Sudiro Sudiro
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Semarang

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Implementasi Program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Puskesmas Wilayah Kabupaten Pasuruan Nikmatul Firdaus; Sudiro Sudiro; Atik Mawarni
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol 1, No 1 (2013): April 2013
Publisher : Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (578.752 KB) | DOI: 10.14710/jmki.1.1.2013.%p

Abstract

Pada tahun 2006 sosialisasi program MTBS dan pelatihan kepada petugas puskesmas telah dilakukan, dimana masing-masing Puskesmas diwakili oleh 1 orang tenaga medis (dokter) dan 2 orang tenaga paramedis(bidan, perawat). Akan tetapi kematian balita di kabupaten Pasuruan mengalami kenaikan, yaitu tahun 2007 sebesar 5,2/1000 kelahiran hidup, tahun 2008 sebesar 5,4/1000 kelahiran hidup dan tahun 2009 sebesar 6,1/1000 kelahiran hidup. Darikematian tersebut diketahui penyebabnya antara lain karena gizi buruk, pneumonia, DBD,diare serta infeksi. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap faktor faktor dalam implementasi program MTBS di Puskesmas Kabupaten Pasuruan. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif, metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Sebagai informan utama adalah petugas MTBS (dokter, bidan, perawat) di Puskesmas wilayahperkotaan dan pinggiran kota yang melakukan MTBS, berjumlah 12 orang. Sedangkan sebagai informan triangulasi adalah 4 kepala Puskesmas, satu Kasie Kesga Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan. Variabel dalam penelitian ini adalah faktor komunikasi, faktor sumber daya, faktor disposisi, serta faktor struktur birokrasi. Penelitian memberikan hasil sosialisasi dan pelatihan program MTBS sudah dilakukan. Petugas yang melayani balita sakit belum menunjang keberhasilan pencapaian tujuan MTBS oleh karena belum semua petugas mendapatkan pelatihan MTBS, jumlah petugas tidak sebanding dengan jumlah balita sakityang berkunjung. Seluruh petugas MTBS mempunyai sikap positif untuk mendukung program MTBS. Meskipun sudah tersedia SOP namun tidak semua petugas menggunakannya dalam melayani MTBS. Pembinaan dari DKK belum dilakukan rutin, supervisi masih bersifat umum, serta tidak ada tindak lanjut yang diberikan. Agar pelayanan MTBS terlaksana dengan baik maka perlu ditingkatkan sosialisasi SOP yang disertai pelatihan yang meratauntuk semua petugas serta supervisi yang spesifik pada MTBS.Data in 2007-2010 showed that integrated management of childhood illness (IMCI) activities increased. However, IMCI coverage had not reached the target established by Pasuruan district health office, which was 80%. Preliminary study indicated that not all under-five children who visited health centers received IMCI services. It was caused by no availability of IMCI facilities, unscheduled supervision, and no feedback. The objective of this study was to explain IMCI program implementation from policy aspect in primary healthcare centers in Pasuruan district.    This was an observational qualitative study with cross sectional approach. Study population was all primary healthcare centers that performed IMCI in Pasuruan district. Main informants were IMCI team that consisted of physicians, midwives, nurses. Triangulation informants were policy makers such as head of primary healthcare center, head of family health section, and consumers.    Results of the study showed that in 4 primary healthcare centers with high IMCI coverage, communication had been performed (socialization and marketing); however, there was no specific organizational structure (unstructured). Viewed from resources side, not all human resource received IMCI training; not all facilities of IMCI were fulfilled; specific funding for IMCI program was not allocated. In relation to disposition, all workers had positive attitude in supporting IMCI program. Bureaucracy structure was not optimal; there was a standard operating procedure, but it was not implemented correctly in practice.  There was recording and reporting, but routine supervision and feedback was not performed.     Based on the results of study, it was suggested and recommended to keep doing IMCI program socialization, human resource improvement, facility fulfillment, improvement of workers by conducting IMCI training, implementing arrangement for reporting and recording to district health office, improvement in supervision quality by giving feedback to district health office.
Analysis on Leadership, Budget Allocation and Disposition of Management Policy at Nursing Department of Kudus District General Hospital Abdul Aziz Achyar; Sudiro Sudiro; Atik Mawarni
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol 2, No 3 (2014): Desember 2014
Publisher : Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.706 KB) | DOI: 10.14710/jmki.2.3.2014.%p

