Sonny J.R. Kalangi
Department of Anatomy-Histology, Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi, Manado

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search
Journal : JURNAL BIOMEDIK

PERAN KOMPLEKS JUKSTAGLOMERULUS TERHADAP RESISTENSI PEMBULUH DARAH Toreh, Renny M.; Kalangi, Sonny J.R.; Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1213

Abstract

Abstract: As the main structural component of the renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS), the juxtaglomerular complex plays a very important role in the regulation of vascular resistance. The synthesis and release of renin into the circulation occurs due to the decrease of blood pressure, loss of body fluid, and a decrease of sodium intake. Renin converts angiotensinogen into angiotensin I, which is further converted by the angiotensin converting enzyme (ACE) into angiotensin II. This angiotensin II causes vasoconstriction of blood vessels, resulting in an increase of vascular resistance and blood pressure. The ACE inhibitors and the angiotensin receptor blockers (ARBs) do not inhibit the RAAS completely since they cause an increase of renin activity. The renin blockers are more effective in inhibiting RAAS activity; therefore, these renin blockers can be applied as antihypertensive agents with fewer side effects. The RAAS activity can be inhibited by a decrease of renin synthesis in the juxtaglomerular complex by blocking the signals in the juxtaglomerular complex that stimulate renin synthesis, and by blocking the gap junctions in the juxtaglomerular complex. Keywords: juxtaglomerular complex, vascular resistance, RAAS.   Abstrak: Kompleks jukstaglomerulus sebagai komponen struktural utama sistem renin angiotensin berperan penting dalam pengaturan resistensi pembuluh darah. Sintesis dan pelepasan renin ke sirkulasi terjadi karena tekanan darah yang rendah, kehilangan cairan tubuh, dan kurangnya intake natrium. Renin akan memecah angiotensinogen menjadi angiotesin I yang kemudian secara cepat dikonversi oleh enzim pengonversi angiotensin  menjadi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga meningkatkan resistensi pembuluh darah yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. ACEinhibitor dan ARB kurang sempurna dalam menghambat kerja SRAA oleh karena keduanya memutuskan rantai mekanisme timbal balik sehingga meningkatkan aktifitas renin. Penghambat renin lebih efektif digunakan untuk menghambat aktifitas SRAA sehingga penghambat renin dapat digunakan sebagai obat anti-hipertensi dan memiliki efek samping yang rendah. Metode penghambatan SRAA yang juga dapat dikembangkan ialah penghambatan sintesis renin dalam kompleks jukstaglomerulus dengan cara menekan sinyal-sinyal dalam kompleks jukstaglomerulus yang merangsang sintesis renin dan menghambat fungsi taut kedap yang terdapat dalam kompleks jukstaglomerulus. Kata kunci: kompleks juksta glomerulus, resistensi vaskular, SRAA.
EFEK APOMORFIN SUBLINGUAL PADA EREKSI PENIS Salossa, Kaleb D.S.; Kalangi, Sonny J.R.; Adam, Ghazaly
Jurnal Biomedik : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1209

Abstract

Abstract: Erectile dysfunction is the disability of a male to maintain consistant or repeated penile erections sufficiently for successful sexual intercourse. Many efforts have been done to handle this condition, so far. The psychosocial therapy and several medications inter alia: testosterone, yohimbine, trazadone, direct intracavernosus injection of alprostadil, penile implantation, and  sildenafil citrate, are not always suitable for the patients’ needs, especiallly those who suffer from cardiovascular diseases. Therefore, a new erectogenic agent has been introduced, the sublingual apomorphine. This apomorphine has a dopamine-like molecule that acts on the dopamine receptors in the paraventricular nucleus (PVN) of the central nervous system to increase the penile erection due to sexual stimulation (erotic imagination, audiovisual, or tactile). The sublingual apomorphine has been proved effective in overcoming the erectile dysfunction, especially the mild and moderate forms. Keywords: penile erection, sublingual apomorphin.     Abstrak: Telah banyak upaya dilakukan untuk mengatasi disfungsi ereksi yang merupakan ketidakmampuan seorang laki-laki secara konsisten atau berulang untuk mencapai dan mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual. Terapi psikososial dan pengobatan yang pernah diajukan seperti pemberian hormon testosteron, yohimbin, trazadon, injeksi langsung alprostadil intrakavernosa, implantasi penis serta sildenafil sitrat tidaklah selalu sesuai dengan kebutuhan penderita, khususnya penderita disfungsi ereksi dengan penyakit kardiovaskuler. Para ahli berusaha melakukan terobosan baru salah satunya adalah apomorfin sublingual yang merupakan agen erektogenik baru. Apomorfin adalah suatu molekul mirip dopamin yang bekerja pada reseptor dopamin pada paraventricular nucleus (PVN) di sistem saraf pusat untuk meningkatkan rangsangan erektil saat stimulasi seksual (imaginasi erotik, audiovisual dan perabaan) terjadi. Apomorfin sublingual terbukti efektif untuk mengatasi disfungsi ereksi, terutama disfungsi ereksi ringan dan sedang. Kata kunci: ereksi penis, apomorfin sublingual.
PERAN ESTROGEN PADA REMODELING TULANG Sihombing, Iknes; Wangko, Sunny; Kalangi, Sonny J.R.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1210

