Zainuddin Zainuddin
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Metodologi Pemahaman Hadist Islamologi dan Ulama Kontemporer Zainuddin Zainuddin
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 14, No 2 (2012)
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v14i2.4871

Abstract

One of methods formulated by comtemporary Ulama to approach hadith is  ikhtilaf hadith. This method could be developed become frame of maudu‟i understanding. Using this method in analyzing cases in hadith is expected to  prevent ignorance in summarizing process. If understanding is being trapped in  tarjih al hadith, which is historical, one may be trapped in the method, tarjih al  hadits, trough analyzing sanad. While in fact, the tarjih theonly one method  within the process of hadith, which is seen contradictive (ikhtilaf)
Ragam Ungkapan Damai dalam Al-Qur’an Miss Kholeefah Jukeng; Zainuddin Zainuddin
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (375.556 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v2i1.8077

Abstract

Islam has come as a religion that carries a mission of peace and strictly forbids mankind to do tyranny. As social beings, humans must follow certain provisions and regulations if they live and are in the midst of society. The word "peace" in the Qur'an is mentioned in various expressions and styles of language and different editorials according to their respective contexts. Thus, the expression has a different impact. In this paper, the author will discuss the various expressions of peace in the Qur'an and the different meanings of these expressions and their wisdom. From the results of this search, the authors found that in the Qur'an there are five kinds of expressions in the meaningful mention of the word "peace" namely aman, janahu, dzimmah, salam, and shulhu. Peace is salvation for the welfare of individuals, communities and even the entire human race. Islam datang sebagai agama yang membawa misi perdamaian dan dengan tegas mengharamkan umat manusia untuk melakukan keẓaliman. Sebagai makhluk sosial, manusia harus mengikuti ketentuan-ketentuan serta peraturan-peraturan tertentu apabila ia hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat. Kata “damai” dalam al-Qur’an disebutkan dengan beragam ungkapan dan gaya bahasa serta redaksi yang berbeda sesuai dengan konteksnya masing-masing. Sehingga, ungkapan tersebut mengandung dampak yang berbeda pula. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang ragam ungkapan damai dalam al-Qur’an dan perbedaan pengertian dari ungkapan-ungkapan tersebut serta hikmahnya. Hasil dari penelusuran ini, penulis menemukan dalam al-Qur’an ada lima macam ungkapan dalam penyebutan yang semakna dengan kata “damai” yaitu aman, janahu, dzimmah, salam, dan shulhu. Perdamaian adalah keselamatan untuk mendapatkan kesejahteraan, baik individu, masyarakat bahkan seluruh umat manusia.
Penafsiran Ibnu Katsir terhadap Ayat-Ayat Isra’ Mikraj Ahmad Asyraf bin Mohd Asri; Zainuddin Zainuddin
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i1.13099

Abstract

Faith means belief in the heart, words in the mouth and practice with the limbs. Every believer must believe in Allah, His angels, His books, His Messengers, the Last Day, and belief in both good and bad destiny. Believing in the miracles of the apostles includes believing in the apostles. Among the miracles of the Prophet SAW is the Isra 'Mikraj event. This event is clearly mentioned in QS. al-Isrā' (17): 1 and QS. al-Najm (53): 5-18. This incident is also found in the hadiths of various narrations. The commentators have described in depth this great event, among them is Ibn Kathir. In the theory of creed, the arguments and proofs related to the issue of faith must be with definite arguments (qath'i), and cannot use conjectures (dzan). However, Ibn Kathir uses the dha'īf hadith and the āhād hadith in his interpretation of Isra' Mikraj. The research method used by the author is library research, including secondary data collection and processing of the data that has been obtained using descriptive-analytical methods. The author collects data according to the findings, then analyzes the data and understands Ibn Kathir's thoughts on the verses related to Isra and Mikraj. Iman berarti keyakinan dalam hati, perkataan di lisan dan amalan dengan anggota badan. Setiap mukmin wajib beriman kepada Allah Swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik maupun yang buruk. Mempercayai mukjizat-mukjizat para rasul termasuk beriman kepada rasul. Di antara mukjizat Nabi Saw adalah peristiwa Isra’ Mikraj. Peristiwa tersebut disebut secara jelas dalam QS. al-Isrā’ (17): 1 dan QS. al-Najm (53): 5-18. Peristiwa ini juga terdapat dalam hadis dari pelbagai riwayat. Para mufasir telah menguraikan dengan mendalam peristiwa besar ini, di antaranya adalah Ibnu Katsir. Dalam teori akidah, dalil dan hujjah yang berkaitan dengan masalah akidah haruslah dengan dalil yang pasti (qath‘i), tidak bisa menggunakan dugaan (dzan). Namun, Ibnu Katsir menggunakan hadis dha‘īf dan hadis āhād dalam penafsirannya tentang Isra’ Mikraj. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah library research (penelitian kepustakaan), meliputi pengumpulan data sekunder dan mengolah data-data yang telah didapatkan dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Penulis menghimpun data sesuai hasil temuan, lalu melakukan analisis data tersebut dan memahami pemikiran Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan Isra’ dan Mikraj. 
Pembacaan Surat al-Kahfi di kalangan Muslim Indonesia Zainuddin Zainuddin; Qarri 'Aina
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (55.017 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9171