Abstract

Kegiatan perawatan yang dilakukan oleh perawat berada di tatanan pelayanan kesehatan terdepan dengan kontak pertama dan terlama dengan pasien. Terjadi penurunan jumlah kunjungan pasien pribadi/umum/bayar (28,33%) di RSUD Kabupaten Kudus dalam 5 tahun terakhir. Hasil Indeks Kepuasan Masyarakat untuk keperawatan kurang baik, sehingga pengelolaan keperawatan perlu perhatian dari manajer. Tujuan penelitian adalah menjelaskan kepemimpinan, alokasi dana dan disposisi pengambil kebijakan di bidang keperawatan RSUD Kabupaten Kudus. Penelitian ini adalah penelitian observasional kualitatif. Subjek penelitian adalah 3 orang pengambil kebijakan bidang keperawatan sebagai informan utama dan 3 orang perawat pelaksana kebijakan sebagai informan triangulasi. Analisis data dengan content analysis yaitu pengumpulan data, reduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan kepemimpinan telah dilakukan pengambil kebijakan dalam bimbingan dan hubungan antar perawat namun belum menjelaskan motivasi yang ada dalam sebuah reward & support system. Pengambil kebijakan telah mengalokasikan dana untuk pemenuhan SDM, infrastruktur dan peralatan penunjang keperawatan namun anggaran yang ada dan sedang berproses belum menyentuh peningkatan SDM keperawatan dari jalur pendidikan formal. Disposisi pengambil kebijakan telah memberdayakan perawat sebagai pelaksana kebijakan yang berkaitan dengan pembuatan keputusan dan pembuatan SOP, tetapi belum menyentuh pada instrumen evaluasi terstruktur pelayanan keperawatan. Disimpulkan bahwa bimbingan kepada pegawai hanya melibatkan pejabat struktural dan fungsional, peningkatan motivasi sudah dilakukan, anggaran belum menyentuh jalur pendidikan formal dan belum ada evaluasi yang terstruktur.Nursing activities conducted by nurses were at the first line in the health service; and it was the first and the longest duration of contact with patients. The number of private/ public/paying patients (28.33%) in Kudus district general hospital (RSUD) decreased in the last five years. Result from community satisfaction index was not good. Therefore, nursing management needed to get attention from the manager. Objective of this study was to explain leadership, budget allocation, and delegation of policy makers in the nursing section of Kudus district general hospital. This was an observational-qualitative study. Study subjects were three policy makers in the nursing section as main informants, and three policy-executor nurses as triangulation informants. Content analysis method was applied in the data analysis; this method consisted of data collection, data reduction, data presentation, and conclusion drawing. Results of the study showed that leadership had been done by policy makers in the supervision and in relationship among nurses; however, policy makers had not explained motivation that was in the reward and support system. Policy makers had allocated budget for human resource completion, infrastructure, and supporting instrument for nursing. However, the existing budget had not been used to increase nursing human resource that originated from a formal education path. Policy makers had delegated formulation of decisions and SOP to the nurses who implemented the policies; however this delegation did not include structured evaluation instruments on nursing service. In conclusion, supervision to workers involved only structural and functional authorities; motivation improvement had been done; budgeting had not included a formal education path; structured evaluation was not done.
The Corelation between Perception of Leadership Practice and Perception of Service Quality by Medical and Paramedical Staff in Perinatal Room Kraton Hospital, Pekalongan Moh. Hasyim Purwadi; Sudiro Sudiro; Cahya Tri Purnami
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol 1, No 1 (2013): April 2013
Publisher : Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1378.12 KB) | DOI: 10.14710/jmki.1.1.2013.%p

