Johan Arifin
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

The Comparison Of The Effect Of Etomidate And Propofol On Serum Cortisol Level Yusmalinda Yusmalinda; Johan Arifin; Doso Sutiyono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 3 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i3.6441

Abstract

Background: The choose of anesthetic agent not only based on primary effect as an ideal anesthetic for surgical procedure, but also took attention for their effect to various organ system. Etomidate is known as an ideal anesthetic agent because its hemodynamic stability, minimally respiratory effect and neuroprotection properties, but become not popular as it suppress cortisol synthesis although it significant clinical effect remain controversy.Purpose: To analyze the different effect etomidate and propofol on serum cortisol concentration in patient underwent elective surgery in general anesthesia.Method: This double blind, Randomized Controlled Trial with 34 subjects which divided into two groups (n=17), control group and treatment group which received either intravenous propofol 2,5mg/kgBW or etomidate 0,2mg/kgBW pre-operation respectively. Each group was then examined for serum cortisol concentration pre-anesthesia, 2 hours post induction, and 8 hours post induction. Wilcoxon Signed Rank Test and Paired T Test were performed to compare cortisol serum concentration in each group. Mann Whitney and Independent Sample T Test were used to compare between control and treatment group.Results: There were significant different of cortisol serum level between pre-anesthesia and 2 post induction in etomidate group [244,15(181,39-382,75)] vs [195,07(119,96-236,35)]. It showed that decrement of etomidate dosage into 0,2mg/kgBW still decrease cortisol serum production significantly from 2 to 8 hours. It proved that propofol did not decrease cortical synthesis. Compared with propofol, etomidate significantly suppress serum cortisol level at 2 hours post induction.Conclusion: Etomidate 0,2mg/kgBW decrease serum cortisol concentration at 2 hours post induction, but return to its normal level at 8 hours post induction. Propofol 2,5mg/kgBB did not decrease serum cortisol concentration.Keywords : Etomidate, Propofol, General anesthesia, CortisolABSTRAKLatar belakang penelitian: Pemilihan suatu obat anestesi tidak hanya didasarkan pada efek utamanya sebagai anestesi yang ideal untuk suatu prosedur pembedahan, melainkan turut pula mempertimbangkan efeknya terhadap berbagai sistem organ. Etomidat diketahui memiliki sifat obat anestesi yang ideal baik dari segi hemodinamik, respirasi, maupun neuroproteksi, akan tetapi menjadi kurang populer akibat efeknya terhadap fungsi adrenal meski konsekuensi klinis nyata dari efek hambatan ini masih kontroversi.Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan pengaruh pemberian etomidat 0,2mg/kgBB intravena dan propofol 2,5mg/kgBB intravena terhadap penurunan kadar kortisol serum.Metode: Merupakan penelitian Randomized Clinical Control Trial pada 34 pasien yang menjalani anestesi umum, dibagi menjadi 2 kelompok (n=17), etomidat dan propofol. Masing-masing kelompok diperiksa kadar kortisol serum sebelum induksi, 2 dan 8 jam setelah induksi. Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar kortisol di masing- masing kelompok. Sedangkan uji statistik Mann Whitney U Test dan Independent Sample T-Test digunakan untuk membandingkan antar kelompok perlakuan.Hasil: Terdapat perbedaan bermakna kadar kortisol sebelum dan 2 jam pasca induksi pada kelompok etomidat (mean 244,15 vs 195,07), tetapi tidak pada 8 jam pasca induksi. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan dosis etomidat sampai 0,2mg/kgBB masih menurunkan kadar kortisol secara signifikan sampai < 8 jam pasca induksi. Pada kelompok propofol terdapat peningkatan bermakna kadar kortisol 2 jam pasca induksi (p=0,013). Hal ini membuktikan bahwa propofol tidak memiliki efek menurunkan síntesis kortisol.Kesimpulan: Pemberian etomidat 0,2mg/kgBB menurunkan síntesis kortisol pada 2 jam pasca induksi namun kembali normal 8 jam pasca induks i. Pemberian propofol 2,5 mg/kgBB tidak menyebabkan penurunan kadar kortisol serum.
Ventilasi Satu Paru Aditya Kisara; Hari Hendriarto Satoto; Johan Arifin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i3.6459

Abstract

Ventilasi satu paru adalah memberikan ventilasi mekanik pada salah satu paru yang dipilih dan menghalangi jalan napas dari paru lainnya. Ventilasi satu paru diindikasikan untuk meningkatkan akses bedah, melindungi paru dan perawatan intensif ventilasi. Selama ventilasi satu paru, percampuran darah yang tidak teroksigenasi dari paru atas yang kolaps dengan darah teroksigenasi dari paru dependen yang terventilasi memperlebar gradien O2 PA-a. Penelitian secara in vitro memperlihatkan bahwa agen anestesi inhalasi secara langsung mereduksi aksi dari hypoxic pulmonar vasocontriction dan secara teori menyebabkan meningkatnya aliran darah ke paru yang tidak terventilasi sehingga meningkatkan shunt pulmoner dan akhirnya PaO2 menjadi turun dan sering menyebabkan hipoksemi. Tiga teknik yang dilakukan: (1) penempatan sebuah tabung bronkial lumen ganda, (2) penggunaan tabung trakeal lumen tunggal pada penghubungnya dengan penghambat bronkial, atau (3) penggunaan lumen tunggal tabung bronkial. Volume tidal yang tinggi digunakan untuk mempertahankan oksigenasi arteri Penurunan volume tidal, dikombinasi dengan penggunaan akhir ekspirasi tekanan positif (PEEP), dapat meminimalkan terjadinya cedera parenkim.
Efektifitas Magnesium Sulfat Sebagai Pencegahan Mengigil Pasca Anestesi Anna Ratnawati; Johan Arifin; Witjaksono Witjaksono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 3 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i3.6438

