Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Implementasi Pencapaian Secara Progresif dalam Omnibus Law Cipta Kerja Agus Suntoro
Jurnal HAM Vol 12, No 1 (2021): April Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (387.869 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.1-18

Abstract

Pemerintah bersama DPR membentuk omnibus law melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, regulasi ini ditujukan untuk peningkatan ekosistem investasi dengan merubah, menghapus dan membentuk norma baru dari berbagai regulasi sektoral. Proses penyusunan regulasi dinilai tertutup, publik baru mengetahui norma-norma ketika naskah akademik dan draf disampaikan kepada DPR pada 12 Februari 2020, ternyata substansi omnibus law berimplikasi pada potensi pemunduran dalam perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan pada hal tersebut, penelitian ini akan menjawab rumusan masalah: (1) bagaimana konsepsi progressive realization dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya; (2) bagaimana pandangan terhadap muatan omnibus law Cipta Kerja yang bersinggungan dengan hak asasi manusia. Metode penelitian yang dilakukan adalah kualitatif dengan penyajian deskriptif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan keterangan anggota parlemen, akademisi/ahli, dan aktivis, sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa (a) implementasi progressive realization yang seharusnya menuju pada pemenuhan hak secara penuh dalam bidang ekosob justru mengalami pemunduran; (b) secara substansi materi dalam omnibus law masih mengabaikan norma hak asasi manusia terutama indikasi penurunan kondisi layak dan adil dalam aspek ketenagakerjaan, sumber daya alam dan lingkungan hidup. 
Tinjauan Hak Asasi Manusia terhadap Regulasi Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum Agus Suntoro
Jurnal HAM Vol 10, No 2 (2019): Edisi Desember
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.534 KB) | DOI: 10.30641/ham.2019.10.217-232

Abstract

Keberadaan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memberikan legitimasi dan dukungan percepatan pelaksanaan proyek pembangunan infrastruktur yang sedang masif dilakukan pemerintah. Meskipun demikian, secara empiris terdapat implikasi yang bersinggungan dengan hak asasi manusia terutama dalam aspek pengadaan tanah. Data pengaduan di Komnas HAM berkait kasus infrastruktur menjadi indikasi akan persoalan tersebut.  Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melihat norma-norma yang terkandung dalam UU No. 2/2012 dari prespektif HAM dengan mendasarkan pada instrumen dan prinsip hak asasi manusia, termasuk tanggung jawab dengan korporasi/BUMN selaku pelaksana. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, pendekatan deskriptif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terarah terhadap korban, pemerintah dan ahli, sedangkan data sekunder bersumber dari berbagai literatur. Hasil penelitian ini mengungkapkan norma hak asasi manusia belum menjadi rujukan terutama menyangkut (a) persoalan ruang lingkup dan definisi kepentingan umum sehingga objek pengadaan menjadi sangat luas; (b) reduksi terhadap makna dan substansi musyawarah dalam pengadaan tanah; (c) persoalan kelembagaan dan hasil penilaian oleh appraisal yang mempengaruhi ganti kerugian; (d) menguatnya prosedur formal melalui pengadilan bagi warga yang mempertahankan hak-haknya.
Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum: Perspektif HAM Agus Suntoro
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 (2019): Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (435.089 KB) | DOI: 10.31292/jb.v5i1.316

