Endang Sari Wahyuni
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Dari Orang Belanda Sampai Elit Bumiputera: Kajian Sejarah Freemasonry di Kota Cirebon 1900-1942 Asep Ahmad Hidayat; Faizal Arifin; Tia Ruli Dais; Endang Sari Wahyuni
AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA Vol 10, No 2 (2020)
Publisher : UNIVERITAS PGRI MADIUN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25273/ajsp.v10i2.5402

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi penemuan keramik bersimbol Freemasonry pada makam Sunan Gunung Jati. Sebagai sebuah gerakan yang menentang doktrin keagamaan, Freemasonry seringkali berkonfrontasi dengan kelompok-kelompok agama namun simbol Freemasonry ditemukan di makam tokoh besar penyebar Islam yang berada di Cirebon, kota para wali. Sehingga diperlukan kajian historis untuk mengetahui perkembangan Freemasonry sebagai organisasi rahasia pada masa Hindia Belanda dan bagaimana gerakan tersebut diorganisasikan sampai ke seluruh kota-kota yang dikuasai Belanda dan diharapkan membendung potensi perlawanan dari pusat penyebaran Islam tertua di Jawa yaitu Cirebon. Freemasonry adalah perkumpulan rahasia yang kontroversial, didirikan tahun 1717 dan menyebar ke Belanda tahun 1756. Penelitian Th. Stevens dan Hylkema, menunjukkan bahwa di Hindia Belanda, Freemasonry telah berdiri sejak 1767 dan pernah memiliki 25 loji dengan 1.500 anggota, namun belum membahas perkembangannya di Cirebon. Penelitian bertujuan mengungkapkan sejarah sosial tentang bagaimana perkembangan Freemasonry dalam kajian sejarah lokal dengan bersumber pada arsip-arsip kolonial dan menggunakan metode sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Freemasonry memiliki cabang dengan nama "Vrijmetselaar-Kring Cheribon" yang didirikan orang-orang Belanda tahun 1920. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat Freemason yang berasal dari elit bumiputera adalah R. M. A. Pandji Ariodinoto, Bupati Cirebon tahun 1920-1927. Freemasonry memiliki peranan penting untuk mendukung kepentingan-kepentingan Kolonialisme Belanda. Penelitian ini menunjukkan bahwa proses kolonialisasi dilakukan juga melalui peran perkumpulan masyarakat yang secara struktural tidak terikat terhadap Pemerintah Kolonial seperti Freemasonry, bahkan memiliki jaringan di ‘kota wali’ yang dikenal religius yaitu Cirebon.
GERAKAN DAKWAH MUHAMMADIYAH DI CIANJUR 1970-2012 Wahyu Iryana; Budi Sujati; Endang Sari Wahyuni
Sinau : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Humaniora Vol. 8 No. 2 (2022): Jurnal Ilmu Pendidikan dan Humaniora
Publisher : LPPM STKIP Pangeran Dharma Kusuma Segeran Juntinyuat Indramayu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37842/sinau.v8i2.107

Abstract

This paper aims to find out the beginning of the emergence of Muhammadiyah, the potential of Muhammadiyah proselytizing, to the method of developing Muhammadiyah in Cianjur. Thus giving rise to a new view of the development of this civic organization. Regarding the beginning of the entry of Muhammadiyah in Cianjur Regency, which was officially formed and began to be organized in 1970. In this period Muhammadiyah established SMP and SMEA Muhammadiyah which were part of Muhammadiyah proselytizing in the field of education. The potential of Muhammadiyah proselytizing in Cianjur Regency, lies in its charitable efforts and the focus of this organization's movement is in the field of education, be it kindergarten or paud, elementary school, junior high school, high school or university startups. In the muhammadiyah development method in Cianjur Regency, it is more developed in the field of education, then, the establishment of branches that encourage the establishment of branches so that guidance on understanding the concept of Muhammadiyah is carried out in an organizational hierarchy. In addition, Muhammadiyah in Cianjur Regency penetrated into the entrepreneurial sector. This is one of the methods of developing proselytizing in reducing the poverty of people in terms of economic independence.