Abstract

Abstract: Bone tissues experience continual regeneration of their extracellular components by overhauling the old components. This process is called bone remodeling, which involves several kinds of bone cells. The most important bone cells related to the bone remodeling are osteoblasts, osteocytes, and osteoclats. The bone remodeling is influenced by estrogen. This hormone inhibits bone resorption, resulting in slowing down the osteoporosis process. This antiresorptive effect can be provided also by the estrogen action on osteoblasts, which indirectly influences osteoclast activities. Estrogen has been proved to slow down the decrease of bone mass and fracture risks in women with osteoporosis. Hormone replacement therapy, aimed at replacing estrogen deficiency, consists of phytoestrogen and progesteron; besides that, calcium and vitamine D are needed, too. Keywords: estrogen, bone remodeling, osteoblast, osteocyte, osteoclast.     Abstrak: Tulang merupakan jaringan yang terus menerus melakukan regenerasi komponen-komponen ekstrasel dengan cara menghancurkan komponen tulang yang sudah tua dan menggantikannya dengan yang baru. Proses ini disebut remodeling tulang, yang melibatkan kerja sel-sel tulang tertentu. Sel-sel dalam tulang yang terutama berhubungan dengan pembentukan dan resorpsi tulang ialah osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Remodeling tulang dipengaruhi oleh hormon estrogen. Hormon ini menekan resorpsi tulang sehingga dapat menghambat proses kerapuhan tulang. Efek antiresorptif tersebut dapat pula dihasilkan melalui kerjanya pada osteoblas, yang secara tidak langsung mempengaruhi aktivitas osteoklas. Estrogen terbukti dapat mengurangi laju penurunan massa tulang dan risiko fraktur pada wanita dengan osteoporosis. Terapi sulih hormon yang digunakan untuk mengganti defisisensi estrogen ialah fitoestrogen, progesteron, selain itu juga kalsium dan vitamin D. Kata kunci: estrogen, remodeling tulang, osteoblas, osteosit, osteoklas.
UKURAN LEBAR PANGGUL MAHASISWI KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI DENGAN TINGGI BADAN DIBAWAH 150 CM Simin, Nindi A.; Kalangi, Sonny J.R.; Wongkar, Djon
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1221

Abstract

Abstract: The female hip has a wider lower part which plays an important role in pregnancy and labour. The WHO (1999) reported that there were 180-200 million pregnancies per year with 585,000 deaths of pregnant women due to complications, inter alia a narrow hip. Females with heights of less than 150 cm have to be suspect of having narrow hips. This study aimed to find out whether female students in the Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi Manado with heights of less than 150 cm were suspected of having narrow hips. This was a descriptive study. Samples were 60 female students with distantia spinosum less than 24-26 cm and distantia tuberosum less than 10.5 cm. The results showed that there were 25 students with heights of 147.0-148.9 cm. The smallest distantia spinosum was 15.3 cm while the smallest distantia tuberosum was 8.3 cm. Conclusion: All female students with heights of less than 150 cm had distantia spinosum less than normal, but most of them still had normal distantia tuberosum. Keywords: female students, height, distantia spinosum, distantia tuberosum.  Abstrak: Bentuk panggul wanita mempunyai bagian bawah yang lebih luas untuk keperluan kehamilan dan persalinan. Dari data WHO 1999 terdapat 180-200 juta kehamilan setiap tahunnya dan 585 ribu kematian wanita hamil berkaitan dengan komplikasi salah satunya ialah panggul sempit. Wanita dengan tinggi badan kurang dari 150 cm dapat dicurigai adanya kesempitan panggul. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado dengan tinggi badan kurang dari 150 cm dapat dicurigai adanya kesempitan panggul. Penelitian ini merupakan studi deskriptif. Sampel didapatkan dari 60 subjek yang memenuhi kriteria dengan tinggi badan yang kurang dari 150 cm, ukuran distansia spinarum kurang dari 24-26 cm dan distansia tuberum kurang dari 10,5 cm. Penelitian ini menunjukkan bahwa tinggi badan terbanyak yaitu 147,0-148,9 cm berjumlah 25 subjek, ukuran distansia spinarum terkecil 15,3 cm dan distansia tuberum terkecil yaitu 8,3 cm. Simpulan: Karakteristik distansia spinarum 100% wanita dengan tinggi badan kurang dari 150 cm mempunyai ukuran panggul yang kurang dari normal dan distansia tuberum didapatkan sebagian besar wanita dengan tinggi badan kurang dari 150 cm mempunyai ukuran distansia tuberum yang normal. Kata kunci: mahasiswi, tinggi badan, distansia spinarum, distansia tuberum.
PERAN GLUKOSAMIN PADA OSTEOARTRITIS Utami, Pratiwi; Kalangi, Sonny J.R.; Pasiak, Taufiq
Jurnal Biomedik : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1202