Abstract

Abstract: The construction was the one of the realization of human rights, including the role of infrastructure development which was need the land. The implication was the land procurement for the public interest that have an impact on the improvement of agrarian conflicts, especially influenced by the damages assessed factors not yet viable and fair. This research was conducted to describe (1) how regulatory aspects in law number 2 of 2012 that govern the land procurement in formulating viable and fair criteria, and (2) how the assessment was conducted by the appraisal (The office of Public Assesor Agent), was given the authority to conduct an assessment of attributive replace losses seen in the perspective of human rights. This study uses qualitative methods. Primary data collection was done by interviews directed and secondary data was sourced from a variety of literature. The results of this research was the regulation of viable and equitable damages in law number 2, of 2012 was still unclear the message and in accordance with human rights norms. This was the case in the assessment aspect of damages has not been standard. This discrepancy has to do with the essence of viable and equitable reimbursement for items that have a restoration effort in school victims both material and immaterial, to rise up and to fulfill their right.Keywords: Land acquisition, infrastructure development, compensation, human rights, Indonesia.Intisari: Pembangunan merupakan perwujudan hak asasi manusia, termasuk pembangunan infrastruktur yang membutuhkan tanah. Implikasinya pengadaan tanah bagi kepentingan umum berdampak pada peningkatan konflik agraria, terutama dipengaruhi faktor ganti kerugian yang dinilai belum layak dan adil. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan (1) bagaimana aspek regulasi dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terkait rumusan kriteria layak dan adil, dan (2) bagaimana penilaian dilakukan oleh appraisal Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang diberikan kewenangan atributif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terarah dan data sekunder bersumber dari berbagai literatur. Hasil penelitian ini menunjukan regulasi ganti kerugian layak dan adil dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 belum jelas kriterianya dan sesuai dengan norma hak asasi manusia. Demikian halnya dalam aspek penilaian ganti kerugian belum ada standar dan instrumen baku. Ketidaksesuaian ini berkaitan dengan esensi layak dan adil yang memiliki unsur penggantian untuk upaya pemulihan korban terdampak baik, bersifat material dan imaterial agar mampu bangkit dan terpenuhi hak asasinya.Kata kunci: Pengadaan tanah, pembangunan infrastruktur, ganti kerugian, HAM, Indonesia.
Penerapan Asas dan Norma Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (The Application of Human Rights Principles and Norm in the Law on Combating Criminal Acts of Terrorism) Agus Suntoro
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 11, No 1 (2020): JNH Vol 11 No 1 Juni 2020
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1048.375 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v11i1.1371

Abstract

The upsurge of terror attacks in various regions of Indonesia in 2018, gave rise to the government and parliament effort to immediately revise Law No. 15 of 2003, which was considered inadequate in eradicating criminal acts of terrorism. The awareness of all parties involved ultimately accelerates the dynamics of the legislation process. Finally, on June 21, 2018 President Joko Widodo passed Law No. 5 of 2018 as a stronger basis in eradicating criminal acts of terrorism and seeking to proportionally protect human rights. Against those backgrounds, this study will look at (a) the legislation process in the formation of Law No. 5 of 2018, and (b) review of the practice of human rights principles and norms of Law No. 5 of 2018. This study uses a qualitative method, with descriptive normative presentation. Primary data sources are based on interviews with the Chairperson of the Working Committee of Bill on Terrorism, human rights activists, and government representatives. The results of this study indicate that legally in the legislation process Law No. 5 of 2018 fulfills the established procedures, but the principles and norms of human rights have not become the main reference in the formation of legal material, especially the issue of arrest, detention, the changing from material to formal offences, interception, and inconsistency of criminal justice system through military involvement. Based on this, we need to encourage a limited revision of Law No. 5 of 2018, so that the eradication of terrorism is stronger and human rights principles are respected, as an embodiment of a democratic rule of law. AbstrakPeningkatan aksi teror pada 2018, mendorong pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU No. 15 Tahun 2003 yang dinilai tidak cukup memadai dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kesadaran semua pihak telah mempercepat proses legislasi dan pada 21 Juni 2018 Presiden Joko Widodo mengesahkan UU No. 5 Tahun 2018. UU hasil revisi ini diharapkan lebih memperkokoh dasar pemberantasan tindak pidana terorisme dan melindungi HAM secara lebih proposional. Bertitik tolak pada hal tersebut, kajian ini akan melihat proses legislasi dalam pembentukan UU No. 5 Tahun 2018 dan meninjau penerapan asas dan norma HAM dalam UU No. 5 Tahun 2018. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penyajian deskriptif normatif. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan Ketua Panja RUU Terorisme, aktivis HAM, dan perwakilan pemerintah. Hasil kajian menunjukkan, secara legal formal, proses legislasi UU No. 5 Tahun 2018 memenuhi prosedur yang ditetapkan, namun dari aspek substansial masih belum sepenuhnya selaras dengan asas dan norma HAM, terutama persoalan penangkapan, penahanan, perubahan delik materiil menjadi formil, penyadapan, dan inkonsistensi criminal justice system melalui pelibatan militer. Berdasarkan hal tersebut, revisi terbatas terhadap UU No. 5 Tahun 2018 perlu dilakukan agar penegakan hukum pemberantasan terorisme lebih kuat dan HAM dijunjung tinggi sebagai perwujudan negara hukum demokratis.