Abstract

Pelayanan perinatal merupakan salah satu pelayanan unggulan di RSUD Kraton.Keterbatasan tenaga kesehatan terlatih dan kurangnya peralatan serta kurangnya dukunganpimpinan terhadap rumahsakit sayang bayi merupakan permasalahan yang dijumpai dalampelayanan perinatal di RSUD Kraton.Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruhpersepsi tentang praktek kepemimpinan terhadap persepsi mutu pelayanan di ruang perinatalRSUD Kraton Kab. Pekalongan. Jenis penelitian adalah analitik kuantitatif observasionaldengan pendekatan belah lintang (cross sectional). Pengumpulan data menggunakankuesioner dan observasi. Populasi sama dengan sampel penelitian adalah seluruh tenagamedis dan paramedis di ruang perinatal RSUD Kraton sebanyak 36 orang. Data dianalisisdengan uji korelasi Pearson product moment dan rank Spearman dilanjutkan uji regresilogistik. Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa persepsi tentang praktek kepemimpinanmenantang proses: kategori baik (58,3%); menginspirasi visi bersama: kategori cukup(58,3%); memberdayakan orang lain untuk berbuat: kategori baik (63,9%), menjadi model:kategori cukup (52,8%); mendorong semangat: kategori baik (50%), dan persepsi tentangmutu pelayanan: kategori baik (55,6%). Ada hubungan antara persepsi praktek kepemimpinantentang menantang proses (r=0,832, p=0,0001), menginspirasi visi bersama ( =0,78,p=0,0001), mendorong semangat ( =0,615, p=0,0001) dan menjadi model ( =0,445,p=0,007) dengan persepsi mutu pelayanan perinatal. Tidak ada hubungan antara persepsipraktek kepemimpinan tentang memberdayakan orang lain untuk berbuat (r=0,252, p=0.139)dengan persepsi mutu pelayanan perinatal. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwapersepsi praktek kepemimpinan menginspirasi visi bersama mempunyai pengaruh palingbesar terhadap persepsi mutu pelayanan perinatal (exp β = 84,5), diikuti praktekkepemimpinan mendorong semangat (exp β = 22,8) dan praktek kepemimpinan menjadimodel (exp β = 6,4).Perinatal service is one of eminent services in Kraton Hospital. Limitation of trained staff andless completeness of equipment as well as less leadership supports for “infant caringhospital” has been problems in the perinatal service in Kraton Hospital.ResearchObjective was to analyze influence of leadership practice perception to service qualityperception in perinatal room Kraton Hospital. Type of research was observationalquantitative analytic, with cross sectional approach. Data collection used questioner andobservation. Sample was total population. Those were all medical staff and paramedical staffin perinatal room Kraton Hospital, totally 36 respondents. Data analysis used Pearsonproduct moment correlation and Rank Spearman followed by logistic regression. Resultsshowed that perception of challenging process of leadership practice had category good(58.3%); inspiring of shared vision had category moderate (58.3%); empowering others hadcategory good (63.9%); become a model had category moderate (52.8%); driving spirit hadcategory good (50%); and perception of quality of services had category good (55.6%).There was a correlation between challenging process of leadership practices (ρ=0.832;p=0.0001); inspiring shared vision ( =0.78, p=0.0001); driving spirits ( =0.615,p=0.0001) and become a model ( =0.445, p=0.007) and perception of quality of perinatalservices. There was no correlation between perception of empowering others of leadershipand (ρ=0.252, p=0.139). Logistic Regression analysis showed that perception of inspiringshared vision of leadership had the greatest influence to perception of perinatal qualityservices (exp β = 84.5), followed by driving spirit of leadership (exp β = 22,8) and become amodel (exp β = 6,4).
Analysis of Promotional Mix Effect (Marketing Communication Mix) on Patient Loyalty in Obstetric and Gynaecology Outpatient Unit in RSIA Kurnia Cilegon Eka Yunila Fatmasari; Sudiro Sudiro; Septo Pawelas Arso
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol 3, No 3 (2015): Desember 2015
Publisher : Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (376.305 KB) | DOI: 10.14710/jmki.3.3.2015.%p