Abstract

This article discusses about the recitation of Surah Alkahfi at certain times among Muslims, and it also contains the introduction of Surah Alkahfi, the recitation model, and how Muslims interpret the recitation of Surah Alkahfi. This article uses an analysis descriptive method by collecting data in the form of readings in accordance with the theme of the discussion. The results showed that most Muslims read Surah Alkahfi on Friday because it is a very noble day for Muslims. However, there are also those who read on the other days. In addition, Muslims also interpret the recitation of Surah Alkahfi as worship to get a reward from Allah, then to form self-protection from the defamation of Dajjal, and to obtain peace and tranquility of heart. Artikel ini membahas tentang pembacaan surah al-Kahfi pada waktu-waktu tertentu di kalangan muslim. Memuat pula tentang pengenalan surat al-Kahfi, model pembacaan serta bagaimana umat muslim memaknai pembacaan surat al-Kahfi. Artikel ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan cara mengumpulkan data-data berupa bacaan yang sesuai dengan tema pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umat muslim kebanyakan membaca surat al-Kahfi ketika hari Jumat, dikarenakan Jumat ialah hari yang sangat mulia bagi umat Islam. Namun, ada juga yang membaca pada hari-hari lainnya. Umat muslim memaknai pembacaan surat al-Kahfi pertama hanyalah sebagai ibadah untuk meraih pahala dari Allah, kemudian sebagai bentuk perlindungan diri dari fitnah dajjal, dan untuk mendapatkan ketenangan dan  ketentraman hati. 
Nusyuz dalam Al-Qur’an Zainuddin Zainuddin; Ummi Khoiriah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.719 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v1i1.8069

Abstract

Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman with the aim of forming a happy and eternal family based on the One Godhead. In married life, the husband is responsible for fulfilling the rights of his wife, and vice versa for the creation of a sakinah, mawaddah wa rahmah family. However, what is common between husband and wife interactions is disputes over nusyuz. The method used in this discussion is the maudhu'i method. The results of this study are the completion of the wife's nusyuz in Surat al-Nisa': 34 which is touching advice from the husband, the husband's neglect of his wife in bed not outside the room or outside the house, and hitting with a blow that is not painful, does not leave an impression and not on the face. However, if the first method succeeds in making the wife return to obedience, the husband does not need to use the second or third step. While the completion of the husband's nusyuz in the letter al-Nisa ': 128 is the peace that is expected to emerge from the wife. The wife gave up some of her rights over her husband not to be fulfilled so that the ties of marriage between the two remained intertwined. Both are balanced when viewed from the goal to be achieved, namely maintaining the integrity of the household. However, the difference in the method cannot be said to be wrong, because the nature of men and women are basically different. So, the solution to the problem is also different according to the needs of both. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan berumah tangga, suami bertanggungjawab memenuhi hak istrinya, begitu juga sebaliknya demi terciptanya keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun, lazim terjadi di antara interaksi suami dan istri adalah perselisihan karena nusyuz. Metode yang digunakan dalam pembahasan ini adalah metode maudhu’i. Hasil dari penelitian ini adalah penyelesaian nusyuz istri pada surat al-Nisa’: 34 ialah nasihat yang menyentuh dari suami, pengabaian suami kepada istri di tempat tidur bukan di luar kamar ataupun di luar rumah, dan memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tidak membekas serta bukan di wajah. Namun, jika cara pertama berhasil membuat istri kembali taat, suami tidak perlu menggunakan langkah kedua maupun ketiga. Sedangkan penyelesaian nusyuz suami pada surat al-Nisa’: 128 yaitu perdamaian yang diharapkan muncul dari istri. Istri merelakan sebagian haknya atas suami tidak ditunaikan agar ikatan pernikahan keduanya tetap terjalin. Keduanya seimbang jika dilihat dari tujuan yang ingin dicapai, yaitu mempertahankan keutuhan rumah tangga. Namun, perbedaan cara tersebut juga tidak dapat dikatakan salah, karena tabiat laki-laki dan perempuan pada dasarnya berbeda. Maka, penyelesaian masalah juga berbeda menyesuaikan kebutuhan keduanya.
Bai’at dalam Al-Qur’an menurut Pandangan Ibnu Katsir Samsul Bahri; Zainuddin Zainuddin; Muhammad Husni bin Ismail
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13178

