Abstrak Korupsi di Indonesia sudah hampir menjadi bahagian dari kehidupan masayrakat dan menyusup dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Ketidakmampuan pemerintah daerah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekitarnya diperparah lagi dengan merebaknya fenomena korupsi di daerah. Fenomena inilah yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah yaitu bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Rumusan masalah dalam artikel ini yaitu mengapa otonomi daerah membentuk perilaku koruptif kepala daerah di Indonesia. Sedangkan untuk tujuan dibuat artikel ini adalah menjelaskan dan menguraikan kepada khalayak mengenai otonomi daerah pembentuk intensi perilaku koruptif kepala daerah. Metode yang digunakan pada penelitian ini, yaitu metode penelitian kualitatif.Teknik pengolahan data dalam penelitian ini, penulis meneliti dengan menggunakan penelitian studi literatur dimana mengumpulkan data-datanya dengan mencari dan menganalisis di berbagai buku, jurnal, media, dan sumber-sumber lainnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 114 kepala daerah terjerat kasus rasuah sejak 2004 hingga 2019. Rinciannya, 73 orang atau 64% berstatus bupati, 25 orang atau 24% berstatus wali kota, dan 16 orang atau 22% merupakan gubernur. Kata Kunci: Otonomi Daerah, Korupsi, Kepala Daerah Abstract Corruption in Indonesia has almost become a part of people's lives and has infiltrated the government administration system. The inability of local governments to improve services to the surrounding community is exacerbated by the widespread phenomenon of corruption in the regions. This phenomenon has long been related to the implementation of regional autonomy, namely the shifting of corrupt practices from the center to the regions. The formulation of the problem in this article is why regional autonomy shapes the corrupt behavior of regional heads in Indonesia. Meanwhile, the purpose of this article is to explain and describe to the public the regional autonomy that shapes the intensity of the corrupt behavior of regional heads. The method used in this study, namely qualitative research. Data processing techniques in this study, researchers research using literature study research which collects data by searching and analyzing in various books, journals, media, and other sources. The Corruption Eradication Commission (KPK) noted that there were 114 regional heads entangled in rasuah cases from 2004 to 2019. In details, 73 people or 64% were regents, 25 people or 24% were mayors of city cases, and 16 people or 22% were governors. Keywords: Regional Autonomy, Corruption, District head