.
Gambaran Mikrokopik Serebelum pada Hewan Coba Postmortem Nangoy, Belinda V.; Kalangi, Sonny J. R.; Pasiak, Taufiq F.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 11, No 1 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.11.1.2019.23205

Abstract

Abstract: After death, there will be cellular changes that cause definite signs of death. These changes could be used to determine the time of death. This study was aimed to determine the microscopic changes of the cerebellum during 1 hour to 24 hours postmortem. This was a descriptive study. Four domestic pigs of more than 90 kg were used as animal models. After being killed, we made slices in the pig heads to expose and observe cerebellar microscopic changes in several time intervals, as follows: 90 minutes, 2 hours, 3 hours, 4 hours, 5 hours, 6 hours, 7 hours, 8 hours, 9 hours, 10 hours, 11 hours, 12 hours, 13 hours, 14 hours, 15 hours, 16 hours, 17 hours, 18 hours, 19 hours, 20 hours, 21 hours, 22 hours, 23 hours, and 24 hours postmortem. The results showed that the cerebellum became progressively pale and softened at 8 hours postmortem. Congestion in all tissues occured at 2 hours postmortem, however 69.2% of the Purkinje cells still had normal nuclei. At 7 hours postmortem, Purkinje cells began to enlarge associated with karyorrhexis, and at 21 hours postmortem most of the cells shrank. Albeit, at 24 hours postmortem the cerebellar layers could still be identified and some Purkinje cells with normal morphology could be found. Conclusion: Microscopic changes could be identified at 2 hours postmortem in the form of congestion of the cerebellar layers. Purkinje cells underwent karyorrhexis at 7 hours postmortem and shrank at 21 hours postmortem.Keywords: Purkinje cells, cerebellar layers, postmortemAbstrak: Setelah kematian, terjadi perubahan pada sel-sel yang menimbulkan tanda-tanda pasti kematian. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat membantu menentukan saat kematian dalam suatu kasus hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mikroskopik serebelum selama interval waktu 1 jam hingga 24 jam postmortem. Jenis penelitian ialah deskriptif. pada hewan coba babi dengan rerata berat lebih dari 90 kg. Setelah hewan coba dimatikan, dibuat irisan di bagian kepala untuk menampakkan serebelum dan mengamati perubahan mikroskopiknya pada rentang waktu 90 menit, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 7 jam, 8 jam, 9 jam, 10 jam, 11 jam, 12 jam, 13 jam, 14 jam, 15 jam, 16 jam, 17 jam, 18 jam, 19 jam, 20 jam, 21 jam, 22 jam, 23 jam, dan 24 jam postmortem. Hasil penelitian mendapatkan serebelum tampak pucat dan melunak secara progresif pada 8 jam postmortem. Kongesti di semua jaringan mulai terjadi pada 2 jam postmortem dan ditemukan 69,2% sel Purkinje berinti yang masih normal. Sel Purkinje mulai membesar dan inti mengalami karioreksis pada 7 jam postmortem tetapi pada 21 jam postmortem sel-sel tersebut tampak menyusut. Meskipun demikian hingga 24 jam postmortem struktur lapisan serebelum masih dapat diidentifikasi dan sel Purkinje dengan morfologi normal masih ditemukan. Simpulan: Perubahan mikroskopik serebelum sudah dapat diidentifikasi pada 2 jam postmortem yaitu berupa kongesti lapisan serebelum. Sel Purkinje mengalami karioreksis pada 7 jam postmortem dan menyusut pada 21 jam postmortem.Kata kunci: sel Purkinje, lapisan serebelum, postmortem
GAMBARAN HISTOLOGIK HEPAR HEWAN COBA POSTMORTEM Pualilin, Novia K.; Wangko, Sunny; Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.2.2014.5550

