Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Al-Simth Al-Majid: Melacak Pengaruh Syaikh Ahmad Al-Qusyaisyi terhadap Tradisi Sufi di Aceh (Pendekatan Analisis Tekstual Hadits) Nuraini Nuraini
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 21, No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v21i2.3792

Abstract

Syattariyah tarekat is a popular tarekat in Aceh, especially during the Islamic kingdom of Aceh Darussalam under the leadership of the Queen. Abd. Rauf al-Singkel is considered the first carrier of the Syattariyah order. However, the network of the Syattariyah ulema from Abd. Rauf al-Singkel in Aceh has yet to be found. Therefore, it was assumed that the Syattariyah order existed between the 19th and 20th centuries in Aceh had nothing to do with Abd. Rauf al-Singkel. This statement implies that the Syattariyah's lineage from Sheikh Ahmad al-Qusyasyi in Aceh has lost. Abd. Sheikh Ahmad al-Qusyasyi has conferred Rauf al-Singkel as a messenger to spread the tarekat in the Indonesian archipelago. It is interesting to examine the influence of Sheikh Ahmad al-Qusyasi on the Syattariyah order developed in Aceh. Thus, the question was raised whether the trace of Sheikh Ahmad al-Qusyasyi’s influence on the Sufi tradition in Aceh still exists. One way to clarify the influence is by examining the Syattariyah order in Aceh through Acehnese Sufi figures. By looking at the lineage of the sanad they use, we would be able to determine if their sanad reaches Sheikh Ahmad al-Qusyasyi. The genealogical paths found in the current study and that of Oman Fathurrahman's show that the sanad of the Syattariyah tarekat in Aceh attained to Sheikh Ahmad al-Qusyasi. Thus, it can be concluded that the Syattariyah order developing in Aceh was originated from Sheikh Ahmad al-Qusyasyi, either through Abd. Rauf al-Singkel or other Acehnese scholars.Abstrak: Syattariyah merupakan tarekat yang populer di Aceh, terutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sulthanah. Abdurrauf al-Singkel dianggap sebagai pembawa pertama tarekat Syattariyah. Namun hingga saat ini belum ditemukan jaringan keulamaan tarekat Syattariyah yang berkembang di Aceh dari silsilah Abdurrauf  al-Singkel. Bahkan tarekat Syattariyah yang ada dalam abad  XIX dan XX di Aceh dianggap  tidak ada hubungannya dengan Abdurrauf al-Singkel. Pernyataan ini tampak menunjukkan terputusnya silsilah tarekat Syattariyah dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi di Aceh.  Padahal Abdurrauf al-Singkel sendiri merupakan khalifah yang ditunjukkan langsung oleh Syaikh Ahmad al-Qusyasyi untuk menyebarkan tarekat di wilayah Nusantara. Oleh karena itu, artikel ini ingin mengkaji pengaruh Syaikh Ahmad al-Qusyasi terhadap perkembangan tarekat Syattariyah di Aceh. Apakah masih ada pengaruh Syaikh Ahmad al-Qusyasyi dalam tradisi sufi di Aceh?. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa silsilah sanad tarekat Syattariyah yang berkembang di Aceh semua bersumber dari Syaikh Ahmad al-Qusyasi. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa tarekat Syattariyah yang berkembang di Aceh dari jalur silsilah adalah tarekat Syattariyah yang bersumber dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, termasuk Abdurrauf al-Singkel pada masanya maupun beberapa ulama Aceh lainnya.
EKSISTENSI LAKI-LAKI DALAM MEWUJUDKAN KESERASIAN DAN KEHARMONISAN ANTAR INSAN (Kajian Tafsir Maudhu’i) Nuraini Nuraini
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 12, No 2 (2010)
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v12i2.3797

