Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Kepastian Hukum Hak Atas Tanah: Pelajaran dari Kekalahan Perkara Pertanahan di Pengadilan Marryanti, Septina; Nurrokhman, Arsan
Jurnal Pertanahan Vol 11 No 2 (2021): Jurnal Pertanahan
Publisher : Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian Tata Ruang dan Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3450.014 KB) | DOI: 10.53686/jp.v11i2.111

Abstract

ABSTRAKUpaya mengurangi adanya kekalahan perkara pertanahan dalam pengadilan dilakukan dalam rangka peningkatan kepastian hukum hak atas tanah. Tujuan dalam tulisan ini adalah menjawab rumusan masalah dengan pendekatan kualitatif mengenai 1) apa penyebab terjadinya kekalahan perkara pertanahan dalam persidangan, dan 2) bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekalahan perkara pertanahan. Penyebab perkara pertanahan yang mengalami kekalahan di pengadilan dapat dibedakan menjadi 8 (delapan) pokok penyebab perkara, yakni 1) tumpang tindih kepemilikan sertipikat, 2) adanya putusan pengadilan perdata, 3) terdapat cacat prosedur, 4) ketidaksesuaian data yuridis, 5) putusan fiktif negatif dan positif, 6) sengketa waris, 7) keterkaitan dengan tata ruang, dan 8) adanya putusan pengadilan pidana. Upaya untuk mencegah terjadinya kekalahan perkara pertanahan dalam rangka peningkatan kepastian dan hukum hak atas tanah adalah 1) peningkatan peraturan tentang rechtsverwerking pendaftaran tanah menjadi undang-undang, 2) optimalisasi partisipasi masyarakat untuk validasi data pertanahan melalui berbagai sarana atau platform, 3) penambahan ketentuan tentang iktikad baik dalam menguasai tanah dengan sanksi yang lebih terukur untuk tanah hak yang ditelantarkan, 4) peningkatan quality control hasil pengukuran dan pemetaan yang dilakukan oleh pihak swasta, 5) pembaharuan SOP (standar operasional prosedur) pendaftaran tanah, 6) penguatan portofolio panitia pemeriksa tanah sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, 7) penerapan prinsip fiktif positif untuk mengatasi “status quo” perkara pendaftaran tanah, 8) peningkatan sinergi pengelolaan ruang di atas penguasaan tanah, dan 9) penerbitan alas hak atas tanah dengan adanya sidik jari atau dengan identitas unik lainnya. Kata kunci : perkara pertanahan, sertipikat hak atas tanah, kepastian hukum ABSTRACTThe efforts to reduce land cases defeat in court are carried out in the context of increasing legal certainty of land rights. The purpose of this paper is to answer the problem formulation with a qualitative approach regarding 1) what are the causes of the defeat of land dispute in the court, and 2) what efforts can be made to prevent the defeat of land disputes. The causes of land cases defeat in the court can be divided into 8 (eight) main causes, namely 1) overlapping certificate ownership, 2) civil decisions, 3) procedural defects, 4) juridical data incompatibility, 5) negative and positive fictitious decisions, 6) inheritance disputes, 7) spatial planning context, and 8) criminal decisions. The efforts to prevent the defeats of land cases in the context of increasing certainty and legal land rights are 1) increasing regulations regarding rechtsverwerking of land registration into law; 2) optimizing community participation for land data validation through various means or platforms; 3) adding conditions about good intention ofcontrolling land along with more measurable sanctions for abandoned land; 4) improving the quality control of the measurement and mapping results carried out by the private sector; 5) renewing of SOP (Standard Operational Procedure) for land registration; 6) strengthening the portfolio of the Land Examiner Committee as a part of the land registration process; 7) applying the positive fictitious principles to overcome the “status quo” of land registration cases; 8) increasing the synergy of spatial management over land tenure; and 9) issuing the land rights with fingerprints or other unique identities.Keywords : land dispute, certificates of land rights, legal certainty
PENGUATAN PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG PASCA TERBITNYA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA Sutaryono Sutaryono; Arsan Nurrokhman; Novita Dian Lestari
Jurnal Pengembangan Kota Vol 9, No 2: Desember 2021
Publisher : Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (817.362 KB) | DOI: 10.14710/jpk.9.2.154-165

Abstract

Pelaksanaan penegakan hukum/penertiban pemanfaatan ruang saat ini memiliki kecenderungan berhenti pada temuan adanya indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang. Pengenaan sanksi yang merupakan hasil rekomendasi audit tata ruang masih jarang dilaksanakan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa penegakan hukum di bidang penataan ruang masih belum optimal. Di sisi lain, muncul tantangan baru pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang pasca penetapan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) di tahun 2020. Penelitian ini bertujuan untuk menemukenali permasalahan pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang untuk kemudian merumuskan strategi penguatan pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang pasca ditetapkannya UUCK. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode desk study yang mengutamakan content analysis. Content analysis dilakukan terhadap regulasi penertiban pemanfaatan ruang dan salah satu laporan hasil audit tata ruang. Data yang dikumpulkan berupa data indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang dari hasil audit dan pelaksanaan tindaklanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh (a) muatan dalam regulasi belum sepenuhnya bisa operasional; (b) pelaksanaan pengawasan di lapangan terbatas; (c) peran masyarakat dalam pengawasan adanya pelanggaran terhadap tata ruang belum optimal; (d) fungsi koordinasi antar organisasi perangkat daerah dalam peran masing-masing belum maksimal dilakukan; dan (e) kondisi dan status PPNS yang belum kuat. Ketidakefektifan tersebut dapat di atasi dengan strategi kebijakan penertiban pemanfaatan ruang yang berupa penguatan regulasi, penguatan sumberdaya manusia, penataan kelembagaan, dan pengalokasian anggaran yang memadai.
Quo Vadis Indonesian Agrarian Reform: Implementation of UUPA in the President Regulation No. 86 of 2018 Arsan Nurrokhman Nurrokhman
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 3 (2019): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan (Special Edition)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31292/jb.v5i3.385

Abstract

Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles (UUPA) is widely praisedas the great work of the Indonesian nation which is revolutionary and responsive, combining good elements between individualism and communalism. However, the unachieved objectives of the UUPA is hard to deny and the majority of the defense of its failure tends to be normative and ideological. This paper aims to bring the study of the UUPA to a more empirical direction by using theories of public policy implementation, as introduced byGrindle (1980) about content variables and policy contexts, and the theory of critical implementation researchers who use a bottom-up perspective and highlight the actions of implementing bureaucrats. The research used qualitative methods through the study of literature and focused on executive policy, bureaucrats’ actions and the context that surrounds them. The study found that the executive policy with the issuance of Presidential Regulation of the Republic of Indonesia Number 86 of 2018 was precisely not in line with several provisions of the UUPA. The presidential regulation has a paradox, wants to accommodate many variables but is confused about the main purpose of agrarian reform. As a relatively top-down policy, the implementation of the UUPA requires the existence of a dominant actor. However, the actions of implementing bureaucrats have long reducedthe purpose of the law to merely being an act of legalization of accounting transactions for land that are running according to market mechanisms. Now, the increasing number of Indonesians living in urban areas makes the issue of land more complex, related to land use change and various challenges of sustainable development.