Abstract

Abstract: The usage of postmortem histological changes of the liver in the medicolegal investigation is still very limited. This study aimed to obtain the histological changes of the liver postmortem. This was an experimental-descriptive study using one pig as model. Samples were taken from its liver after 0 minute; 15 minutes; 30 minutes; 45 minutes; 60 minutes; 12 hours; and 24 hours postmortem. The results showed that the first postmortem histological changes of the pig liver were observed 30 minutes postmortem. These changes were congestion of the liver parenchym and sinusoidal dilatation, which became more distinct after 45 and 60 minutes. At 12 hours postmortem, the hexagonal forms of lobuli could still be identified, however, most central veins and vessels in the portal areas could not be identified. At 24 hours  postmortem, liver lobuli and all the vessels could not be identified. Conclusion: The earliest histological changes, parenchym congestion and sinusoiodal dilatation, occured 30 minutes postmortem. At 12 hours postmortem, most ot the vessels could not be identified. Morover, at 24 hours postmortem, all liver structures could not be identified anymore. It is expected that these postmortem histological changes of the liver colud be applied in medicolegal investigation especially ≤24 hours postmortem. Keywords: postmortem interval, liver, postmortem.     Abstrak: Perubahan gambaran histologik hepar postmortem yang dijadikan dasar dalam penentuan lama kematian masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran histologik hepar postmortem. Penelitian ini bersifat deskriptif eksperimental dengan menggunakan babi sebagai hewan coba. Sampel jaringan hepar diambil pada interval waktu 0 menit; 15 menit; 30 menit; 45 menit; 60 menit; 12 jam; dan 24 jam postmortem. Hasil penelitian memperlihatkan perubahan histologik hepar babi mulai teridentifikasi pada 30 menit postmortem berupa kongesti parenkim hepar disertai dilatasi sinusoid. Pada 45 menit dan 60 menit postmortem, perubahan-perubahan di atas makin nyata dan meluas. Pada 12 jam postmortem, bentuk lobuli heksagonal masih dapat diidentifikasi tetapi sebagian besar vena sentralis dan pembuluh-pembuluh dalam area portal tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 24 jam postmortem, lobuli hepar, vena sentralis serta pembuluh-pembuluh dalam area portal tidak dapat diidentifikasi lagi. Simpulan: Perubahan gambaran histologik hepar babi mulai tampak pada 30 menit postmortem ditandai kongesti parenkim hepar disertai dilatasi sinusoid. Pada 12 jam postmortem, sebagian besar pembuluh-pembuluh tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 24 jam postmortem seluruh struktur hepar tidak dapat diidentifikasi lagi. Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk kepentingan medikolegal, terutama pada kematian ≤24 jam. Kata kunci: lama kematian, hepar, postmortem.
KHASIAT ALOE VERA DAN MADU TOPIKAL PADA RE-EPITELISASI DAN PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI LUKA EKSISI KULIT TELINGA KELINCI Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4338

