Pradhani, Sartika Intaning
Adat Law Department, Faculty Of Law, Universitas Gadjah Mada Doctor Science Of Law Program, Faculty Of Law, Universitas Gadjah Mada

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Diskursus Teori Tentang Peran Perempuan dalam Konflik Agraria Sartika Intaning Pradhani
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 (2019): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31292/jb.v5i1.320

Abstract

Abstract: Law, instead as the basis of national agrarian management, also as sources of agrarian conflict because of conflicted regulations. Many academic papers on agrarian conflicts have described the conflicts, as well as women’s narrative regarding the conflicts. This article explore the theoretical discourse during agrarian conflict to analyze women’s role on that case. This paper is written based on secondary data gathered from juridical normative research with analytical descriptive type. The research found that main legal theoretical discourses presented mostly in on agrarian conflicts literatures are legal positivism, politics of law, legal reality, natural law, sociological jurisprudence, legal pluralism, local wisdom, and eco-feminism. The role of women during agrarian conflicts is explained using eco-feminism theory, particularly as agent of change who actively fight for non-exploitative agrarian management based on their experience.Key words: women, agrarian conflict, eco-feminism.Intisari: Hukum, selain sebagai dasar penyelenggaraan agraria nasional juga menjadi sumber konflik agraria karena pengaturan yang tumpang tindih. Tulisan-tulisan akademik tentang konflik agraria tidak hanya menjelaskan tentang konflik yang berlangsung, tetapi juga menuliskan narasi perempuan dalam konflik tersebut. Tulisan ini menggali wacana-wacana teori yang muncul dalam konflik agraria untuk menganalisis peran perempuan dalam konflik agraria. Data sekunder dalam tulisan ini diperoleh dari penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Wacana-wacana teori yang muncul dalam konflik agraria adalah teori hukum positif, teori politik hukum, teori realitas hukum, teori hukum alam, sociological jurisprudence, pluralisme hukum, teori kearifan lokal, dan teori ekofeminisme. Teori yang menjelaskan peran perempuan dalam konflik agraria adalah teori ekofeminisme. Peran perempuan dalam konflik agraria adalah sebagai agen perubahan yang berperan secara aktif memperjuangkan pengelolaan agraria non-eksploitatif berdasarkan pengalaman masing-masing perempuan.Kata kunci: perempuan, konflik agraria, ekofeminisme.
Perspektif Pemikiran Hukum Barat dalam Penemuan Hukum Adat oleh Hakim: Studi Kasus Putusan Sengketa Tanah Adat di Pengadilan Negeri Muara Teweh, Padang, Makale, dan Painan Sartika Intaning Pradhani
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 6 No. 1 (2020): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31292/jb.v6i1.420

