Heru Dwi Jatmiko
Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi Bondan Irtani Cahyadi; Hariyo Satoto; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.524 KB) | DOI: 10.14710/jai.v7i2.9820

Abstract

Latar belakang : Manajemen nyeri pasca kraniotomi sangat penting karena 60-84% pasien pasca kraniotomi merasakan nyeri sedang hingga berat. Rasa nyeri ini ditransmisikan olehserabutsaraf C yang melibatkan neuropeptida substansi P (SP). Pemberian analgetik golongan opioid memiliki efek samping seperti alergi, gangguan gastrointestinal, mual, muntah, hipotensi, depresi nafas maupun retensi urin. Paracetamol memiliki efek yang mengurangi kebutuhan analgesia opioid, dan menghambat hiperalgesia yang dimediasi oleh SP.Tujuan : Mengetahui efek pemberian parasetamol intravena perioperatif terhadap kadar SP serum pasca kraniotomi.Metode : Empat puluh responden berusia 18-45 tahun akan menjalani kraniotomi reseksi tumor intraserebral elektif, ASA I-II, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok P diberikan paracetamol 1000 mg intravena per 6 jam selama 24 jam pasca operasi, kelompok K mendapat plasebo. Analgetik pasca operasi menggunakan morfin syringe pump 0,01 mg/kg/jam titrasi sesuai VAS.  Level SP serum diperiksa menggunakan Cusabio SP ELISA kit sebelum operasi dan 12 jam setelah operasi. VAS dinilai pada jam 1, 6, 12, dan 24 jam pasca operasi. Jumlah total pemakaian morfin dalam 24 jam dan efek mual muntah dicatat.Hasil : Kadar SP pra operasi pada kelompok P 16,89± 31,395 pg/ml dan pasca operasi 36,58 ± 46,960 pg/ml. Level SP pra operasi kelompok K 9,58 ± 10,656 pg/ml dan pasca operasi 26,09 ± 22,506 pg/ml. Peningkatan kadar SP pasca operasi kelompok P sebesar 19,69± 28,625 pg/ml, sedangkan kelompok K 16,51 ± 14,972 pg/ml. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar SP dan  peningkatannya pada kedua kelompok penelitian (p=0,793 dan p=0,540), sedangkan nilai  VAS dan jumlah morfin yang diberikan berbeda bermakna (p<0,05).Simpulan : Pemberian parasetamol intravena perioperatif pada pasien kraniotomi mengurangi kebutuhan morfin dan nilai VAS lebih baik, namun tidak mempengaruhi kadar SP pasca operasi. 
Hubungan Cardiopulmonary Bypass dengan Jumlah Neutrofil Polimorfonuklear Pada Pasien Yang Menjalani Coronary Artery Bypass Grafting Yanuar Kushendarto; Widya Istanto Nurcahyo; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 1, No 3 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v1i3.6561

Abstract

Latar Belakang: Angka kejadian dan angka mortalitas penyakit jantung iskemik (Ischaemic Heart Disease/ IHD) masih cukup tinggi yaitu sekitar 68 tiap 1000 penduduk atau sekitar 6,8% dan jumlah penduduk. Pengobatan IHD bertujuan untuk revaskularisasi pembuluh darah yang tersumbat dapat menggunakan teknik farmakologik atau operatif (Percutaneous Coronary Intervention/ PCI atau Coronary Artery Bypass Graft/ CABG). Tindakan CABG dapat menggunakan mesin cardio pulmonary bypass (CPB)/ On-Pump Coronary Artery Bypass atau tanpa menggunakan mesin CPB / Off-Pump Coronary Artery Bypass (OPCAB). Kejadian disfungsi organ pada pasien yang menjalani operasi CABG dengan mesin CPB dihubungkan dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome yang diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain faktor tindakan operasi dan faktor mesin CPB tersebut. Tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh lamanya waktu Cardio Pulmonary Bypass pada operasi Coronary Artery Bypass Graft terhadap pola jumlah neutrofil p olimorfonuklear darah tepi, dapat merupakan suatu penanda respon inflamasi yang dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi.Metode: Pasien yang akan menjalani operasi CABG diambil sampel darah untuk diperiksa gambaran neutrofil PMN pada pra torakotomi, post torakotomi, menit ke 15 dan menit ke 30 sete Fah pemasangan mesin CPB.Hasil: Uji beda jumlah neutrofil ditemukan perbedaan bermakna jumlah neutrofil pada menit ke (pra torakotomi) dengan post torakotomi, menit ke 15 dan menit ke 30 CPB (p < 0,05). Uji beda jµga ditemukan perbedaan bermakna pada jumlah neutrofil post torakotomi dengan menit ke 30 CPB (p < 0,05) dan menit ke 15 CPB dan menit ke 30 CPB (p < 0,05). Tetapi tidak ditemukan perbedaan bermakna jumlah neutrofil post torakotomi dengan menit ke 15 CPB (p 0,05).Simpulan: Terdapat peningkatan jumlah neutrofil pada pasien yang menjalani CABG menggunakan CPB.  
Granisetron, Kombinasi Metoklopramid dan Deksametason Terhadap Mual Muntah Paska Laparatomi I Nyoman Panji; Heru Dwi Jatmiko; Aria Dian Primatika
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i3.6456