Abstract

ABSTRAKPenurunan kunjungan rawat inap terutama ruang rawat inap kebidanan di RSIA Kurnia Cilegon, penurunan jumlah pasien lama dan penurunan jumlah persalinan memperkuat indikasi loyalitas pasien di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi menurun. Adanya persaingan rumah sakit swasta menempatkan bauran komunikasi pemasaran penting dalam meningkatkan kunjungan dan membangun hubungan jangka panjang dengan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai promotional mix (bauran komunikasi pemasaran) dikaitkan dengan loyalitas pasien. Jenis penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Variabel yang diteliti meliputi komunikasi personal, periklanan, publisitas dan hubungan masyarakat, materi pembelajaran, rancangan korporat dan kepuasan pasien. Data penelitian diolah secara kuantitatif dengan metode univariat, bivariat dan multivariat dengan uji analisis regresi logistik dilengkapi dengan analisis secara kualitatif (content analysis). Hasil penelitian menemukan bahwa persepsi kurang baik pada komunikasi personal sebesar 62%, persepsi kurang baik pada periklanan sebesar 55%, persepsi kurang baik pada publisitas dan hubungan masyarakat sebesar 63%, persepsi kurang baik pada materi pembelajaran sebesar 54%, persepsi kurang baik pada rancangan korporat sebesar 53% dan persepsi kurang baik pada kepuasan pasien sebesar 72%. Hasil analisis pengaruh bersama-sama menunjukkan bahwa komunikasi personal, periklanan, publisitas dan hubungan masyarakat, materi pembelajaran, rancangan korporat dan kepuasan pasien berpengaruh terhadap loyalitas pasien. Hasil tersebut dapat dibuat persamaan regresi yaitu Y= 0,871 + 2,145 variabel komunikasi personal + 1,879 variabel periklanan + 1,044 variabel publisitas dan hubungan masyarakat + 1,758 variabel materi pembelajaran + 1,233 variabel rancangan korporat + 1,445 variabel kepuasan pasien. Komunikasi personal memiliki pengaruh yang paling kuat sedangkan publisitas dan hubungan masyarakat memiliki pengaruh yang paling lemah terhadap loyalitas pasien. Disarankan manajemen RSIA Kurnia Cilegon untuk meningkatkan komunikasi personal bidan dan informasi sms gateway.Kata kunci : Promotional Mix, Loyalitas Pelanggan, Perilaku Konsumen. ABSTRACTThe decrease of inward visit specifically in the obstetrics inward room of Kurnia maternal andchild hospital (RSIA) Cilegon, the decrease of the number of old patients, and the decrease of the number of deliveries strengthen the indication of decreasing patient’s loyalty in the obstetrics and gynecology policlinic. Competition among private hospitals placed a promotional mix an important matter to increase patient visit, and to build long term relationship with patients. Objective of this study was to identify promotional mix value in relation with patients’ loyalty. This was an observational study with cross sectional approach. Study variables were personal communication, advertising, publicity and public relation, teaching materials, corporation design, and patient satisfaction. Data were analyzed quantitatively using univariate and bivariate methods; and multivariate analysis was conducted by applying logistic regression test. Qualitative analysis was implemented, and content analysis was applied. Results of the study showed that perception on personal communication was not good (62%), perception on the advertising was not good (55%), perception on publicity and public relation were not good (63%); perception on teaching materials was not good (54%), perception on corporate design was not good (53%), and perception on patient satisfaction was not good (72%). Result of multivariate analysis showed that personal communication, advertising, publicity and public relation, teaching materials, corporate design, and patient satisfaction influenced the patient loyalty. The regression formula was Y= 0.871 + 2.145 communication personal + 1.879 advertising + 1.044 publicity and public relation + 1.758 teaching materials + 1.233 corporate design + 1.445 patient satisfaction. Personal communication had the strongest influence, publicity and public relation had the weakest influence to patient loyalty. It is suggested to the management of RSIA Kurnia Cilegon to improve midwives personal communication and sms information gateway.Keywords : promotional mix, customer loyalty, consumer behavior
Analysis of Leadership’s Factors in Nursing Care Quality Effort at Hemodialysis Unit of B Class Hospital Yulius Widiyarta; Sudiro Sudiro; Bambang Edi Warsito
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol 1, No 1 (2013): April 2013
Publisher : Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (729.892 KB) | DOI: 10.14710/jmki.1.1.2013.%p