Abstract

Abstract: There are still conflicting opinions about the benefits of aloe vera and honey in accelerating wound re-epithelialization. This study aimed to compare the efficacy of the topical application of honey, aloe vera, and normal saline solution on re-epithelialization and granulation tissue formation on skin wound healing. Six white rabbits were used for evaluation. Four full-thickness excisional wounds were made on the interior surface of each ear with a 6-mm tissue punch. The forty-eight wounds were treated either with aloe vera, honey, or normal saline, or left untreated (as control group). On day 7 after treatment, the wound tissues were processed for histological examination. Histological cross sections, stained with hematoxylin-eosin, were used for a quantitative evaluation of re-epithelialization and granulation tissue formation. Re-epithelialization was evaluated by measuring the distance of epithelial gaps. Granulation tissue formation was followed-up by measuring the height of the granulation tissue, the distance of granulation tissue gaps, the total lateral-medial distance of granulation tissue, and by calculating the value of granulation tissue volume. The values of the acceleration rate of the re-epithelialization were found to be statistically significant (P < 0.05): topical aloe vera (P = 0.003) and honey (P = 0.004). Except for the height of the granulation tissue (P = 0.054), all other values of the tissues showed results which were significantly different. The acceleration of the formation of the granulation tissue found in the tissue treated with aloe vera and honey generated in the medio-lateral direction toward to the center of the wound. Conclusion: The re-epithelialization processes and the formation of the granulation tissue in the full-thickness wounds performed on the rabbit ears were significantly increased by the topical treatment of aloe vera or honey. The treatment with aloe vera on those healing processes had the same effectiveness as that of honey. Keywords: aloe vera, honey, re-epithelialization, granulation tissue formation     Abstrak: Aloe vera dan madu dianggap dapat mempercepat re-epitelisasi luka sekalipun masih terdapat beberapa perbedaan pendapat. Penelitian ini bertujuan membandingkan khasiat aloe vera, madu, dan larutan garam fisiologis yang diberikan secara topikal dalam re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi pada proses penyembuhan luka eksisi kulit telinga kelinci. Sebanyak 6 ekor kelinci putih jantan dipakai sebagai sampel. Pada telinga kelinci dibuat luka eksisi sedalam tebal kulit berbentuk bundar dengan diameter 6 mm. Setiap telinga dibuat empat buah luka pada permukaan dalam telinga. Luka kemudian mendapat perlakuan pemberian aplikasi topikal larutan NaCl 0,9%, madu, dan aloe vera, serta kontrol yang tidak diobati. Tujuh hari kemudian dilakukan biopsi pada sediaan luka. Jaringan diproses menjadi sediaan histologik dan dipulas dengan hematoksilin eosin untuk penilaian secara kuantitatif terhadap proses re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi. Re-epitelisasi dinilai dengan cara mengukur jarak celah epitel. Pembentukan jaringan granulasi dinilai dengan cara mengukur tinggi jaringan granulasi, jarak celah granulasi, total jarak lateral-medial (lebar) jaringan granulasi, serta perhitungan besar volume jaringan granulasi. Ditemukan percepatan re-epitelisasi yang bermakna secara statistik (P < 0,05) pada olesan dengan aloe vera (P = 0,003) dan madu (P = 0,004). Pada pembentukan jaringan granulasi kecuali tinggi jaringan granulasi yang tidak berbeda bermakna (P = 0,054) semuanya menunjukkan hasil yang berbeda bermakna secara statistik. Percepatan pembentukan jaringan granulasi yang ditemukan pada olesan aloe vera dan madu berupa proses pembentukan jaringan granulasi dengan arah lateral-medial menuju pusat luka. Simpulan: Re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi luka eksisi full-thickness pada telinga kelinci secara bermakna meningkat oleh pemberian aloe vera dan madu secara topikal; juga pemberian aloe vera sama efektifnya dengan madu dalam re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi. Kata kunci: aloe vera, madu, re-epitelisasi, pembentukan jaringan granulasi.
JARINGAN LEMAK PUTIH DAN JARINGAN LEMAK COKLAT Aspek histofisiologi Karundeng, Ronny; Wangko, Sunny; Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.3.2014.6328