Abstract

Backgroud: Post-operative Nausea and Vomitus (PONV) is commonly unsatisfy experienced by patient after surgical procedures with general anesthesia. Laparatomy is one among high risk groups for PONV.Objective: The aim of this study to compare the efficacy between granisetron 1 mg and combination metoclopramide 10 mg and dexamethasone 8 mg in preventing PONV after laparatomy.Methods: This research was a clinical trial stage 1 in 48 patients undergoing laparatomy surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6 hours fasting period before induction of anesthesia. Patient randomly divided in to two group. Group I treatme nt with granisetron that given 30 to 60 minutes before end operation. Group II treatment with metoclopramide 10 mg and dexamethasone 8 mg, that dexamethasone given before induction of anesthesia and metoclopramide administration 30 to 60 minutes before end operation. All patient were observe the nausea and vomiting 24 hours post operative.Results: There was no significant difference for patient characterictics data distribution between two group before treatment. There was no significant difference to decr ease nausea and vomiting after laparatomy between two groups. Patient who had received intravenous 1 mg granisetron incidence nausea-vomiting was 83,3 % while patient who had received the combination 10 mg metoklopramid and 8 mg dexamethasone incidence nau sea—vomiting was 75%.Conclusion: There was no antiemetics which fully effective to exceed post operative nausea and vomitus. Combination 10 mg metoclopramide and 8 mg dexamethasone has similar effect like 1 mg granisetron on prevent Post -operative Nausea and Vomitus but higher adverse effects.Keywords : nausea, vomiting, granisetron, metoclopramide, dexamethasone, laparatomyABSTRAKTujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas antara granisetron 1 mg dan kombinasi metoklopramid 10 mg dengan deksametason 8 mg dalam mencegah mual muntah paska laparatomi. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian tahap I pada 48 penderita yang menjalani laparatomi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 6 jam sebelum dilakukan induksi anestesi. Pasien secara random dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I diberikan granisetron 30 sampai 60 menit sebelum operasi selesai. Dan kelompok II diberikan deksametason sebelum induksi anestesi dan metoklopramid 30 sampai 60 menit sebelum operasi selesai. Semua pasien diamati kejadian mual muntah paska operasi selama 24 jam.Hasil: Didapatkan perbedaan tidak bermakna pada distribusi karakteristik pasien antara kedua kelompok sebelum perlakuan. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna kejadian mual muntah paska laparatomi pada kedua kelompok. Dimana pasien yang diberikan granisetron 1 mg didapatkan kejadian mual muntah sebesar 83,3 % sedangkan pasien yang diberikan kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg didapatkan angka kejadian mual muntah sebesar 75%.Simpulan: Tidak ada antiemetik yang mampu sepenuhnya mencegah mual muntah paska operasi. Pemberian kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg mampu mengurangi resiko mual muntah paska operasi yang hampir sama efektifnya dengan granisetron 1 mg dengan efek samping lebih banyak.Kata kunci : mual, muntah, granisetron, metoklopramid, deksametason, laparatomi
Anestesi pada Mediastinoskopi Satrio Adi Wicaksono; Hari Hendriarto; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1043.93 KB) | DOI: 10.14710/jai.v2i1.6472