Abstract

Layanan unit Hemodialisa sebagai layanan unggulan masih bermasalah pada komitmen dankomunikasi kepemimpinan keperawatan. Penelitian ini betujuan untuk menjelaskan faktorkepemimpinan : komunikasi dan komitmen dalam upaya pelayanan keperawatan yangbermutu di Unit Hemodialisa di RS Tipe B. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif denganmetode wawancara mendalam dan observasi. Subjek penelitian terdiri dari 11 orang yaitu 3orang informan utama (1 perawat kepala ruang dan 2 perawat) dan 8 orang informantriangulasi (1 dokter penanggung jawab unit hemodialisa, 4 perawat dan 3 pasien). Observasidilakukan dengan menggunakan check list atau daftar tilik. Hasil penelitian menunjukkanfaktor komunikasi yang terdiri dari fungsi instruksi, konsultasi, partisipasi, delegasi danpengendalian sudah dilakukan oleh pimpinan. Fungsi instruksi dilaksanakan denganmemberikan arahan tetapi strategi tidak disampaikan. Fungsi konsultasi sudah dilaksanakantetapi masukan tidak direspon oleh kepala ruang. Fungsi delegasi sudah dijalankan dari kepalaruangkepada kepala tim. Fungsi partisipasi sudah dilaksanakan. Fungsi pengendaliandilaksanakan dengan pengawasan langsung tetapi belum ada mekanisme monitoring danevaluasi . Untuk faktor komitmen, yang sudah dilakukan adalah komitmen untuk menjaditeladan dan pemberian motivasi sedangkan komitmen untuk melakukan monitoring danmenjalankan SOP belum dilaksanakan. Pelayanan keperawatan sudah dirasakan cukup baikoleh pasien dan kolaborasi antar petugas medis sudah berjalan dengan baik tetapi belum adapenjaminan mutu pelayanan keperawatan. Sarana dan prasarana sesuai persyaratan dariDepkes dan Pernefri belum dipenuhi. Simpulan, faktor komunikasi kepemimpinan belumsemuanya dilaksanakan oleh pimpinan keperawatan. Komitmen untuk menjadi teladan danmemberikan motivasi sudah dilaksanakan. Komitmen untuk melaksanakan SOP sertamelakukan monitoring dan evaluasi belum dilaksanakan. Saran, kepemimpinan keperawatanagar meningkatkan fungsi komunikasi, pelaksanaan SOP serta melakukan monitoring danevaluasi sebagai bentuk upaya penjaminan mutu pelayanan keperawatan.Haemodialysis unit service as an eminent service had been still a problematic in nursingleadership commitment and communication. This study objective was to explain the factors ofleadership : communication and commitment to quality nursing care effort in HaemodialysisUnit at the Type B Hospital. The research was conducted in-depth qualitative interviews andobservation. Research subjects consisted of 11 people : 3 key informants (1 head room nurseand 2 nurses) and 8 triangulation informants (1 physician responsible hemodialysis unit, 4nurses and 3 patients). Observations carried out by using a check list.The results shows thatthe communication factors consists of instruction, consultation, participation, delegation andcontrolling functions have been done by the head room nurse. The instruction function hasbeen implemented by providing direction but the strategy has not been delivered yet.Consulting function has been already implemented but the suggestion has not been respondedby the head room nurse. Delegation function has been functioning from the head room nurseto the team head nurse. Participation function has been implemented. Controlling functionhas been carried out under the direct supervision but there have been no monitoring andevaluation mechanisms. Commitment factor has been a model and a motivation, while thecommitment to monitor and to do using SOP has not been implemented. The nursing care hasbeen perceived quite well by patients and collaboration among medical officers has beengood but there has no assurance of quality nursing care. Facilities and infrastructuresaccording to the requirements of the Department of Health and Pernefri have not beenfulfilled. Conclusion, leadership communication factors have not all done by nursingleadership. Commitment to be a model and and a motivation have been implemented.Commitment to implement the SOP and conduct monitoring and evaluation have not beenconducted. Suggestions, nursing leadership should improve the functioning of nursingleadership communication, implementation of SOPs and conduct monitoring and evaluationas an effort to guarantee quality of nursing care
Implementation of the Standards of Pharmaceutical Services by the Pharmacists in Semarang District Lilik Tri Cahyono; Sudiro Sudiro; Anneke Suparwati
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol 3, No 2 (2015): Agustus 2015
Publisher : Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.745 KB) | DOI: 10.14710/jmki.3.2.2015.%p