Abstract

Abstract: There are two types of adipose tissues, white adipose tissue and brown adipose tissue. White adipose tissue is distributed in subcutaneous tissues meanwhile brown adipose tissue is located in certain parts of the body, neck and interscapulaar regions, in fetus and infants. Cells of adipose tissue are named adipocytes. The adipocyte of white adipose tissue contains one lipid locus (unilocular), meanwhile the adipocyte of brown adipose tissue contains many small lipid inclusions (multilocular). In adults, all adipose tissues show similar histological features-unilocular. Albeit, in certain conditions, adipocytes of brown adipose tissues can reverse to their former features, multilocular. Each type of these adipose tissue has its own characteristic in hitological and functional aspects.Keywords: white adipose tissue, brown adipose tissue, histological characteristics, functionAbstrak: Terdapat dua jenis jaringan lemak yaitu jaringan lemak putih dan jaringan lemak coklat. Jaringan lemak putih tersebar pada jaringan subkutan sedangkan jaringan lemak coklat banyak terdapat di daerah leher dan interskapular pada fetus dan bayi. Sel jaringan lemak disebut adiposit. Pada usia dewasa, semua jaringan lemak terlihat sebagai lemak unilokuler tetapi pada kondisi tertentu jaringan lemak coklat dapat kembali ke struktur semula, yaitu multilokular. Kedua jenis jaringan lemak memiliki kekhususan sendiri baik dari aspek histologik maupun fungsional.Kata kunci: jaringan lemak putih, jaringan lemak coklat, gambaran histologik, fungsi
Gambaran Makroskopik dan Mikroskopik Organ Tiroid pada Hewan Coba Postmortem Tangkelangi, Dwi P. A.; Kalangi, Sonny J. R.; Angmalisang, Elvin C.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 3 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.11.3.2019.26876

Abstract

Abstract: Macroscopic and microscopic changes of thyroid that occur after death can be used in determining the time of death. This study was aimed to obtain the macroscopic and microscopic changes of thyroid gland in an animal model during 24 hours postmortem. This was a descriptive and observational study. We used 5 male pigs aged 4-5 months and weighing more than 100 kg as animal model. The macroscopic changes were identified after 3 hours postmortem, as follows: darkened color, mushy consistency, dry surface, and decreased weight and size of the organ. At 7 hours postmortem, the surface texture became very wrinkled; however, up to 24 hours postmortem, there was no bad odor of the thyroid glands. The initial microscopic change was identified at 2 hours postmortem as degenerated follicles. At 24 hours postmortem, most follicles did not contain colloid anymore. In conclusion, the initial macroscopic change was observed at 3 hours postmortem meanwhile the microscopic change was identified at 3 hours postmortem as degenerated follicles that progressed until 24 hours postmortem, albeit, some follicles still could be identified at 24 hours postmortem.Keywords: thyroid gland, postmortem Abstrak: Perubahan organ tiroid secara makroskopik dan mikroskopik dapat dimanfaatkan dalam penentuan waktu kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan makroskopik dan mikroskopik organ tiroid hewan coba babi selama 24 jam postmortem. Jenis penelitian ialah deskriptif-observasional. Hewan coba yang digunakan ialah 5 ekor babi jantan, usia 4-5 bulan dan berat badan lebih dari 100 kg. Hasil penelitian makroskopik teridentifikasi sejak 3 jam postmortem. Warna organ tiroid menjadi lebih gelap, konsistensi bagian dalam lunak, permukaan kering, serta berat dan ukuran organ berkurang. Pada 7 jam postmortem, tekstur permukaan organ menjadi sangat keriput. Pada 11 jam postmortem hingga 24 jam postmortem warna organ menjadi merah kehitaman. Hingga 24 jam postmortem, tidak ditemukan bau busuk pada organ tiroid. Hasil penelitian mikroskopik awal terlihat sejak 2 jam postmortem dengan ditemukannya degenerasi folikel yang terus berlangsung hingga pada 24 jam postmortem hampir seluruh folikel tidak berisi koloid. Simpulan penelitian ini ialah perubahan makroskopik awal terlihat pada 3 jam postmortem sedangkan perubahan mikroskopik telah teridentifikasi sejak 2 jam postmortem yaitu degenerasi folikel yang terus berlangsung namun sebagian folikel tiroid masih dapat diidentifikasi pada 24 jam postmortem.Kata kunci: organ tiroid, postmortem
TINJAUAN HISTOLOGIK TULANG RAWAN Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.3.2014.6329