Abstract

Bai'at is one way to show a person's form of obedience to his leader. An incomplete understanding of bai'at can cause slander among Muslims. Moving on from the problem above, the author will examine Ibn Kathir's interpretation of the verses of bai'at. This research is bibliographic and data collection is done through the mauḍū'ī method. The results of the study show that the person who betrays the bai'at to the leader on the basis of obeying Allah and the Messenger, then Allah will inflict punishment on him, on the other hand, for those who obey the bai'at in matters that are ma'ruf on the basis of obeying Allah and the Messenger, then he will get a reward from Allah swt. Imam Ibn Kathir interprets the verse of bai'at as meaning "whoever obeys the apostle, then he has obeyed Allah." Bai’at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinya. Pemahaman yang tidak utuh terhadap bai’at dapat menimbulkan fitnah di antara umat islam. Beranjak dari persoalan di atas, penulis akan mengkaji tentang penafsiarn Ibnu Katsir terhadap ayat-ayat bai’at. Penelitian ini bersifat kepustakaan dan dalam pengumpulan data dilakukan melalui metode mauḍū’ī. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Orang yang mengkhianati bai’at terhadap pemimpin atas dasar mentaati Allah dan Rasul, maka Allah akan menimpa azab baginya, sebaliknya bagi yang mentaati bai’at dalam hal yang ma’ruf atas dasar menaati Allah dan Rasul, maka ia akan beroleh balasan pahala dari Allah Swt. Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat bai’at sama artinya dengan “barangsiapa mentaati rasul, maka dia telah menaati Allah.”
Pembelajaran Tafsir Di Dayah Ummul Ayman Samalanga Zainuddin Zainuddin; Zyaul Haqqi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.137 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9200

Abstract

Dayah Ummul Ayman is one of the largest dayah in Aceh. The teaching of tafsir in this dayah is carried out through dayah curriculum and adapted to the abilities of students. Standardization of teaching is based on the design of the subject of interpretation which is taught according to the level of learning ability of students. On the basis of this phenomenon, there are three issues discussed in this study; first, how is the pattern of learning tafsir used in Dayah Ummul Ayman; second, how is the understanding of Dayah Ummul Ayman's students in understanding of tafsir; third, what are the opportunities and challenges of the students' ability in applying learning of tafsir to Dayah Ummul Ayman. This paper shows that tafsir learning at Dayah Ummul Ayman is carried out by learning in an integrated and separate system, with learning methods such as question and answer, repetition and demonstration. The understanding of students in mastering the material of tafsir is limited to one book of tafsir, namely tafsir al-Jalalain. Santri and teachers (teungku) do not have difficulties in the learning process, but sometimes there are long discussions off-topic. Another challenge is that the students lack mastery of qawai'd tafsir because the learning only focuses on the text of the al-Jalalain commentary, whereas translation and understanding are explained by the teacher. Dayah Ummul Ayman merupakan salah satu dayah terbesar di Aceh. Pembelajaran tafsir pada dayah ini dilakukan melalui kurikulum dayah yang disesuaikan dengan kemampuan santri. Standarisasi pengajaran didasari pada rancangan mata pelajaran tafsir yang diajarkan menurut tingkat kemampuan belajar santri. Atas dasar fenomena tersebut, ada tiga persoalan yang dibahas dalam kajian ini; pertama, bagaimana pola pembelajaran tafsir yang digunakan pada Dayah Ummul Ayman; kedua, bagaimana pemahaman santri Dayah Ummul Ayman dalam memahami tafsir; ketiga, bagaimana peluang dan tantangan kemampuan santri dalam menerapkan pembelajaran tafsir pada Dayah Ummul Ayman. Tulisan ini menunjukkan bahwa pembelajaran tafsir di Dayah Ummul Ayman dilaksanakan dengan belajar secara terpadu dan terpisah, dengan metode belajar seperti tanya jawab, pengulangan dan demontrasi. Pemahaman santri dalam menguasai materi tafsir terbatas pada satu kitab tafsir saja yaitu tafsir al-Jalalain. Santri dan guru (teungku) tidak memiliki kesulitan dalam proses pembelajaran, namun terkadang ada pembahasan yang panjang di luar topik. Tantangan lainnya adalah santri kurang menguasai qawai’d tafsir karena pembelajaran hanya terfokus pada teks kitab tafsir al-Jalalain, terjemahan dan pemahaman yang dijelaskan guru.
Peran dan Sikap Nabi Ya’qub dalam Mengembangkan Karakter Anak Perspektif Al-Qur’an Naili Zhafirah; Zainuddin Zainuddin
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i1.12566