Abstract

This research is qualitative that answers two main questions, first; what is the philosophy of qur-anic verses showing men’s overplus on women. Second; how does the Qur-an expect men to actualize balance and harmony between sexes. By in depth analysis on particular verses found that al-rijal, which is referred to gender, is qualified to measure men existence. By this measurement, not all men can be grouped to ideal category. There are particular conditions that men have to fulfill in order to reach the overplus level that is given by Allah that are responsibility not only upon family but also on salvation on the earth and hereafter
Penafsiran Ayat-Ayat Takdir dalam Al-Qur’an Nuraini Nuraini; Khairunnisa Khairunnisa
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12579

Abstract

Muslims throughout history have been divided into three groups in the understanding of fate: groups that are excessive, groups that deny, and groups that are moderate. In strengthening the argument in the debate, each group uses the verses of the Qur'an incompletely. Resulting in contradiction of verses. This is the problem that the author raises in this study, by reviewing three books of Tafsir. The methods used are mauḍhūʻi and muqarān methods, with the type of qualitative research of literary objects. The research aims to determine the interpretation of the verses of fate in the Qur’an according to Tafsīr al-Ṭabarī, fī Ẓilāl al-Qur’an, and al-Miṣbāḥ. According to Tafsīr al-Ṭabarī, fate is an absolute provision that has been written in Lauḥ Mahfūz, whether in the form of good or bad. But with the perseverance of worship, the provisions or fate in Lauh Mahfuz can be changed. According to the fī Ẓilāl of the Qur’an, human fate is supernatural therefore man must strive in all his deeds even if the end result is determined by Allah. According to Tafsīr al-Miṣbāḥ, human beings are in the fate of Allah which have certain dimensions. So that God commands human beings to choose based on the potential of the intellect that has been bestowed by Him. The author understands that fate is everything that has been written in Lauḥ Mahfūz. But this does not mean that human beings should ignore the ability of the intellect that has been bestowed by God. Umat Islam dalam sepanjang sejarah terbagi menjadi tiga kelompok dalam memahami takdir: kelompok yang berlebihan, kelompok yang mengingkari, dan kelompok yang bersikap pertengahan terhadap takdir. Untuk menguatkan argumen dalam berdebat, masing-masing menggunakan dalil al-Qur’an secara tidak utuh. Sehingga ayat-ayat tersebut terlihat seakan-akan bertentangan. Permasalahan inilah yang penulis angkat di dalam penelitian ini, dengan mengkaji dari tiga kitab Tafsir. Metode digunakan adalah metode mauḍhūʻi dan muqarān, dengan jenis penelitian kualitatif objek kepustakaan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat takdir di dalam al-Qur’an menurut Tafsīr al-Ṭabarī, fī Ẓilāl Al-Qur’an, dan al-Miṣbāḥ. Menurut Tafsīr al-Ṭabarī, takdir adalah ketentuan mutlak yang telah tertulis di Lauḥ Mahfūz, baik berupa kebaikan atau keburukan. Namun dengan ketekunan beribadah ketentuan atau takdir di Lauh Mahfuz dapat saja berubah. Menurut fī Ẓilāl Al-Qur’an, takdir manusia bersifat ghaib karena itu manusia harus berusaha dalam segala perbuatannya meskipun hasil akhir ditentukan oleh Allah. Menurut Tafsīr al-Miṣbāḥ, manusia berada dalam takdir-takdir Allah yang memiliki ukuran-ukuran tertentu. Sehingga Allah menyuruh kepada manusia untuk memilih berdasarkan potensi akal yang telah di anugerahkan-Nya. Penulis memahami bahwa, takdir adalah segala sesuatu yang telah tertulis di Lauḥ Mahfūz. Namun bukan berarti manusia harus mengabaikan kemampuan akal yang telah dianugerahkan oleh Allah.
Fitnah dalam Al-Qur’an Nuraini Nuraini; Husniyani Husniyani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (413.508 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9199

