Auliya Khasanofa
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KEDUDUKAN PERPPU ORMAS DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA Auliya Khasanofa
Jurnal Hukum Replik Vol 5, No 2 (2017): JURNAL HUKUM REPLIK
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (87.244 KB) | DOI: 10.31000/jhr.v5i2.922

Abstract

Salah satu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang dibentuk oleh Presiden Jokowi adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) pada tanggal 10 Juli 2017. Perppu Ormas ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagai tindak lanjut dari Perppu Ormas Pada tanggal 19 Juli 2017, Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum sekaligus membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pemerintah menilai bahwa HTI telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat serta diduga merongrong keberadaan Pancasila dan UUD. Pokok-pokok dalam Perppu Ormas yang kontradiktif terhadap negara hukum yakni tindakan yang represif terhadap Ormas, akan membelenggu dan menjadi ‘senjata pemusnah massal’. Kelompok atau perkumpulan organisasi masyarakat akan semakin ketakutan, menimbulkan kewaspadaan, melahirkan perlawanan, muncul kebencian atau permusuhan kepada pemerintah, dan semakin menjauhkan diri dari peran serta civil society dalam memajukan bangsa dan negara. Pada akhirnya, negara menjadi superior terhadap Ormas ketika dipandang secara sepihak maupun subyektif melakukan perbuatan yang menyimpang. Hal yang demikian jika dibiarkan, akan menjadi suasana tidak kondusif bagi negara hukum yang menjunjung nilai-nilai HAM. Selain gesekan yang bersifat horizontal, secara perlahan akan mengarahkan kepada gesekan atau konflik vertikal, yakni pengurus atau anggota ormas melawan negara. Hal demikian justru akan merusak tatanan bernegara, dalam konteks esensi negara hukum (rechtstaat) yang berubah menjadi negara kekuasaan (machtstaats).   Kata Kunci : Perppu, Organisasi Masyarakat, Negara Hukum Indonesia
KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UJI MATERI PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 20 TAHUN 2018 TENTANG LARANGAN CALEG EKS KORUPTOR (Studi Putusan No: 46 P/HUM/2018) Abdul Syukur Yakub; Auliya Khasanofa
Jurnal Hukum Replik Vol 7, No 2 (2019): JURNAL HUKUM REPLIK
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31000/jhr.v7i2.2935

Abstract

ABSTRAK Kewenangan Mahkamah Agung terhadap uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor 20 tahun 2018 yang tertuang dalam putusan nomor 48 P/HUM/2018 telah memberi ruang bagi mantan koruptor (pelaku kejahatan luar biasa) untuk menjadi calon anggota legislatif. Penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif empiris. Penelitian normatif membahas kaidah, doktrin dan asas hukum yang secara luas terdapat dalam ilmu hukum. Penelitian empiris dilakukan penulis sebagai dukungan terhadap pendekatan undang-undang yang umumnya bersifat normatif. Sehingga penelitian tidak menampilkan hukum dalam bentuk yang statis dan kontekstual, melainkan menyajikan fakta sebenarnya dalam penerapan hukum yang faktual. Data primer diperoleh langsung oleh penulis dari tempat yang menjadi objek penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh penulis dari kajian kepustakaan, bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data bersifat deskriptif dengan menerapkan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: Pertama, hakim harus keluar dari kekakuan hukum yang cenderung legisme, serta penafsiran gramatikal tanpa memahami rasa keadilan masyarakat luas. Kedua, harus dilakukan perubahan norma dalam undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terutama pasal 55 dan perubahan terhadap undang-undang pemilu yang mengatur pembatasan bagi mantan narapidana kejahatan luar biasa seperti: korupsi, narkotika, kekerasan terhadap anak. Kata Kunci: Kewenangan, Mahkamah Agung, Uji Materi Calon LegislatifABSTRACT The authority of the Supreme Court on the judicial review of the Election Commission Regulation number 20 of 2018 as stipulated in decision number 48 P / HUM / 2018 has given space for former corruptors (extraordinary criminals) to become candidates for legislative members. This research uses empirical normative legal research. Normative research discusses the rules, doctrines and principles of law that are widely contained in the science of law. The author's empirical research as support for the law approach is generally normative in nature. So that research does not display the law in a static and contextual form, but presents the actual facts in the application of factual law. Primary data obtained directly by the writer from the place that is the object of research. Whereas the secondary data were obtained by the writer from the literature study, primary, secondary and tertiary legal materials. Data analysis is descriptive by applying qualitative methods. The results showed that: First, judges must get out of the rigidity of the law that tends to legism, and grammatical interpretation without understanding the sense of justice of the wider community. Second, changes must be made to norms in law number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, especially article 55 and changes to the electoral law which regulates restrictions on ex-convicts of extraordinary crimes such as: corruption, narcotics, violence against children. Keywords: Authority, Supreme Court, Judicial Review of Legislative Candidates.
PUBLIC SPACE PARTICIPATION IN LAW ENFORCEMENT AGAINST SERIOUS HUMAN RIGHTS VIOLATIONS IN DISCOURSE PERSPECTIVE JÜRGEN HABERMAS Abdul Kadir; Fachri Aldifara Kurnia; Dwi Nur Fauziah Ahmad; Auliya Khasanofa; Ulil Albab
Indonesian Journal of Law and Policy Studies Vol 3, No 1 (2022): Indonesian Journal of Law and Policy Studies
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31000/ijlp.v3i1.6455

Abstract

This writing aims to analyze the background of the public sphere's participation in resolving cases of gross human rights violations by using the public sphere discourse of Jurgen Habermas. The method used in writing is a normative juridical approach. The point is that this research focuses more on literature studies and news studies, documentary studies on the provisions of laws and regulations. The results of this paper show that the factors that cause serious human rights cases cannot be legally resolved because of the very dominant political element in the settlement, such as this serious human rights case will be used as an advantage for practical political interests five years, and also the average perpetrators of gross human rights violations are currently an important element in the current Indonesian government. In this case, the element of public space should play an important role in resolving these gross human rights violations, in the theory of public space discus according to Jurgen Habermas, so that social problems such as legal problems can be resolved intersubjectively between the system and the public sphere, and the results obtained through consensus can be accepted. Intersubjectively without putting aside each opinion, Habermas proposes his concept of communicative discourse as a discourse that must be tested first in a communicative ratio. In the settlement of serious human rights cases, it is still possible to be resolved legally by involving the public sphere, because according to Habermas every social problem such as law can be resolved through communicative action. KEYWORDS: Communicative Ratio, Law, Serious Human Rights Cases, Public Space