Abstract

The role and attitude of an ideal father is as the Qur'an describes through the dialogue between the Prophet Ya'qub and his children. A father must be able to develop the character of his children with an educational role and attitude. The reality of today's society is contrary to the concept of the Qur'an, the father who is expected to become an educator is actually a figure who damages the image of the child through several cases of incest relationships. Therefore, this article discusses the role and attitude of Prophet Ya'qub in developing the character of his children, its impact and the actualization of the role and attitude of Prophet Ya'qub in developing the character of children in the present. This article is literature research using the maudhu'i method. The data were analyzed descriptively and analytically. This article shows that: first, in developing the character of the child, the Prophet Ya'qub was able to act as an open, loving, caring, listening and protecting communicator for his children and as avoidance of conflicts in the family. Secondly, the impact of the role and attitude of the Prophet Ya'qub towards his children was the formation of a positive character, his children dared to admit his mistakes in the past. Third, The actualization of Ya'qub's role and attitude can be done by reflecting on Ya'qub. A father is able to establish close and familiar communication with children and is able to establish a patient and forgiving attitude towards his children. Peran dan sikap seorang ayah ideal adalah sebagaimana yang digambarkan al-Qur`an melalui dialog antara Nabi Ya’qub dengan anak-anaknya. Seorang ayah harus mampu mengembangkan karakter anak-anaknya dengan peran dan sikap yang mendidik. Realita masyarakat zaman sekarang bertolak belakang dengan konsep al-Qur`an, ayah yang diharap menjadi pendidik justru menjadi sosok yang merusak citra anak melalui beberapa kasus hubungan incest. Oleh karena itu, Artikel ini membahas peran dan sikap Nabi Ya’qub dalam mengembangkan karakter anak-anaknya, dampaknya dan aktualisasi peran dan sikap Nabi Ya’qub dalam mengembangkan karakter anak-anak pada masa sekarang. Artikel ini merupakan  penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode maudhu’i. Data dianalisis secara deskriptif analitis. Artikel ini menunjukkan bahwa dalam mengembangkan karakter anak, Nabi Ya’qub mampu berperan sebagai penjalin komunikasi yang terbuka, pengasih, penyayang, pendengar dan pelindung bagi anak-anaknya serta sebagai penghindar dari terjadi konflik di dalam keluarga. Dampak peran dan sikap Nabi Ya’qub terhadap anak-anaknya terbentuknya karakter positif, anak-anaknya berani mengakui kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Aktualisasi peran dan sikap Ya’qub dapat dilakukan dengan bercermin pada Ya’qub, ia mampu menjalin komunikasi yang dekat dan akrab dengan anak-anak dan mampu membangun sikap sabar dan pemaaf terhadap anak-anaknya. 
Islah Dalam Pemahaman Qur’an Hadis Zainuddin Zainuddin
Jurnal Ilmiah Al-Mu ashirah Vol 19, No 2 (2022)
Publisher : Forum Intelektual Qur'an dan Hadits Asia Tenggara (SEARFIQH) Kota Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jim.v19i2.14058