Abstract

People generally know that defamation is a lie or accusation without a basis of truth. Such words or accusations are spread with the intent to discredit others, such as damaging a good name to the detriment of the honor of others. However, in Arabic, the meaning of defamation is different from what is understood by the general public, in Arabic, the meaning of defamation means tests and trials as well as the meaning of defamation in the Qur`an. This article will describe how the verses of the Qur`an explain about slander. In the Qur`an, defamation is mentioned 52 times in 30 chapters with various meanings according to the context of the verse. From the searching of the verses of defamation in general, it is found that there are 15 meanings of the word defamation in the Qur`an. The meanings of defamation are shirk, deception, murder, obstruction from the path of Allah, deviation, reason, decision, sin, pain, target, retribution, trial, punishment, burning, and insanity. Of the 15 meanings of the word defamation in the Qur`an, the meaning of defamation is not coherent with the understanding of Indonesian people on slander in general, which only means as spreading false news to tarnish someone's name. Masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa fitnah merupakan perkataan bohong atau tuduhan tanpa dasar kebenaran. Perkataan atau tuduhan tersebut disebarkan dengan maksud untuk menjelekkan orang lain, seperti merusak nama baik sehingga merugikan kehormatan orang lain. Namun, dalam bahasa Arab makna fitnah berbeda dengan yang difahami oleh masyarakat pada umumnya, dalam bahasa Arab makna fitnah berarti ujian dan cobaan demikian juga makna fitnah dalam al-Qur`an. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana ayat-ayat al-Qur`an menjelaskan tentang fitnah. Dalam al-Qur`an, fitnah disebutkan sebanyak 52 kali dalam 30 surah dengan beragam makna sesuai dengan konteks ayat. Dari penelurusaran terhadap ayat-ayat fitnah secara garis besarnya didapati ada 15 makna kata fitnah dalam al-Qur`an. Makna-makna yang dimaksud adalah syirik, penyesatan, pembunuhan, menghalangi dari jalan Allah, kesesatan, alasan, keputusan, dosa, sakit, sasaran, balasan, ujian, azab, bakar, dan gila. Dari 15 makna kata fitnah dalam al-Qur`an ini, tidak ditemukan makna fitnah sama persis dengan apa yang difahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, yang bermakna menyebar berita bohong untuk menjelekan nama seseorang.
Lafaz Mathar dan Ghaits dalam Al-Qur’an Cut Widya Audina; Nuraini Nuraini; Abd. Wahid
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i1.13098

Abstract

Some of the verses in the Qur'an have pronunciations that seem synonymous (muradif) but when examined further they have different connotations, such as in the words mathar and ghaits. There are various kinds of meanings of lafaz mathar and ghaits in the Qur'an, namely the amazing rain, the rain of stones, the rain of the sijjil, and so on. This paper aims to reveal how the meaning of the lafaz mathar and ghaits in the Qur'an is viewed from the muradif aspect and how the context of the use of this lafaz in the Qur'an is. This study is a literature review by collecting data and reviewing library materials consisting of primary and secondary data. The data obtained as documentation uses the maudhu'i method. The results of this study, the lafaz mathar is found in 9 surahs with 6 forms of lafaz variations, while the ghaits lafaz is found in 5 surahs and has 6 forms of lafaz variations. Lafaz mathar and ghaits have the same meaning, namely rain, but the context of the verse and the interpretation are different. Lafaz mathar shows more rain of doom, punishment, or reinforcements. While lafaz ghaits shows the rain of mercy or help from Allah. Sebagian ayat-ayat dalam Alquran mempunyai lafaz yang tampaknya sinonim (muradif) namun bila diteliti lebih jauh memiliki konotasi yang berbeda, seperti pada lafaz mathar dan ghaits. Terdapat berbagai macam ragam makna lafaz mathar dan ghaits dalam Alquran yakni hujan yang mengagumkan, hujan batu, hujan sijjil, dan lain sebagainya. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana pemaknaan lafaz mathar dan ghaits dalam Alquran ditinjau dari aspek muradif dan bagaimana konteks penggunaan lafaz tersebut dalam Alquran. Kajian ini adalah kajian kepustakaan dengan mengumpulkan data-data dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan yang terdiri dari data primer dan sekunder. Adapun data yang diperoleh sebagai dokumentasi menggunakan metode maudhu’i. Hasil penelitian ini, lafaz mathar ditemukan dalam 9 surah dengan 6 bentuk variasi lafaz, sedangkan lafaz ghaits ditemukan dalam 5 surah serta memiliki 6 bentuk variasi lafaz. Lafaz mathar dan ghaits memiliki makna yang sama yaitu hujan, akan tetapi konteks ayat dan penafsirannya berbeda. Lafaz mathar lebih menunjukkan kepada hujan azab, hukuman, atau bala. Sedangkan lafaz ghaits menunjukkan kepada hujan rahmat atau pertolongan dari Allah. 
Tradisi Mengaji Al-Qur’an di Kuburan dalam Masyarakat Indonesia Nuraini Nuraini; Wardahtul Jannah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (55.899 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9174

