Bondan Irtani Cahyadi
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Unversitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi Bondan Irtani Cahyadi; Hariyo Satoto; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.524 KB) | DOI: 10.14710/jai.v7i2.9820

Abstract

Latar belakang : Manajemen nyeri pasca kraniotomi sangat penting karena 60-84% pasien pasca kraniotomi merasakan nyeri sedang hingga berat. Rasa nyeri ini ditransmisikan olehserabutsaraf C yang melibatkan neuropeptida substansi P (SP). Pemberian analgetik golongan opioid memiliki efek samping seperti alergi, gangguan gastrointestinal, mual, muntah, hipotensi, depresi nafas maupun retensi urin. Paracetamol memiliki efek yang mengurangi kebutuhan analgesia opioid, dan menghambat hiperalgesia yang dimediasi oleh SP.Tujuan : Mengetahui efek pemberian parasetamol intravena perioperatif terhadap kadar SP serum pasca kraniotomi.Metode : Empat puluh responden berusia 18-45 tahun akan menjalani kraniotomi reseksi tumor intraserebral elektif, ASA I-II, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok P diberikan paracetamol 1000 mg intravena per 6 jam selama 24 jam pasca operasi, kelompok K mendapat plasebo. Analgetik pasca operasi menggunakan morfin syringe pump 0,01 mg/kg/jam titrasi sesuai VAS.  Level SP serum diperiksa menggunakan Cusabio SP ELISA kit sebelum operasi dan 12 jam setelah operasi. VAS dinilai pada jam 1, 6, 12, dan 24 jam pasca operasi. Jumlah total pemakaian morfin dalam 24 jam dan efek mual muntah dicatat.Hasil : Kadar SP pra operasi pada kelompok P 16,89± 31,395 pg/ml dan pasca operasi 36,58 ± 46,960 pg/ml. Level SP pra operasi kelompok K 9,58 ± 10,656 pg/ml dan pasca operasi 26,09 ± 22,506 pg/ml. Peningkatan kadar SP pasca operasi kelompok P sebesar 19,69± 28,625 pg/ml, sedangkan kelompok K 16,51 ± 14,972 pg/ml. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar SP dan  peningkatannya pada kedua kelompok penelitian (p=0,793 dan p=0,540), sedangkan nilai  VAS dan jumlah morfin yang diberikan berbeda bermakna (p<0,05).Simpulan : Pemberian parasetamol intravena perioperatif pada pasien kraniotomi mengurangi kebutuhan morfin dan nilai VAS lebih baik, namun tidak mempengaruhi kadar SP pasca operasi. 
Preoksigenasi pada Anestesi Umum Faizal Rahmat Malawat; Bondan Irtani Cahyadi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 10, No 2 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (970.113 KB) | DOI: 10.14710/jai.v10i2.22324

Abstract

Latar Belakang: Pemantauan saturasi hemoglobin selama tatalaksana jalan napas penting untuk keselamatan pasien. Desaturasi di bawah 70% menghantarkan  pasien pada risiko mengalami disritmia, dekompensasi hemodinamik, kerusakan otak akibat hipoksia dan kematian. Tantangan untuk dokter emergensi adalah dapat melakukan intubasi endotrakeal secara cepat tanpa hipoksia atau aspirasi. Preoksigenasi dengan 100% oksigen sebelum induksi anestesi, merupakan manuver yang diterima secara luas yang dapat meningkatkan penyimpanan oksigen tubuh, sehingga menunda onset desaturasi selama periode apnea setelah induksi anestesi dan muscle relaksan.Tujuan: Tujuan preoksigenasi adalah mengganti nitrogen di FRC dengan oksigen; yang disebut proses denitrogenasi. Hal ini memiliki dampak pada penyimpanan oksigen tubuh dan meningkatkan toleransi terhadap apneu secara substansial. Preoksigenasi efektif menghasilkan batas aman untuk intubasi darurat dan memperpanjang durasi dari apnea tanpa desaturasi.Metode: Preoksigenasi di dalam kamar operasi biasanya menggunakan sirkuit yang terpasang pada mesin anestesi, yang akan memberikan FiO2 yang tinggi. Kemudian, keberhasilan dari preoksigenasi dapat terus dinilai dengan memperkirakan derajat denitrogenasi menggunakan penganalisa gas untuk menentukan konsentrasi fraksi oksigen yang dihembuskan (FeO2). Untuk operasi pasien dengan risiko aspirasi yang tinggi, anestesi mengembangkan induksi dengan sekuens cepat dengan cara pemberian sedatif dan paralitik tanpa ventilasi secara simultan sembari menunggu paralitik berefek, sehingga dapat mengurangi risiko aspirasi. Posisi supine tidak ideal untuk mencapai preoksigenasi optimal, karena menjadi lebih sulit untuk mengambil napas penuh dan lebih banyak bagian paru posterior yang menjadi prone sampai kolaps. Sebaliknya posisi trendelenburg akan meningkatkan preoksigenasi dan mungkin berguna pada pasien yang diimobilisasi karena kemungkinan spinal injury.Simpulan: Dalam keadaan apneu, faktor yang memiliki efek terbesar pada waktu tercapainya hipoksia kritis adalah FRC, konsentrasi oksigen alveoli, dan kecepatan metabolisme. Konsentrasi hemoglobin dan derajat shunting sirkulasi kurang penting dibandingkan faktor-faktor diatas. Ahli anestesi dapat menghindari hipoksia dengan preoksigenasi. Sampai kontrol definitif jalan napas dapat dicapai, ahli anestesi dapat memberikan oksigen 100% sehingga memungkinkan masuknya oksigen ke paru dan membantu mencegah terjadinya hipoksia.