Abstract

Abstract: Cartilage belongs to the suppportive tissue which is relatively dense. In an adult, this tissue is only found in two areas: extraskeletal cartilage and joints. During chondrogenesis in an embryo, messenchymal cells round up, retract their extensions, multiply rapidly, and form cellular condensation, cartilage formation area. The development of this ares occurs in two mechanisms: interstitial growth and apppositional growth. Injured cartilage will be repaired by the perichondrium. Its cells tend to fill spaces or deffects meanwhile chondrogenic cells of the perichondrium will undergone proliferation and differentiation to become chondroblast which produces new matrix.Keywords: cartilage, types of cartilageAbstrak: Tulang rawan merupakan jaringan ikat penahan berat yang relatif padat, tetapi tidak sekuat tulang. Dalam kehidupan pasca lahir, jaringan ini hanya ditemukan pada dua jenis tempat sesudah tidak tumbuh lagi, yaitu pada sejumlah bangunan tulang rawan ekstra-skeletal yang terdapat dalam tubuh dan pada persendian. Pada tempat pembentukan tulang rawan embrio, sel-sel mesenkim menyusutkan cabang-cabangnya dan mengumpul dalam agregasi padat yang dikenal sebagai pusat kondrifikasi. Pertumbuhan dalam perluasan pusat kondrifikasi terjadi melalui dua mekanisme berbeda, yaitu: pertumbuhan interstitial dan pertumbuhan aposisional. Cedera tulang rawan akibat trauma akan diperbaiki oleh perikondrium. Sel-sel perikondrium cenderung untuk mengisi kekosongan atau defek, sedangkan sel-sel kondrogenik dalam perikondrium akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi kondroblas yang menghasilkan matriks baru.Kata kunci: kartilago, jenis kartilago
POLA SERANGGA NEKROFAGUS PADA DEKOMPOSISI HEWAN COBA INDOORS DI KOTA MANADO Wangko, Sunny; Kristanto, Erwin G.; Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.2.2014.5552

Abstract

Abstract: Studies of insect succession in indoor carcasses are still very rare reported. This study aimed to obtain the succession pattern of necrophagus insects in indoor carcass in Manado. One domestic pig was used as model, and killed with a cardiac puncture. The results showed that the duration of decomposition took 16 days to reach skeletonization. There were 3 orders found, as follows: Diptera, Coleoptera, and Hymenoptera, consisting of  8 families and 12 species. Albeit, insects that colonized in the carcasses were Chrysomya rufifacies, Chrysomya megacephala, Sarcophaga harpax, Hermetia illucens, Dermestes maculatus, and several species of Muscidae. Both species of Chrysomya and Sarcophaga harpax can be applied in PMI estimation at early stage of decomposition meanwhile Hermetia illucens and Dermestes maculatus at late stage of decompostion. To our knowledge, this is the first study of decomposition and insect succession indoors in a coastal area in Indonesia. Moreover, this is the first report of Sarcophaga harpax which is biomolecularly identified with mtDNA in Indonesia. Further studies are needed to support the database of forensic insects in Indonesia, especially in Manado. Keywords: decomposition, indoors, necrophagus insects, colonization     Abstrak: Studi mengenai suksesi serangga indoors masih sangat jarang dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola serangga nekrofagus pada bangkai hewan coba indoors di Manado. Sebagai hewan coba digunakan satu ekor babi domestik yang dimatikan dengan tusukan pada jantung. Hasil penelitian memperlihatkan dekomposisi hewan coba indoors di kota Manado memerlukan 16 hari untuk mencapai skeletonization. Serangga yang berkunjung ke hewan coba tergolong dalam 3 ordo, yaitu: Diptera, Coleoptera, dan Hymenoptera, yang terdiri atas 8 famili dan 12 spesies. Serangga yang ditemukan berkolonisasi pada bangkai hewan coba ialah Chrysomya rufifacies, Chrysomya megacephala, Sarcophaga harpax, Hermetia illucens, Dermestes maculatus, dan beberapa spesies Muscidae. Kedua spesies Chrysomya dan Sarcophaga harpax dapat dimanfaatkan dalam perkiraan PMI pada dekomposisi awal, sedangkan Hermetia illucens dan Dermestes maculatus dapat dimanfaatkan pada dekomposisi lanjut. Penelitian mengenai dekomposisi dan suksesi serangga indoors ini merupakan yang pertama di daerah pesisir di Indonesia. Terdapatnya Sarcophaga harpax yang diidentifikasi secara biomolekular dengan mtDNA juga merupakan yang pertama kali dilaporkan di Indonesia. Studi lanjut dibutuhkan untuk menyokong database serangga forensik di Indonesia, khususnya Manado. Kata kunci: dekomposisi, indoors, serangga nekrofagus, kolonisasi
HISTOFISIOLOGI KULIT Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4344