Abstract

Abstract: Adat law as empirical knowledge found by judges through western legal thought grows to be normative knowledge. This research tried to prove the hypothesis that judges used positivist legal reasoning in finding adat law applicable in specific cases. This study, written in the form of a legal descriptive research with socio-legal approach, aims to identify and analyze the legal reasoning used by judges to find applicable adat law. This research proves that the judges applied western legal thought to find appropriate adat law by referring to jurisprudence, doctrines, and concepts on adat law to measure legal actions validity. Positivist legal reasoning practice helped judges to find adat law applicable in concrete cases, but it alienated adat law from its empirical reality since judges only considered particularities of each case which support normative claim found in the existing adat law concepts, doctrines, and jurisprudence.   Intisari: Hukum adat sebagai pengetahuan empiris berkembang menjadi pengetahuan normatif yang ditemukan melalui perspektif hukum Barat oleh hakim. Penelitian ini berusaha untuk membuktikan hipotesis bahwa hakim menggunakan nalar hukum adat positivistik dalam menemukan hukum adat yang berlaku dalam suatu sengketa. Sifat dari penelitian hukum ini adalah deskriptif dengan pendekatan sosio-legal untuk mengidentifikasi dan menganalisis nalar/reasoning yang digunakan hakim untuk menemukan hukum adat yang berlaku. Penelitian ini membuktikan bahwa hakim menggunakan perspektif pemikiran hukum Barat dalam melakukan penemuan hukum adat dengan mendasarkan pada yurisprudensi, doktrin, dan konsep tentang hukum adat untuk mengukur validitas suatu perbuatan hukum. Di satu sisi, praktek nalar positivistik dalam penemuan hukum adat oleh hakim memudahkan hakim untuk menerapkan hukum adat dalam kasus konkrit. Namun di sisi lain hal tersebut menjauhkan perkembangan hukum adat dari realitas empirisnya karena hakim hanya mempertimbangkan partikularitas masing-masing kasus yang sesuai dengan ketentuan/norma hukum adat dalam konsep, doktrin, dan yurisprudensi yang telah ada.
Penerapan Pendekatan Formalistik Dalam Penemuan Hukum Adat Oleh Hakim: Studi Kasus Sengketa Surat Keterangan Tanah Adat di Kalimantan Tengah Achmad Caesar Luthful Hakim; Sartika Intaning Pradhani
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 7 No. 1 (2021): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: This paper identifies legal formalism approach application in customary law findings by a judge by analyzing formal law to validate the Declaration of Customary Land Tenure (SKTA). Research questions are (1) how do judges make consideration in deciding on a case of land dispute based on adat law in Central Kalimantan which brought SKTA as evidence? (2) how do judges apply legal formalism to SKTA law findings as evidence of customary land tenure?  This study is normative legal research for it analyzes legal norms used as references by the judges to validate SKTA. Secondary data are Central Kalimantan District Court decisions from 2015-2020 collected from website putusan3.mahkamahagung.go.id. Judge considerations in deciding SKTA disputes are legal relationship between a plaintiff and the disputed land, a defendant, basic law and procedure to issue SKTA, land acquisition of the disputed land, and whether the defendant has properly cited. The judges apply a formalistic approach in SKTA law findings by referring to Central Kalimantan Local Regulation 16/2008, Central Kalimantan Governor Regulation 13/2009, Civil Code, Agrarian Law, Government Regulation 14/1999, and Civil Procedure Law. According to this research, customary law study cannot be separated from state law because judges find customary law in laws and legislations in the courtroom. Keywords: customary law, formalistic approach, SKTA     Intisari : Tulisan ini mengidentifikasi penerapan pendekatan formalisme hukum dalam penemuan hukum adat oleh hakim dengan cara melihat penggunaan hukum formal oleh hakim untuk menentukan keabsahan Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA). Rumusan yang diangkat adalah (1) bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa tanah adat di Kalimantan Tengah yang menggunakan SKTA sebagai alat bukti di pengadilan?; dan (2) bagaimana hakim menerapkan pendekatan formalistik dalam penemuan hukum SKTA sebagai alat bukti penguasaan atas tanah adat? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena meneliti norma hukum yang menjadi rujukan hakim dalam menentukan keabsahan SKTA. Data sekunder adalah putusan-putusan Pengadilan Negeri di Kalimantan Tengah dengan objek sengketa SKTA sejak tahun 2015-2020 yang didapatkan melalui website putusan3.mahkamahagung.go.id. Pertimbangan hakim dalam memutus sengketa SKTA adalah hubungan hukum antara penggugat dan tanah objek sengketa, pihak yang seharusnya digugat, dasar hukum dan prosedur penerbitan SKTA, transaksi tanah yang telah dilakukan dengan tanah objek sengketa, dan Tergugat secara patut telah dipanggil. Majelis Hakim menerapkan pendekatan formalistik dalam penemuan hukum SKTA sebagai alat bukti penguasaan atas tanah adat dengan merujuk pada Perda Kalteng 16/2008, Pergub Kalteng 13/2009, KUHPerdata, UUPA, PP 24/1997, dan HIR. Tulisan ini menemukan bahwa studi hukum adat tidak dapat lagi dipisahkan dari ketertiban hukum negara karena hakim menemukan hukum adat dalam peraturan perundang-undangan dalam ruang pengadilan.    Kata Kunci: pendekatan formalistik, hukum adat, SKTA
Traditional Rights of Indigenous People in Indonesia: Legal Recognition and Court Interpretation Sartika Intaning Pradhani
Jambe Law Journal Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Law, Jambi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.432 KB) | DOI: 10.22437/jlj.1.2.177-205

Abstract

Indigenous peoples are victims of agrarian conflict, but their existence are not recognized by Indonesia. Indonesia recognizes Adat Law Community, distinct community living in Indonesia according to their Adat Law, and their traditional right. This paper is written based on legal normative research to analyze right of Adat Law Community towards their land and territory; and rule of the court regarding right of Adat Law Community. Adat Law Community has strong relation with their land and territory, namely Ulayat Right which guaranteed in Constitution and regulated in various law and regulation, especially regarding natural resources. Recognition towards Ulayat Right held by Adat Law Community through regional law product is declaratory because it only confirms the exiting right. Court has prominent role to enforce right of Adat Law Community. Constitutional Court has revoked several provisions in law which neglect Ulayat Right of Adat Law Community, such as Adat Forest which defined as state forest located in Adat Law Community’s territory; and Right of Coastal Water which limits Ulayat Right of Adat Law Community to access natural resources in coastal area and small islands. Though Constitutional Court has strengthen right of Adat Law Community, this community still face difficulties to claim their right towards land and territory against government and investor before District Court, High Court, and Supreme Court because those Court more focus on formal legal certainty of Adat Law Community’s authorization towards their land and territory than factual authorization as narrated by the community.
Pendekatan Pluralisme Hukum dalam Studi Hukum Adat: Interaksi Hukum Adat dengan Hukum Nasional dan Internasional Sartika Intaning Pradhani
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.81-124