Abstract

There are many traditions carried out by some Muslims in various parts of Indonesia, such as sprinkling flowers on graves, watering graves with flower water, reciting the Quran in graves, and various other traditions. During the time of the Prophet, there was never any activity to recite the Quran in the grave. Some Muslims in Indonesia who carry out this activity, take several traditions to strengthen the activity of reciting the Quran at the cemetery. The method used is a literature study. This article discusses the arguments for the practice of reciting the Quran in a grave based on the Prophet's hadith, the views of four fiqh scholars and Indonesian Islamic organizations, as well as models of the practice of reciting the Quran in graves. There are five traditions that are included in the article about reciting the Quran in the grave. There are also differences in the views of scholars towards reciting the Quran in the graves. There are three models of the practice of the Quran in the grave, namely reciting the Quran in the grave after burial, reciting the Quran in the grave on Friday, and reciting the Quran after the Eid prayer. Based on the Prophet's hadith, there are two views of the Islamic scholars of fiqh and Indonesian Islamic organizations. Terdapat beberapa tradisi yang dilakukan oleh sebagian muslim di berbagai daerah di Indonesia, seperti menaburkan bunga di atas kuburan, menyiram kuburan dengan air bunga, mengaji al-Qur’an di kuburan, dan berbagai tradisi lainnya. Tradisi mengaji al-Qur’an di kuburan tidak pernah dilakukan  pada masa Rasulullah Saw. Namun, sebagian muslim di Indonesia yang melakukan kegiatan ini, mengambil beberapa hadis untuk memperkuat argumen membolehkan kegiatan mengaji al-Qur’an di kuburan. Fenomena ini memerlukan penelitian untuk melihat dasar yang digunakan imam mazhab serta ormas Indonesia tentang praktek dan model mengaji di kuburan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literature atau content analysis. Yaitu sebuah analisis terhadap hadis Rasulullah Saw, pandangan empat ulama fikih dan organisasi Islam Indonesia, serta model-model praktek mengaji di kuburan yang terdapat di Indonesia. Dari penelitian terhadap literatur yang digunakan tersebut diketahui bahwa mereka tidak menyandarkan pandangannya pada dalil al-Qur’an, akan tetapi kepada hadis-hadis Nabi tentang kedaan si mayit di kuburan sebanyak 5 (lima) buah hadis. Pandangan 4 imam mazhab dan ormas Indonesia terhadap mengaji al-Qur’an di kuburan ada yang membolehkan dan ada yang memakruhkan. Terdapat pula tiga model praktek mengaji di kuburan yaitu mengaji di kuburan setelah penguburan, mengaji di kuburan pada hari Jumat, dan mengaji al-Qur’an setelah shalat ied. 
VERIFIKASI QUR'ANI TENTANG STATUS ANAK ANGKAT Nuraini Nuraini
Jurnal Ilmiah Al-Mu'ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif Vol 14, No 2 (2017): Jurnal Ilmiah Al-Mu'ashirah
Publisher : South East Asia Regional Intellectual Forum of Qoran Hadith (SEARFIQH)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.443 KB) | DOI: 10.22373/jim.v14i2.3040