Abstract

ABSTRAKPada tahun 2004, terbit Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik dan diikuti Buku Juknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik tahun 2008. Namun demikian, praktik pelayanan kefarmasian pada apotik di Kabupaten Semarang belum sesuai standar tersebut. Nilai skor pelayanan kefarmasian di apotik, dari hasil penelitian pendahuluan yaitu 6 apotik nilainya kurang, 4 apotik nilainya cukup dan tidak ada apotik yang nilainya baik. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian pada apotik di Kabupaten Semarang. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) pada 6 Apoteker Pengelola Apotik (APA) sebagai informan utama, satu orang Kepala Seksi Farmasi, Pengawasan Obat, Makanan dan Minuman (POM) dan satu orang Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Cabang Kabupaten Semarang sebagai informan triangulasi. Analisa data menggunakan metode analisis isi (content analysis). Hasil penelitian menunjukkan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik masih menitikberatkan pada administrasi dan pengelolaan obat, belum pada pelayanan kefarmasian secara menyeluruh. Sebagian besar informan utama belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang Juknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik, belum menyediakan SOP/Protap, belum pernah mendapatkan sosialisasi tentang Juknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik. Seluruh informan utama belum pernah mendapatkan pembinaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang maupun IAI Cabang Kabupaten Semarang tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik secara menyeluruh. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik belum optimal karena pengetahuan tentang Juknis belum memadai, SOP/Protap belum ada, belum ada sosialisasi dan pembinaan sesuai Juknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang maupun IAI Cabang Kabupaten Semarang.Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik, Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang, Apoteker Pengelola Apotik (APA)ABSTRACTHealth Minister Decree of Indonesian Republic number 1027/Menkes/SK/IX/ 2004 regardingpharmaceutical service standard in pharmacies had been enacted in 2004. In 2008, technicalguidance (juknis) to implement pharmaceutical service standard in pharmacies in Semarang district was published. However, pharmaceutical service practice in pharmacies in Semarang district was not done according to the standard. Results of a previous study indicated that score value of pharmaceutical service in six pharmacies was low; four pharmacies received moderate scores, and no pharmacies obtained good scores. Objective of this study was to analyze the implementation of pharmaceutical service standard in pharmacies in Semarang district. This was a descriptive-qualitative study. Data collection was done by conducting observation and in-depth interview to six pharmacists who managed the pharmacies (APA) as main informants. Triangulation informants were a head of pharmacy section and one head of IAI Semarang district branch. Data analysis was performed by applying content analysis method. Results of the study showed that the implementation of pharmaceutical service standard in the pharmacies was still focused on administrative activities and drug management, and holistic pharmaceutical service had not become the main focus. Majority of main informants had insufficient knowledge regarding technical guidance of pharmaceutical service standard in the pharmacy; they did not have standard operating procedure (protap); they did not get information about technical guidance of pharmaceutical service standard in the pharmacy. All main informants did not receive supervision from Semarang district health office or from IAI Semarang district branch regarding holistic pharmaceutical service standard in the pharmacy. In conclusion, pharmaceutical service standard in the pharmacy was not optimal. It was related to insufficient knowledge regarding technical guideline, no standard operating procedure, no socialization and supervision that was done according to technical guideline from Semarang district health office or IAI Semarang district branch.Keywords : Pharmaceutical service standard in the pharmacy, Semarang district health office, pharmacy manager pharmacist (APA)
Analysis of Organizational Culture Change Processin Badan Rumah Sakit Umum Tabanan-Bali Sepri Hariyadi; Sudiro Sudiro; Lucia Ratna Kartika
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2013): Agustus 2013
Publisher : Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.718 KB) | DOI: 10.14710/jmki.1.2.2013.130-142