Abstract

Scientific study on adat law starts from empirical research, which finds that adat law does not stand alone but works together with other legal orders. This paper is written based on normative legal research by collecting secondary data to answer (1) how legal pluralism explains adat law and adat law community; and (2) how the application of legal pluralism approach in adat law study. The legal pluralism approach explains adat law not as an isolated/marginalized legal order but as a dynamic legal order which interacts with national and international law. From the perspective of legal pluralism, the adat law community is a semi-autonomous social field that produces rules from the interplay between the adat law community and other legal communities/institutions. Categorization of legal pluralism approach application are as follow: first, weak legal pluralism where state law recognizes adat law either by law and regulation or court decision; second, strong legal pluralism which describes through the semi-autonomous social field, shopping forum, and forum shopping concept; third, legal pluralism multi-sited which explain the relationship between legal phenomena in local, national, and international level; and elaborate the role of information, communication, and technology which bridges legal phenomenon from one to another. Abstrak Kajian ilmiah terhadap hukum adat berangkat dari penelitian lapangan yang menemukan bahwa hukum adat tidak pernah berdiri sendiri dan selalu berinteraksi dengan tertib hukum yang lain. Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian hukum normatif dengan mengumpulkan data sekunder berupa laporan-laporan penelitian dan artikel jurnal untuk untuk menjawab (1) bagaimana pendekatan pluralisme hukum menjelaskan hukum adat dan masyarakat hukum adat; dan (2) bagaiamana pendekatan pluralisme hukum digunakan dalam studi hukum adat hari ini. Pendekatan pluralisme hukum memahami hukum adat tidak sebagai suatu ketertiban hukum yang terpisah atau termarginalisasi dari ketertiban hukum yang lain, tetapi secara dinamis terus berinteraksi dengan hukum nasional maupun internasional. Dari perspektif pluralisme hukum, masyarakat hukum adat merupakan suatu wilayah sosial semi otonom yang melahirkan hukum berdasarkan hubungan saling memengaruhi dengan masyarakat hukum lain. Penerapan pendekatan pluralisme hukum dalam studi hukum adat dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, pluralisme hukum lemah di mana negara mengakui hukum adat baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Kedua, pluralisme hukum kuat yang dideskripsikan melalui konsep wilayah sosial semi-otonom, forum shopping, dan shopping forum. Terakhir, pluralisme hukum multi-sited yang digunakan untuk menjelaskan hubungan berbagai fenomena hukum antara hukum adat (lokal), nasional, dan internasional serta peran teknologi informasi dan komunikasi dalam menjembatani hubungan tersebut.
KONSEPSI MANUSIA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF IDEOLOGI HUKUM INDONESIA Sartika Intaning Pradhani
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 30, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (570.743 KB) | DOI: 10.22146/jmh.29781

Abstract

AbstractThe concept of Indonesian in Indonesia Legal Ideology Perspective is the concept of Indonesian as holistic unity which has physical and psychological nature. Indonesian shall be human who lives based on Pancasila values and lives based on the law where Pancasila is the ideology. Epistemological truth of Indonesian is human who believes in God, well behaved to others and to the world. The purpose of Indonesian is to live harmoniously with himself / herself, with the world, and with God; therefore, Indonesian can live peacefully and happily. IntisariKonsepsi manusia Indonesia dalam perspektif Ideologi Hukum Indonesia adalah konsep bahwa manusia Indonesia merupakan kesatuan holistik yang bersifat batin dan lahir dari manusia itu sendiri. Manusia Indonesia adalah manusia yang hidup berlandaskan nilai yang terkandung dalam Pancasila dan hidup berdasarkan hukum yang berideologi Pancasila. Kebenaran epistimologi manusia Indonesia adalah manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berperilaku baik pada sesamanya dan alam semesta. Tujuan dari manusia Indonesia adalah untuk dapat hidup serasi dengan dirinya sendiri, dengan alam, dan dengan Tuhan yang Maha Esa, sehingga manusia Indonesia dapat hidup dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan.
DYNAMICS OF ADAT LAW COMMUNITY RECOGNITION: STRUGGLE TO STRENGTHEN LEGAL CAPACITY Sartika Intaning Pradhani
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 31, No. 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (467.189 KB) | DOI: 10.22146/jmh.34032