Abstract

The phenomenon of adoption or adoption in society has become commonplace. This is in addition to the religiously justified, the state of Indonesia also protect it. The adoption of children is not forbidden in Islam and even includes noble deeds if based on sincerity and rules in accordance with the teachings of Islam, but in practice there are many treatments that are contrary to the teachings of Islam. Not a few of the people who treat adopted children exactly the same as their children so that in terms of mahram, guardianship and inheritance get the right as a natural child. From the results of verification of verses of the Qur'an about adopted children it is known that the adopted child if there is no relationship mahram then the status is the same as others. In other words, the law that applies to others then so does the adopted child. Therefore, matters relating to the mahram must be preserved, trust is not applicable and inheritance is not obtained except on the permissible limits on behalf of the gift.
METODE ANALISIS HADITS DALAM BUKU ANTARA SETIA DAN DURHAKA KARYA AL YASA ABUBAKAR Nuraini Nuraini
Jurnal Ilmiah Al-Mu'ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif Vol 13, No 1 (2016): Jurnal Ilmiah Al-Mu'ashirah
Publisher : South East Asia Regional Intellectual Forum of Qoran Hadith (SEARFIQH)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (68.633 KB) | DOI: 10.22373/jim.v13i1.2355

Abstract

Terasa janggal, tidak logis atau paling kurang akan dikatakan tidak ilmiah jika didapati ada tulisan-tulisan yang mengangkat hadits-hadits yang dha'if, apalagi yang tidak jelas status kehaditsannya. Hal inilah yang terjadi pertama kali ketika penulis membaca karya Al- yasa Abubakar yang berjudul antara Setia dan Durhaka: Ulasan tentang Hak dan Kewajiban. Rasa penasaran ini menimbulkan keinginan penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi buku tersebut. Menurut Al Yasa' Abubakar, walaupun hadits-hadits tersebut tidak jelas sumber dan kualitasnya. Namun, hadits-hadits tersebut sengaja diangkat untuk menjadi perbandingan terhadap karya-karya atau buku-buku populer yang dalam analisisnya cenderung merendahkan perempuan. Tujuan hadits-hadits tersebut diangkat menurut Al yasa' Abubakar untuk memberikan analisis-analisis baru yang akan membuka wawasan pembaca sehingga mampu berfikir kritis, logis dan sesuai dengan ajaran Islam terutama al- Qur'an dan Hadits yang maqbul baik sanad maupun matannya.
Halalan Thayyiban Alternatif Qurani Untuk Hidup Sehat Nuraini Nuraini
Jurnal Ilmiah Al-Mu'ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif Vol 15, No 1 (2018)
Publisher : Forum Intelektual Qur'an dan Hadits Asia Tenggara (SEARFIQH) Kota Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.324 KB) | DOI: 10.22373/jim.v15i1.5460