Abstract

Badan  Rumah  Sakit  Umum  Tabanan  Bali  sejak  tahun  2002  telah  terjadi  perubahan  di  berbagai  aspek  organisasi  yang  kemudian  berdampak  dan  bermakna  pada  cara  pemberian  pelayanan  selanjutnya  meningkatkan  jumlah  kunjungan pasien dan kesejahteraan  karyawan,  yang  secara keseluruhan  mengubah  citra  rumah  sakit.  Tujuan penelitian  ini  menganalisis proses  terjadinya perubahan  budaya  organisasi  rumah  sakit  (asumsi dasar,  tata  nilai,  norma,  dan  artefak)  pada aspek  struktur,  teknologi,  dan  orang  melalui  tahapan-tahapan  perubahan (refreezing,  freezing,  unfreezing). Jenis  penelitian  observasional,  kualitatif.  Pengumpulan data  dengan  wawancara mendalam,  pengumpulan  dokumen,  dan  pengamatan langsung.  Subjek  penelitian  terdiri  dari informan  utama  4  orang  manajer  (puncak  dan  menengah), informantriangulasi  3  orang  tenaga fungsional  (dokter  dan  perawat).  Hasil,  pada  awalnya  organiasi  BRSU  ada  perbedaan  pada asumsi  dasar,  tata  nilai,  norma,  dan  artefak.  BRSU  berstatus  UPTD,  minim  teknologi,  terdapat kecurangan pendapatan disetiap bagian, kualitas SDM rendah. Keadaan ini memotivasi direktur (sebagai inisiator)  untuk  mengubah  budaya  organisasi  rumah  sakit.  Pelaksanaannya  dengan memberikan  pemahaman,  penyadaran  kepada  seluruh  karyawan  yang  dituangkan  pada  Visi, Misi,  keyakinan  dasar,  nilai-nilai  dasar,  norma, artefak dan motto. Kemudian perubahan  yang terjadi  pada:  1)  struktur  pada  status  RS UPTD  menjadi  RS  LTD  oleh  bupati  dan  DPRD, mengikuti standarisasi akreditasi, ISO, Pelayanan piala citra. 2) Teknologi pada SIM RS, system komunikasi, melakukan KSO peralatan.  3) Orang dengan meningkatkan kualitas SDM. Dampak yang  terjadi:  1)  Peningkatan  penghasilan  rumah  sakit  pada  tahun  1999  ke 2000  sangat  fantastis dari  350-400  juta  menjadi  1,6  milyar  setahun,  2)  Peningkatan  penghasilan karyawan  secara  signifikan.   Pengawasan:   adanya auditor,   kredensial,   penyegaran budaya   organisasi   secara berkala.  Dampak  perubahan  keseluruhan  adalah  meningkatnya  kualitas  pelayanan  dan  tanpa  terganggunya kualitas pelayanan setelah terjadi dua kali penggantian pimpinan rumah sakit. Tipe budaya organisasi yang dianut saat ini di BRSU Tabanan adalah tipe budaya organisasi terbuka. Saran,  perubahan  pasti  akan  selalu  terjadi diharapkan  BRSU  Tabanan  dapat  mengendalikan perubahan itu kearah lebih baik tanpa henti baik fisik maupun non fisik. Badan  Rumah  Sakit  Umum  (General  Hospital  Board=  BRSU)  Tabanan-Bali  had  changed  in many aspects of organization since 2002. These changes had a significant impact on the way to give further services, increasing the number of patients’ visit and staff welfare. These changes, in general,  had  changed  the  hospital  image.  Objective  of  the  study  was  to  analyze  the  process  of hospital  organizational  culture  change  (basic  assumption,  value  system,  norm,  and  artifact)  on structure, technology, and person aspects through the transformation steps (refreezing, freezing,and unfreezing).  This  was  an  observational,  qualita tive  study.  Data  were  collected  through  in-  depth interview, documentary collection, and direct observation. Studysubjects consisted of four hospital  managers  (top  and  middle)  as  main  informants,  three  functional  staffs  (physician  and nurses)  as  triangulation  informants.  Results  of the  study  showed  that,  at  the  beginning,  there were  differences  on  BRSU  organization.  The  differences  included  basic  assumptions,  value system,  norm,  and  artifact.  Status  of  the BRSU  was  UPTD;  and  this  BRSU  had  minimal technology,  fraudulence  revenue  in  every  unit,  and  low  quality  of  staffs.  These  situations  motivated   hospital   director (as   an   initiator)   to   change hospital   organization   culture. Implementation  of  the  change  was  to  give  understanding  and  awareness to all  hospital  staffs through  giving  vision  and  mission of  the  hospital,  basic  trust,orms,artifacts,  and  motto. Changes  included  1)  change  of  hospital  status by District  leader and  district  house  of representative,  from  UPTD  to  LTD.  This  change  was  conducted  according  to  accreditation  standard,  ISO,  and  Citra  cup  service;  2)  change on hospital  information  system  (SIM-RS), communication system, and conducting KSO of instruments; 3) change of the quality of hospital human resource. Impact of the changes included 1)increase in 1999-2000 hospital revenue from 350-400  million  rupiahs  to  1.6  billion  rupiahs,  2)significant  increase  on  the  staffs’  wages.  Supervision was conducted by the presence of an auditors, credential, and periodic refreshment of  organizational  culture.  Impact  of  the  whole  changes  was  improvement  of  service  quality.  In  addition, no service quality  disruption  was  found  after  twice  changes  of  hospital  directors.  The  current  type  of  organizational  culture  in BRSU  Tabanan  was  an  open  organizational  culture type.  Suggestion:  changes  will  certainly occur, and  BRSU  Tabanan  is xpected  to  continuously  control the changes towards the better, physically and non-physically
Analysis on the Influence of Director Leadership Style to Patient Safety Culture in Hermina Pandanaran Hospital Yuni Kartika; Sudiro Sudiro; Lucia Ratna Kartika Wulan
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol 3, No 2 (2015): Agustus 2015
Publisher : Magister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (383.907 KB) | DOI: 10.14710/jmki.3.2.2015.%p