Abstract

AbstractThe existence of adat law community has been recognized since Dutch Colonial Era until today. State recognitions towards adat law community are dynamics. This paper is written based on legal normative research to describe dynamics of adat law community recognition. In the early of Indonesia independent, adat law community was considered as foundation of Indonesia nation state establishment. Since 1957 and during New Order era, there was systematic effort to abolish adat law communities because adat law was perceived as symbol of backwardness. After the amendment of the Constitution, adat law community and their traditional rights are recognized by law and enforced through court decision. Adat law community can determine their type of recognition to strengthen their legal capacity to manage Adat Forest; to organize Adat Village; or to hold communal land rights.  IntisariEksistensi masyarakat hukum adat telah diakui sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda hingga hari ini. Pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat bersifat dinamis. Tulisan ini ditulis berdasarkan penelitian hukum normatif untuk mendeskripsikan dinamika pengakuan masyarakat hukum adat. Pada awal kemerdekaan Indonesia, masyarakat hukum adat merupakan dasar terbentuknya negara bangsa Indonesia. Sejak tahun 1957 dan selama periode Order Baru, ada upaya sistematis untuk menghapuskan masyarakat hukum adat karena hukum adat dianggap sebagai simbol keterbelakangan. Pasca amandemen konstitusi, masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya diakui melalui hukum dan ditegakkan oleh pengadilan. Masyarakat hukum adat dapat menentukan jenis pengakuan yang dapat menguatkan kapasitas hukum mereka dalam mengelola hutan adat; mengorganisasi Desa Adat; atau dalam menyandang hak komunal atas tanah.  AbstractAbstractThe existence of adat law community has been recognized since Dutch Colonial Era until today. State recognitions towards adat law community are dynamics. This paper is written based on legal normative research to describe dynamics of adat law community recognition. In the early of Indonesia independent, adat law community was considered as foundation of Indonesia nation state establishment. Since 1957 and during New Order era, there was systematic effort to abolish adat lawcommunities because adat law was perceived as symbol of backwardness. After the amendment of the Constitution, adat law community and their traditional rights are recognized by law and enforced through court decision. Adat law community can determine their type of recognition to strengthen their legal capacity to manage Adat Forest; to organize Adat Village; or to hold communal land rights.  
Pemikiran Hukum Adat Djojodigoeno dan Relevansinya Kini Sulastriyono Sulastriyono; Sartika Intaning Pradhani
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 30, No 3 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (409.517 KB) | DOI: 10.22146/jmh.36956

Abstract

AbstractDjojodigoeno Adat legal thought is started from awareness that the nature of adat law is law. Adat law is the contrary of written law and it is a legal reality. Adat law as original law of Indonesia is the material of Indonesia national law formulation. Sociology and ethnography empirical legal research are tools to find adat law from its source of law. The purpose of adat law finding is to construct Indonesia state law which reflects national identity according to Indonesia socialism. In this current situation, adat law study gives more attention to rights of indigenous peoples and adoption of adat law in legislation; therefore, it is far from Djojodigoeno’s expectation. IntisariPemikiran hukum adat Djojodigoeno berangkat dari kesadaran bahwa hakikat hukum adat adalah hukum. Hukum adat adalah lawan dari hukum tertulis dan merupakan realitas hukum. Hukum adat sebagai hukum asli Indonesia menjadi material bagi terbentuknya hukum nasional Indonesia. Penelitian hukum lapangan pada sumber hukum adat secara sosiologi dan etnografi adalah cara untuk menemukan hukum adat. Tujuan dari penemuan hukum adat adalah untuk membentuk hukum negara Indonesia yang mencerminkan kepribadian nasional berdasarkan sosialisme Indonesia. Saat ini kajian hukum adat fokus pada hak-hak masyarakat hukum adat dan adopsi hukum adat dalam peraturan; sehingga semakin jauh dari harapan Djojodigoeno. 
PENERAPAN PENDEKATAN POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN HUKUM ADAT Sartika Intaning Pradhani; Almonika Cindy Fatika Sari
Masalah-Masalah Hukum Vol 51, No 3 (2022): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.51.3.2022.235-249

Abstract

Pendekatan positivistik terhadap hukum adat yang melahirkan ilmu hukum adat positif dianggap membuat studi hukum adat bersifat statis. Tulisan ini bertujuan menggali penggunaan nalar positivistik dalam penelitian hukum adat dan menjawab kontribusi nalar positivistik terhadap perkembangan studi hukum adat. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan laporan penelitian normatif empiris tentang hukum adat sebagai basis datanya. Pendekatan positivistik ternyata tidak membuat kajian hukum adat menjadi ajek/statis. Realitas lapangan yang dinamis berkontribusi untuk memutakhirkan konsep-konsep hukum adat yang telah mapan. Sebagai contoh bidang tanah adat perseorangan yang dapat dijual lepas mengkritisi konsep inalienablility tanah ulayat dan anak perempuan dari kekerabatan patrilineal dapat mewaris harta ayahnya juga mengkritisi konsep anak perempuan bukan merupakan ahli waris dalam kekerabatan patrilineal.