Abstract

Latar Belakang: Menggigil (shivering) merupakan masalah yang sering dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat induksi anestesi, suhu lingkungan dan pembedahan dapat menyebabkan menggigil.Tujuan: Membandingkan efektifitas magnesium sulfat 30mg/kgBB intravena dengan meperidin 0,5mg/kgBB intravena sebagai kontrol dalam mencegah mengigil pasca anestesi umum.Metode: Penelitian menggunakan randomized double blind controlled trial pada 20 pasien yang menjalani anestesi umum. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n=10), kelompok A menggunakan meperidin 0,5mg/kgBB intravena dan kelompok B menggunakan magnesium sulfat 30mg/kgBB intravena. Masing – masing kelompok diambil darah sebelum dan sesudah ekstubasi, untuk dilakukan pemeriksaan kadar kalsium dan magnesium. Saat berada di ruang pemulihan pasien di observasi adanya kejadian menggigil. Uji statistik menggunakan Chi-Square, Man-Whitney Test dan independent sample T-test (dengan derajat kemaknaan p<0,05).Hasil: Penelitian ini didapatkan kejadian menggigil pada kelompok meperidin 1 dari 10 pasien dan pada kelompok magnesium sulfat 2 dari 10 pasien (p=1,00). Penurunan kadar kalsium setelah operasi pada kelompok magnesium sulfat (0,048±0,2212) berbeda tidak bermakna (p=0,366) dibandingkan dengan kelompok meperidin (0,135±0,1973), sedangkan kadar magnesium terjadi peningkatan pada kelompok magnesium sulfat (0,434±0,4103) dan menurun pada kelompok meperidin (0,119±0,1180), berbeda bermakna (p=0,003).Simpulan: Kejadian menggigil pasca pembedahan dengan anestesi umum pada pasien yang mendapat magnesium sulfat 30mg/kgBB iv tidak berbeda dengan yang mendapat meperidin 0,5mg/kgBB iv.
Perbedaan Jumlah Bakteri Orofaring Pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan Chlorhexidine Dan Povidone Iodine Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik Mochamat Helmi; Johan Arifin; Jati Listiyanto Pujo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v4i1.6433

Abstract

Latar belakang: Antiseptik oral hygiene merupakan salah satu cara yang dapat menurunkan insiden ventilator associated pneumonia (VAP). Chlorhexidine dan povidone iodine merupakan antiseptik yang mampu menurunkan jumlah bakteri pada proses dekontaminasi orofaring.Tujuan: Untuk mengetahui adanya perbedaan penurunan jumlah bakteri orofaring pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0.2% dan povidone iodine 1% pada penderita dengan ventilator mekanik.Metode : Merupakan penelitian Randomized clinical control trial pada 30 penderita dengan ventilator mekanik. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n=15), kelompok 1 menggunakan chlorhexidine 0,2% dan kelompok 2 menggunakan povidone iodine 1%. Masing-masing kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok diambil sekret dari orofaring sebelum dan setelah perlakuan, untuk kemudian dilakukan pemeriksaan hitung jumlah dan jenis bakteri orofaring. Uji statistik menggunakan paired ttest, Wilcoxon, dan Mann Whitney (dengan derjat kemaknaan < 0,05).Hasil : Pada penelitian ini didapatkan penurunan jumlah bakteri orofaring pada kelompok chlorhexidine sebesar 140±76,625 (berbeda bermakna, p=0,000) sedangkan pada kelompok povidone iodine sebesar 100,80±97,209 (berbeda bermakna, /p=0,008). Sedangkan pada uji selisih komparatif kedua kelompok didapatkan hasil berbeda tidak bermakna(p=0,234).Kesimpulan : Penurunan jumlah bakteri orofaring pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1%.
Pengelolaan Cairan Pediatrik Aditya Kisara; Hariyo Satoto; Johan Arifin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i2.6465

Abstract

Pemberian cairan pada anak berbeda dengan pemberian cairan pada dewasa. fisiologi dari cairan tubuh, ginjal dan kardiovaskuler yang berbeda dari orang dewasa mempengaruhi jenis cairan yang diberikan pada anak. Untuk memudahkan menghitug jumlah kebutuhan cairan rumatan pada anak dapat digunakan rumus dari Holliday dan Segar. Kebutuhan cairan rumatan harus ditambah pada anak dengan demam keringat yang banyak dan status hipermetabolik. Pada anak yang akan mejalani operasi, perlu diberikan cairan pengganti puasa. Semua cairan yang hilang selama operasi harus diganti dengan cairan isotonik kristaloid, koloid atau produk darah.