Abstract

Mediastinoscopy adalah prosedur bedah toraks yang dilakukan dengan mediastinoscope untuk memeriksa mediastinum yang merupakan ruang dalam rongga toraks antara paru-paru untuk berbagai indikasi. Dari sudut pandang anestesi, mediastinoscopy menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena berdiameter besar (ukuran 14 sampai 16) diperlukan karena risiko perdarahan yang berlebihan dan kesulitan mengendalikan perdarahan. Dalam ulasan ini kami akan menjelaskan manajemen anestesi pada pasien yang menjalani mediastinoscopy. 
Pengaruh Simvastatin Terhadap Kadar Nitric Oxide Makrofag Mencit Balb/C yang Diberi Lipopolisakarida Taufik Eko Nugroho; Mohamad Sofyan Harahap; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (661.006 KB) | DOI: 10.14710/jai.v4i3.6420

Abstract

Latar belakang: Nitric oxide (NO) berperan dalam patogenesis terjadinya hipotensi sistemik pada syok septik. Pajanan endotoksin akan menyebabkan peningkatan pelepasan NO yang dipengaruhi oleh aktivasi sitokin proinflamasi. Simvastatin diduga menekan produksi sitokin proinflamasi akibat pajanan lipopolisakarida (LPS),  sehingga pembentukan NO dapat dihambat.Tujuan: Membuktikan pengaruh pemberian simvastatin dosis 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg peroral dapat menyebabkan kadar NO mencit yang diberi lipopolisakarida intraperitoneal menjadi lebih rendah.Metode: Penelitian eksperimental laboratorik dengan desain randomized post test only controlled group pada 20 ekor mencit Balb/c yang disuntik lipoplisakarida intraperitoneal dan simvastatin dosis 0,03 mg; 0,06 mg dan 0,12 mg peroral. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok secara random, yaitu K1 sebagai kontrol, K2 yang mendapat simvastatin 0,03 mg, K3 yang mendapat simvastatin 0,06 mg, dan K4 yang mendapat simvastatin 0,12 mg. Pemeriksaan NO diambil dari kultur makrofag intraperitoneal setelah 6 jam pemberian simvastatin dengan metode Griess. Uji statistik yang digunakan adalah parametrik ANOVA dan dilanjutkan uji Posteriori.Hasil: Kadar rerata NO pada kelompok K1(0,680±0,116), K2(0,313±0,136), K3 (0,109±0,005) dan K4(0,091±0,011). Terdapat penurunan yang bermakna kadar NO pada kelompok K2, K3 dan K4 dibanding K1 dengan p <0,05. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar NO kelompok K2 dengan kelompok K3 dan K4, serta kelompok K3 dibanding K4 (p > 0,05).Simpulan: Simvastatin secara bermakna dapat menyebabkan kadar NO makrofag intraperitoneal mencit yang diinduksi lipopolisakarida menjadi lebih rendah.
Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran Rosa Afriani; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i1.6468

Abstract

Latar Belakang: Setiap penderita yang mengalami pembedahan sebaiknya diberikan penanganan nyeri yang sempurna. Obat antiinflamasi non steroid ketorolak 30 mg memberikan efek analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg dan tidak menimbulkan efek samping depresi respirasi. Ketorolak bekerja secara non selektif menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostaglandin yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjai dan filtrasi giomerulus. Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi giomerulus pada anestesi isofluran.Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind randomized controlled trial Sampel 48 pasien, dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok K1: diberikan ketorolak 30 mg (1 ml) intravena 1 jam sebelum operasi selesai, dan kelompok K2: diberikan cairan salin 1 ml intravena 1 jam sebelum operasi selesai. Serum kreatinin di periksa sebelum perlakuan dan 6 jam setelah operasi selesai.Hasil : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna pada kelompok ketorolak dan plasebo.Simpulan : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo, dengan menggunakan agen inhalasi isofluran.
Penilaian Praoperasi Bedah Jantung Donni Indra Kusuma; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 10, No 3 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1009.42 KB) | DOI: 10.14710/jai.v10i3.22428