Abstract

Menyangkut kebutuhan manusia al-Qur’an memberikan perhatian yang serius karena hal ini berhubungan dengan kemaslahatan hidup manusia di muka bumi ini. Kemaslahatan manusia merupakan misi utama al-Qur’an baik di dunia maupun diakhirat kelak. Dalam bentuk apapun ajaran Islam tujuannya adalah agar manusia maslahat di dunia  dan di akhirat. Salah satu aspek kemaslahatan tersebut adalah menyangkut kesehatan manusia. Konsep halalan thayyiban merupakan sebuah konsep tentang makanan dan minuman yang harus diamalkan manusia pada umumnya dan ummat Islam pada khususnya. Ruang lingkup makanan dan minuman yang halal sebagai dasar dan asal hukum yang wajib diikuti ummat Islam. Sedangkan makanan dan minuman yang haram adaalah pengecualian. Dengan demikian, pengecualian terhadap makanan dan minuman yang diharamkan dapat dijadikan standar dalam menilai kehalalan sebuah benda. Sedangkan thayyiban (baik) pendekatannya dapat dilakukan secara medis atau uji standar kesehatan. Penegasan al-Quran yang menggunakan kalimat halalan thayyiban, menunjukkan bahwa kedua kata tersebut walaupun didekati dengan pendekatan yang berbeda, namun dalam implementasinya haruslah sekaligus. Dengan kata lain, dalam pemilihan makanan dan minuman harus memperhatikan yang halal dan thayyib. Jika yang halal merupakan kewajiban yang harus diperhatikan maka thayyib juga demikian. Dalam kaedah ushul dikenal dengan kaedah hadits al halal bayyin, ushul ma la yatim al-wajib fa huwa wajib (sesuatu yang menjadi media dalam melaksanakan yang wajib, maka media itu wajib pula). Konsep halalan thayyiban adalah sebuah konsep tentang kesehatan dari aspek makanan dan minuman yang menawarkan konsep kesejahteraan atau kemaslahatan  manusia di dunia dan akhirat kelak.
Karakteristik Masyarakat Islam Perspektif Al-Qur’an: Analisis QS. Ali-Imran Ayat 110 Husnul Fikry; Sulaiman W; Nuraini Nuraini; Ainun Mardhiah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i2.13898

Abstract

The Qur’an as a guide has not been understood by some Muslim communities. Therefore, bad behavior still occurs, so the character of Islamic society has a bad impact. This discussion is to reveal "How are the characteristics of Islamic society from the perspective of the Qur'an". Method of discussion uses a thematic interpretation approach, collecting Qur'anic verses related to "characteristics of Islamic society." The data is processed based on two sources. (a) The primary source is in the form of Qur'anic verses related to "characteristics of Islamic society" and its interpretation; (b) secondary sources that are closely related to the main material in the discussion, such as books, such as Qurani Society and Tracing the Concept of Ideal Society in the Qur'an, as well as several books of interpretation, such as the book of interpretation of Al-Mishbah, Al-Azhar, etc. The results show that the Islamic community is made up of people who have the best character, provided that they are carrying out the rules of Allah SWT. There are three reasons why Muslims are the best people. 1. Muslims are believers. 2. Muslims are people who always advocate for goodness (amar ma'rûf), and 3. Muslims are people who do not allow crimes that can damage society (nahi mungkar).Abstrak: Al-Qur’an sebagai petunjuk belum dipahami oleh sebagian masyarakat muslim. Oleh karena itu, perilaku tidak baik masih saja terjadi, sehingga karakter masyarakat Islam berdampak buruk. Pembahasan ini untuk mengungkapkan; “Bagaimana Karakteristik Masyarakat Islam Perspektif Al-Qur’an". Metode pembahasan ini menggunakan pendekatan tafsir tematik, mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan “karakteristik masyarakat Islam”. Data diolah berdasarkan dua sumber. (a) Sumber primer berupa ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan “karakteristik masyarakat Islam” dan penafsirannya, (b) Sumber sekunder yang erat kaitannya dengan bahan pokok dalam pembahasan, seperti buku; Qurani Society, Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran, serta beberapa kitab tafsir, seperti kitab tafsir Al-Mishbah, Al-Azhar, dan lain-lain. Hasil menunjukkan bahwa masyarakat Islam perspektif Alquran adalah umat yang memiliki karakter terbaik dengan syarat selagi umat Islam tersebut menjalankan aturan Allah SWT. Ada tiga alasan bahwa umat Islam adalah umat terbaik. 1. Umat Islam adalah umat yang beriman kepada Allah SWT. 2. Umat Islam adalah umat yang senantiasa menganjurkan kepada kebaikan “amar ma'rûf” dan 3. Umat Islam adalah umat yang tidak membiarkan kejahatan yang dapat merusak masyarakat “nahi mungkar.”