Abstract

Islah is a term found in the Qur'an and the hadith of the Prophet. Islah comes from the word Ashlaha-yushlihu-ishlahan, which means repair, safety and peace. Islah according to the Qur'an is a person who always reads the Qur'an, remembrance and prayer in the quiet night. Performing islah is doing good deeds in a calm manner and state that can benefit oneself and others. Like the state of a person doing night prayers, it is a reform that is very beneficial to himself and gives good to others, because it can prevent evil deeds and provide good for safety and peace. So something can be seen as reform if it serves to bring value and benefits. On the other hand, acts that cause harm are not called reforms. Thus, the measure of a good or bad charity lies in the value of the benefits or harms it contains. Islah adalah suatu term yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis rasulullah saw. Islah berasal dari kata Ashlaha-yushlihu-ishlahan, yang artinya perbaikan, keselamatan dan perdamaian. Islah menurut al-Qur’an adalah orang yang senatiasa membaca al-Qur’an, zikir dan shalat di waktu malam yang tenang. Melaksanakan islah adalah melakukan perbuatan yang baik dengan cara dan keadaan tenang yang dapat memberi manfaat pada dirinya dan orang lain. Seperti keadaan seseorang mengerjakan shalat malam, adalah suatu islah yang sangat bermanfaat kepada dirinya dan memberi kebaikan kepada orang lain, karena dapat mencegah perbuatan mungkar dan memberikan kebaikan untuk keselamatan dan perdamaian. Maka sesuatu dapat dipandang sebagai islah jika ia berfungsi mendatangkan nilai manfaat. Sebaliknya, perbuatan yang menimbulkan mudarat, tidak dinamakan islah. Dengan demikian, tolok ukur suatu amal baik atau tidak adalah terletak pada nilai manfaat atau mudarat yang dikandungnya.
Tafsir Al-Qur’an tentang Jual Beli Zainuddin Zainuddin
Jurnal Ilmiah Al-Mu'ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif Vol 17, No 2 (2020)
Publisher : Forum Intelektual Qur'an dan Hadits Asia Tenggara (SEARFIQH) Kota Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jim.v17i2.9240

Abstract

The views of the commentators on buying and selling in surah Al-Baqarah verse 275 are interesting to study. Why does Allah repeat the parable of the ignorant Arab society before? It may be that a parable is a form of reality that exists and is not different until now. That is why it is so important that God talks about buying and selling and his position. The analyzes of the commentators are very diverse. Practical facts in the field about buying and selling and usury have not been quietly talked about throughout the ages. This study uses the method of tahlili, one central verse is discussed in detail, through a tafsir approach. The main sources in this study are tafsir books to know the sale and purchase according to the commentators. The result of this finding is that God wants trading to be completely lawful, free from the practice of usury, financial monopolies, and unilateral risk-bearing so that in the practice of trading, the principles of oneness, humanity, justice, and peace are established. AbstrakPandangan  para mufasir mengenai jual beli dalam surah Al-Baqarah ayat 275 menarik untuk dikaji. Mengapa Allah menyebut kembali perumpamaan masyarakat Arab jahiliyah dahulu. Bisa jadi permisalan tersebut merupakan bentuk kenyataan yang ada dan tidak berbeda sampai saat ini. Karenanya begitu penting Allah membicarakan tentang jual beli dan kedudukannya. Analisa-analisa para mufassir sangat beragam. Kenyataan praktik di lapangan tentang jual beli dan riba tidak sepi dibicarakan sepanjang zaman. Kajian ini menggunakan metode tahlili, satu ayat sentral dibahas secara rinci, melalui pendekatan tafsir. Sumber utama dalam kajian ini adalah kitab-kitab tafsir dengan tujuan hendak mengetahui jual beli menurut para mufasir. Hasil temuan ini adalah bahwa Allah menginginkan jual beli benar-benar halal, terhindar dari praktik riba, monopoli keuangan, dan penanggungan resiko sepihak sehingga di dalam praktik jual beli terbangun prinsip ketauhidan, kemanusiaan, keadilan dan kedamaian.