Abstract

Meskipun perkembangan ilmu kedokteran mengenai patofisiologi penyakit kardiovaskular sudah berkembang, namun penyakit ini tetap menjadi penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia. Bedah jantung menawarkan potensi yang cukup menguntungkan bagi sebagian besar pasien. Berbagai macam cara dilakukan untuk mengoptimalkan hasil dari bedah jantung dan menurunkan tingkat mortalitas pascaoperasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah penilaian praoperasi pasien sebelum melakukan bedah jantung. Penilaian praoperasi pasien yang akan dilakukan operasi jantung meliputi empat hal utama, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan kardiologi.Penilaian risiko diperlukan oleh dokter anestesi untuk menilai faktor-faktor risiko yang dimiliki pasien dan bagaimana pengaruhnya dengan tingkat mortalitas pasien apabila dilakukan operasi jantung. Sistem penilaian yang sering digunakan antara lain indeks risiko jantung praoperasi dari Detsky, sistem penilaian European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE), dan Cardiac Anaesthesia Risk Evaluation Score (CARE). American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA) menyusun sebuah algoritme mengenai pendekatan dalam pemeriksaan jantung praoperasi. Algoritme ini membantu dokter dalam memberikan informed consent dan sebagai panduan dalam manajemen perioperatif untuk meminimalkan risiko.
Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik Serta Waktu Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat Premedikasi Midazolam Intravena Eva Susana Putri; Uripno Budiono; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i1.6469

Abstract

Latar belakang: Premedikasi midazolam rutin diberikan pada anestesi spinal karena sangat bermanfaat untuk memberikan efek sedasi, amnesia, menghilangkan kecemasan. Premedikasi midazolam untuk pasien section caesaria masih kontroversial karena ditakutkan terjadinya depresi napas neonatus. Hal ini karena informasi farmakologi transplasenta masih langka. Pada penelitian sebelumnya menyatakan dosis 0,02mg/kgbb iv aman bagi bayi. Penelitian ini bermaksud menambah informasi mengenai studi farmakokinetika yaitu menganalisis hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan kondisi fisik dan lamanya persalinan.Tujuan: Membuktikan adanya hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan kondisi fisik serta waktu persalinan.Metode: Ruang lingkup penelitian adalah Anestesiologi dan Farmakologi. Sample sebanyak 15 orang yang telah melalui kriteria inklusi dan eklusi Pasien diberi premedikasi midazolam dosis 0,02 mg/kgbb iv sesaat sebelum dilakukan anestesi spinal (± 2 menit). Setelah bayi lahir dipotong tali pusat, maka diambil arah vena maternal dan diambil sampel darah vena umbilikali Kadar midazolam plasma diukur menggunakan HPLC. Analisa statistik korelasi dengan pearson.Hasil: Usia ibu mempunyai hubungan bermakna positif dengan kadar midazolam plasma ibu (r=0,932 ; =0,000) dan bayi (r=0,578 ; =0,024). Usia kehamilan mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= -0,648 ; = -0,009). Berat badan bayi mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma bayi (r= -0,954 ; =0,000). Waktu persalinan mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= - 0,760 ; =0,001) maupun bayi (r= -0,558 ; = -0,031).Kesimpulan: Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik serta waktu persalinan.
Etomidat Menurunkan Kadar Gula Darah Pasca Induksi Anestesi Oddi Riffayadi; Heru Dwi Jatmiko; Himawan Sasongko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i2.6443