Abstract

ABSTRAKRS Hermina Pandanaran menetapkan kebijakan tentang program keselamatan pasien yang berpedoman tujuh langkah keselamatan pasien, tetapi budaya keselamatan pasien belum terlaksana dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan gaya kepemimpinan transformasional direktur sesuai tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit dalam pelaksanaan budaya keselamatan pasien di RS Hermina Pandanaran. Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Informan utama adalah ketua dan anggota tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit meliputi wakil direktur medis, manajer penunjang medis, manajer keperawatan, manajer rumah tangga dan perawat PPI. Informan triangulasi pihak yang terkait dalam program keselamatan pasien rumah sakit. Pengumpulan data dilakukan melalui indepth interview dan observasi. Pengolahan data dilakukan dengan metode analsis isi (content analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional direktur telah melibatkan staf dalam menerapkan budaya keselamatan pasien, terutama non blaming culture dan budaya belajar dari insiden, tetapi budaya pelaporan belum berjalan dengan baik. Tujuh langkah keselamatan pasien RS belum dilaksanakan seluruhnya, yaitu belum memotivasi staf dengan optimal, menjabarkan langkah-langkah penanganan insiden keselamatan pasien secara langsung di lapangan, menetapkan kebijakan tentang diklat keselamatan pasien, mengembangkan sistem pengelolaan risiko, melaksanakan pelatihan RCA di rumah sakit.Disarankan agar direktur rumah sakit lebih sering melakukan sosialisasi budaya pelaporan kepada staf dengan menekankan non blaming culture, menjabarkan langkah-langkah penanganan insiden keselamatan pasien dan melaksanakan asesmen risiko. Direktur diharapkan turun langsung ke lapangan melalui ronde keselamatan pasien dan menetapkan kebijakan tentang diklat keselamatan pasien termasuk pelatihan RCA dalam bentuk Surat Keputusan agar berjalan sesuai ketentuan dan hasilnya dapat dievaluasi.Kata kunci : Kepemimpinan, Budaya, Keselamatan Pasien, Rumah SakitABSTRACTHermina Pandanaran hospital had established a policy regarding patient safety program based on seven steps of patient safety. However, patient safety culture had not adequately performed. Objective of this study was to explain transformational leadership style of a director according to seven steps of hospital patient safety in order to implement patient safety culture in Hermina Pandanaran hospital. This was a qualitative study. Main informants were a head and team member of hospital patient safety; it included a hospital medical deputy director, a medical support manager, a nursing manager, a domestic affair manager, and PPI nurses. Triangulation informants were people who involved in the hospital patient safety program. Data management was done by applying content analysis method. Results of the study showed that transformational leadership style of a director involved staffs in the implementation of patient safety culture especially none blaming culture and learning fromincident culture. However, reporting culture was not implemented properly. Seven steps of hospital patient safety were not done completely; staffs had not been motivated optimally, steps to manage patient safety incident were not described directly in the field, policy regarding patient safety was not established, risk management system was not developed, RCA training in the hospital was not implemented. Suggestions for hospital director are to do more frequent socialization on reporting culture with stressing on non-blaming culture to staffs; to describe steps on the management of patient safety incident and conducting risk assessment. Director is expected to go directly to the field and involved in the patient safety round, and to establish a policy regarding patient safety education and training including RCA training. It could be in the form of decree in order the implementation of policy was done properly, and the results could be evaluated.Keywords : Leadership, culture, patient safety, hospital