Abstract

”Tidak ada mantel ajaib yang dapat dibandingkan dengan kulit dalam berbagai perannya berupa kedap air, penghangat, tabir surya, pelindung, pendingin, sensitif terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri, tahan dipakai dan dapat memperbaiki diri sendiri.” Prof. R.D. Lockhart Ahli anatomi terkenal berkebangsaan Skotlandia (Author of Anatomy of the Human Body)   Kulit beserta turunannya, meliputi rambut, kuku, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan kelenjar mamma disebut juga integumen. Fungsi spesifik kulit terutama tergantung sifat epidermis. Epitel pada epidermis ini merupakan pembungkus utuh seluruh permukaan tubuh dan ada kekhususan setempat bagi terbentuknya turunan kulit, yaitu rambut, kuku, dan kelenjar-kelenjar.
PERUBAHAN OTOT RANGKA PADA OLAHRAGA Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.3.2014.6323

Abstract

Abstract: Sports can enhance physical fitness and defence mechanism of the body. In the cellular and tissue levels, sports can improve the shape, function, defence, and strength of skeleton muscles. Although muscle cells can not undergo mytosis anymore, the injured muscle fibers can still be replaced by new fibers. During this regeneration process, the growth of new fibers compete with the growth of connective tissue. If there is less oxygen supply regeneration of muscle tissues will be hindered meanwhile the connective tissue can grow unimpededly. The changes of skeletal muscles are influenced by the endurance of physical training. As long as the physical training does not exceed the adaptation limit of the body, sport injury does not occur. Due to the regular physical training, all systems of the body will be improved, as well as the strength and skeletal muscle sizes. Therefore, the muscles can protect the joints against sudden external trauma.Keywords: sport, regeneration, muscle hypertrophy, sport injuryAbstrak: Olahraga, terutama bila dilakukan secara teratur, dapat meningkatkan kesegaran jasmani serta daya tahan. Pada tingkat sel dan jaringan olahraga dapat memperbaiki bentuk, fungsi, ketahanan, dan kekuatan otot rangka. Otot rangka tergolong jaringan yang purna-kembang artinya sel-selnya tidak dapat membelah lagi untuk memperbanyak diri. Sekalipun serat ototnya tidak dapat membelah lagi otot yang rusak dapat diganti dengan serat baru sehingga pulih-asal seperti sediakala. Dalam proses regenerasi, pertumbuhan serat otot baru bersaing dengan pertumbuhan jaringan ikat. Jika pasokan oksigen terhambat, regenerasi jaringan otot akan terganggu sedangkan jaringan ikat akan lebih leluasa tumbuh. Perubahan yang terjadi pada otot rangka sesuai dengan beban latihan. Sepanjang latihan tidak melampaui batas kemampuan penyesuaian tubuh, umumnya tidak akan terjadi cedera otot. Dengan latihan yang teratur sistem dalam tubuh akan menjadi makin baik mutu kerja dan kekuatannya, dan ukuran serat otot bertambah besar (hipertrofi). Ketahanan dan kekuatan otot yang baik akan dapat melindungi sendi terhadap cedera yang disebabkan oleh beban tambahan yang mendadak dari luar.Kata kunci: olahraga, regenerasi, hipertrofi otot, cedera olahraga