Abstract

Abstract: Osteoarthritis is a degenerative disease and manifests itself as the most common type of arthritis affecting older people. This disease can cause significant pain and functional disability in the affected individuals. The therapy for osteoarthritis is easily available but the results are without certainty. Symptomatically therapeutic agents such as acetaminophen and NSAIDs are only beneficial for relieving the symptoms. Unfortunately, these agents can trigger severe side effects in some patients or may be contraindicated. Glucosamine has been evaluated in several studies as an agent to relieve pain, increase functional activity, and slow the progression of osteoarthritis, especially in the knees. Studies have reported some improvement in pain and disability in osteoarthritic patients related to the use of glucosamine. Based on the current evidence, a combination of glucosamine sulfate and chondroitin sulfate shows the greatest potential as a therapeutic intervention for patients who might risk side effects from other oral medications currently in vogue. However, research is still needed to explore the benefits of glucosamine or its combination forms in order to ensure safety for long-term use. Keywords: osteoarthritis, glucosamine, pain.     Abstrak: Osteoartritis merupakan penyakit degeneratif yang menyebabkan rasa nyeri dan cacat fungsional pada individu yang terkena dan umumnya mempengaruhi lanjut usia. Kemajuan dalam pengobatan osteoartritis relatif tersedia tetapi belum secara pasti untuk mengobatinya. Terapi andalan seperti asetaminofen dan obat NSAID hanya untuk mengobati gejala, tetapi dapat memicu efek samping yang parah pada pasien atau mungkin merupakan kontraindikasi. Beberapa studi mengemukakan glukosamin sebagai agen untuk menghilangkan rasa nyeri, meningkatkan aktivitas fungsional, dan memperlambat progresivitas osteoarthritis, terutama pada lutut. Juga telah dilaporkan perbaikan dalam rasa nyeri dan kecacatan yang terkait dengan penggunaan glukosamin baik sebagai agen tunggal maupun bentuk kombinasi glukosamin sulfat dengan kondroitin sulfat. Penggunaan produk kombinasi tersebut tampaknya memiliki potensi besar untuk pasien yang berisiko akibat efek samping terapi oral. Masih dibutuhkan penelitian lanjut mengenai manfaat dan kemanan glukosamin terutama pada pemakaian jangka panjang. Kata kunci: osteoartritis, glukosamin, nyeri.
MEKANISME KERJA SEL LANGERHANS SEBAGAI SEL PENYAJI ANTIGEN Rahim, Octaviana I. S.; Wangko, Sunny; Kalangi, Sonny J.R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 3, No 3 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.3.3.2011.870

Abstract

Abstract: Langerhans cell is a kind of dendritic cells that function as an antigen precenting cell. These cells are mostly found in the skin. Some studies suggested that these cells were originated from bone marrow. Langerhans cells can not be identified by using routine fixation or usual histology coloration, but by using a electron microscope or a histochemical analysis. Birbeck granules are special organelles which exist only in Langerhans cells. The important surface receptors of Langerhans cells belong to class II MHC , FcER, some integrins and adhesins. The mechanism of Langerhans cell is clearly seen in sensitisation phase of allergic contact dermatitis. In this case, these cells catch and process antigens of class II MHC so it can be presented to cell T. Besides processing antigens done by class II MHC, Langerhans cells have CD1 receptors that other dendritic cell don't have. CD1 molecule presents antigen in lipid form and exogen and endogen glikolipid. Key words: Langerhans cell, dendritic cell, antigen presenting cells.     Abstrak: Sel Langerhans merupakan salah satu jenis sel dendritik yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen. Sel ini terbanyak ditemukan di kulit. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa sel Langerhans berasal dari sumsum tulang. Sel Langerhans tidak dapat diidentifikasi dengan menggunakan fiksasi rutin atau pewarnaan histologi biasa, tapi harus dengan mikroskop elektron atau analisis histokimia. Granula Birbeck ialah organel khas yang hanya terdapat di sel Langerhans. Reseptor permukaan penting yang terdapat pada sel Langerhans yaitu MHC kelas II, FceR dan beberapa integrin serta adhesin.  Mekanisme kerja sel Langerhans terlihat jelas pada fase sensitisasi dermatitis kontak alergi yaitu dengan menangkap antigen dan memrosesnya dengan MHC kelas II sehingga dapat disajikan kepada sel T. Selain pemrosesan antigen dilakukan oleh MHC kelas II, sel Langerhans memiliki reseptor CD1 yang tidak dimiliki oleh jenis sel dendritik lainnya. Molekul CD1 menyajikan antigen dalam bentuk lipid dan glikolipid baik yang eksogen maupun endogen. Kata kunci: sel Langerhans, sel dendritik, sel penyaji.