Abstract

Latar belakang: Kekhawatiran etomidat menyebabkan hipoglikemi menjadi masalah. Onset aksi cepat, profil kardiovaskuler rendah dan kurang signifikan menyebabkan penurunan tekanan darah membuat etomidat menjadi pilihan obat anestesi induksi yang cukup baik.Tujuan: membuktikan pengaruh pemberian etomidat dalam menyebabkan penurunan kadar gula darah. Metode: merupakan penelitian pretest postest controlled design pada 40 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum, dibagi menjadi dua kelompok (n=20), kelompok1,etomidat 0,2 mg/kg ( E2) dan kelompok 2, 0, 4 mg/ kg ( E4). Masing- masing kelompok diperiksa kadar gula darah sebelum 2 jam dan 6 jam sesudah induksi. Uji statistik pair T-test dan Wilcoxon rank sum test terhadap E2 dan E4. Hasil: pada E2 terdapat perbedaan bermakna P= 0,05 antara sebelum dan 2 jam sesudah perlakuan 106, 95 ± 15, 453 mg/dl – 96, 40 ± 14, 966 mg/ dl ; 2 jam dan 6 jam sesudah perlakuan P= 0, 016 ; 96, 40 ±14, 966 mg/dl – 108, 85 ± 27, 238 mg/dl. Sedangkan pada E4 terdapat perbedaan bermakna P= 0, 041 baik sebelum dan 2 jam sesudah 102,60n± `12, 696 mg/dl – 99, 35 ± 15, 938 mg/dl ; sebelum dan 6 jam sesudah perlakuan P= 0, 041; 99, 35 ± 15, 938 mg/dl – 98, 25 ±± 19, 878 mg/dl. Tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna antara E2 dan E4 dalam menyebabkan penurunan kadar gula darah baik 2 jam P= 0, 550 ; 96, 40 ± 14, 966 mg/ dl- 99, 35 ± 15, 938 mg/ dl, maupun sesudah 6 jam pemberian P= 0, 104 ; 108, 85 ± 27, 238 mg/ dl – 98, 25 ± 19, 878 mg/dl. Secara statistik etomidat menurunkan kadar gula darah baik pada E2 maupun pada E4 tetapi masih dalam batas normal atau secara klinik tidak bermakna. Kesimpulan: etomidat 0, 2 mg/dl (E2) dan 0, 2 mg/ dl (E4) secara statistik bermakna menurunkan kadar gula darah pada 2 jam dan 6 jam sesudah induksi
Perbandingan Efek Sevofluran dan Isofluran Terhadap Jumlah Neutrofil Polimorfonuklear Perifer Bob Firman; Heru Dwi Jatmiko
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 1, No 3 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v1i3.6560

Abstract

Latar belakang: Neutrofil polimorfonuklear berperan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi bakteri. Pada jaringan luka, neutrofil aktif menghancurkan kuman dalam beberapa tingkat, yaitu kemotaksis, adhesi endotel, menangkap, fagosit, dan membunuh. Jumlah polimorf yang menurun sering disertai dengan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Agen anestesi inhalasi seperti sevofluran dan isofluran diketahui dapat menyebabkan dinamisasi jumlah neutrofil dalam sirkulasiTujuan: Membandingkan pengaruh anestesi dengan sevofluran dan isofluran terhadap jumlah neutrofil polimorfonuklear.Metode: Penelitian ini dirancang sebagai uji klinis acak tersamar ganda terhadap 36 orang pasien yang menjalani operasi elektif di RS Dr. Kariadi Semarang, dengan umur16- 2 55 tahun, IMT 20-25 kg/m , lama operasi 1-3 jam, dan ASA I. Sampel darah dari kedua kelompok diambil sebelum anestesi, menit 15, menit 60, dan setelah sadar. Jumlah leukosit dan neutrofil dihitung. Tekanan darah dan laju jantung dicatat. Uji statistik menggunakan Chi square dan t test dengan derajat kemaknaan p<0,05.Hasil: Karakteristik subyek penelitian menunjukkan hubungan yang tidak bermakna.Variabel tekanan darah, laju jantung, dan lama operasi jµga tidak bermakna. Jumlah leukosit pada masing -masing kelompok tidak berbeda, begitu jµga perbandingannya antar kedua kelompok. Jumlah neutrofil pada kelompok sevofluran menurun secara bermakna pada menit ke 15 dan menit ke 60, tetapi tidak demikian pada saat sadar.Pada kelompok isofluran jumlah neutrofil tidak berbeda bermakna. Pada uji beda antara kedua kelompok, terdapat perbedaan yang signifikan jumlah neutrofil pada menit ke 60.Simpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna pengaruh sevofluran dan isofluran terhadap jumlah neutrofil polimorfonuklear, yaitu pada menit ke 60.