RANA FARRASATI
Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pengaruh Fluktuasi Muka Air Tanah Terhadap Pelepah Bawah Mengering (Low Frond Desiccation) Kelapa Sawit di Lahan Gambut Labuhan Batu, Sumatera Utara Winarna; RANA FARRASATI; Agus Susanto
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit Vol 28 No 2 (2020): Jurnal Penelitian Kelapa Sawit
Publisher : Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22302/iopri.jur.jpks.v28i2.114

Abstract

Masalah tanaman kelapa sawit berupa kering pelepah bagian bawah (low frond desiccation/LFD) sering terjadi pada lahan gambut. Kejadian ini umumnya dikaitkan dengan kondisi fluktuasi muka air tanah gambut yang berpengaruh terhadap kelembaban tanah gambut dan ketersediaan serta serapan hara oleh tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan LFD, faktor-faktor penyebab dan upaya pencegahan atau pemulihannya. Kajian LFD telah dilakukan di perkebunan kelapa sawit di lahan gambut daerah Labuhan Batu, Sumatera Utara. Pengamatan meliputi fluktuasi muka air tanah, kondisi kelembaban tanah, sifat kimia tanah, serapan hara daun, pertumbuhan dan produksi tanaman dilakukan pada blok tanaman normal dan blok tanaman mengalami LFD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya penurunan muka air tanah gambut secara drastis pada saat bulan kering berdampak terhadap penurunan kelembaban gambut, bahkan hingga tanah gambut mengering. Kondisi pengeringan gambut menyebabkan ketersediaan hara dalam tanah dan serapan hara menurun secara nyata, sehingga memicu terjadinya LFD. Serapan hara tanaman yang mengalami LFD berat menurun dengan kisaran penurunan sebesar 25 – 41% untuk hara makro dan 22 – 53% untuk serapan hara mikro. Kondisi LFD berat secara nyata menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Penurunan produksi dapat mencapai 27% per tahun dibandingkan dengan tanaman normal. Tanaman mengalami LFD dapat berangsur pulih dengan penerapan water management yang efektif, kontinyu dan terkontrol melalui pengelolaan muka air tanah pada kisaran kedalaman 40-60 cm pada blok tanaman.
C-organik Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit Sumatera Utara: Status dan Hubungan dengan Beberapa Sifat Kimia Tanah Rana Farrasati; Iput Pradiko; Suroso Rahutomo; Edy Sigit Sutarta; Heri Santoso; Fandi Hidayat
Jurnal Tanah dan Iklim (Indonesian Soil and Climate Journal) Vol 43, No 2 (2019)
Publisher : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jti.v43n2.2019.157-165

Abstract

Abstrak. C-organik tanah pada perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan salah satu parameter keberlanjutan ekosistem dan kesuburan tanah. Perubahan sifat kimia tanah yang dinamis tidak lepas dari proses biogeokimia dari mineralisasi dan pelapukan bahan organik menjadi C-organik tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji status C-organik tanah serta kaitannya dengan sifat kimia tanah lainnya dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2009 sampai tahun 2014 di perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara, dengan jenis tanah Inceptisols dan Ultisols. Metode pengambilan sampel menggunakan purposive random sampling. Data dianalisis menggunakan uji komparatif T- paired antara kebun yang diamati pada tahun 2009 dan 2014 untuk melihat perubahan nilai C-organik, dan parameter sifat kimia tanah. Uji korelasi dilakukan untuk melihat keterkaitan antara C-organik dengan parameter sifat kimia tanah lainnya, yaitu kadar N, kejenuhan Al, pH, dan kapasitas tukar kation (KTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 25 kebun pengamatan, nilai C-organik dari 3 kebun meningkat dan 6 kebun menurun secara signifikan, sedangkan 16 lainnya tidak berbeda nyata. Dalam periode 5 tahun, kandungan C-organik tanah cenderung fluktuatif namun tetap berada pada kelas yang sama dengan kisaran rendah hingga sedang (<1,75%). Peningkatan nilai C-organik hanya berkorelasi linier dan nyata dengan N pada tanah Inceptisols (r = 0,392). Sedangkan, pada tanah Ultisols, peningkatan C-organik tanah secara nyata diikuti dengan penurunan nilai pH (r = -0,141). 
Prediksi Kemampuan Adaptasi Delapan Varietas Kelapa Sawit pada Cekaman Abiotik Akibat Perubahan Iklim Global Sujadi Sujadi; Iput Pradiko; Suroso Rahutomo; Rana Farrasati
Jurnal Tanah dan Iklim (Indonesian Soil and Climate Journal) Vol 44, No 2 (2020)
Publisher : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jti.v44n2.2020.129-139

Abstract

Abstrak. Perubahan iklim global di masa depan diperkirakan akan menyebabkan kenaikan suhu dan perubahan pola curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, tidak terkecuali pada wilayah Adolina, Marihat, dan Bah Birong Ulu, Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak perubahan iklim di masa depan terhadap perubahan kesesuaian lahan untuk kelapa sawit dan kemampuan adaptasi varietas kelapa sawit Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) serta merekomendasikan upaya-upaya yang menjadi bagian dari proses adaptasi dan mitigasi di perkebunan kelapa sawit. Obyek studi adalah delapan varietas kelapa sawit produksi PPKS yaitu Avros, Dumpy, LaMe, Langkat, PPKS 540, PPKS 718, Simalungun, dan Yangambi. Data durasi fase perkembangan buah dan karakteristik morfologi delapan varietas tersebut diperoleh dari penelitian sebelumnya. Data produksi bulanan bersumber dari hasil pengamatan selama 2016-2018 pada kelapa sawit berumur 15 tahun di Adolina (10 m dpl), Marihat (369 m dpl), dan Bah Birong Ulu (900 m dpl). Data iklim antara tahun 1989-2018 di ketiga lokasi tersebut digunakan sebagai baseline, sedangkan data skenario perubahan iklim bersumber dari kajian literatur. Hasil kajian menunjukkan bahwa varietas yang memiliki durasi fase perkembangan tandan lebih cepat (Dumpy, Avros, dan PPKS 540) diprediksi lebih mudah beradaptasi dengan kenaikan suhu udara. Varietas Dumpy diprediksi lebih sesuai ditanam di wilayah yang lebih basah, sebaliknya Lame, Langkat, PPKS 540, dan Simalungun diprediksi adaptif pada wilayah yang lebih kering. Sebagai langkah adaptasi dan mitigasi, diperlukan varietas baru yang memiliki karakter toleran terhadap suhu tinggi dan kekeringan, toleran hama/penyakit, dan high nutrient use efficiency. Selain itu, diperlukan juga penyesuaian kultur teknis yang utamanya terkait dengan konservasi tanah dan air serta antisipasi outbreak serangan hama/penyakit.Abstract. In the future, global climate change is predicted to cause an increase in air temperature and change in rainfall pattern in most Indonesian regions. This study was aimed to analyse the impacts of global climate change on alteration of land suitability for oil palm and adaptability of Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI) oil palm varieties, as well as to recommend efforts for adaptation and mitigation in oil palm plantation. Objects of the study were eight oil palm varieties released by IOPRI, those were Avros, Dumpy, LaMe, Langkat, PPKS 540, PPKS 718, Simalungun, and Yangambi. Data of fruit development phases and morphological characters for the eight varieties were obtained from the previous study. Data of monthly yield were observed in 2016-2018 for 15 years old oil palm planted in Adolina (10 m asl), Marihat (369 m asl), and Bah Birung Ulu (900 m asl). Climate data in the period of 1989-2018 in each location were employed as a baseline, while scenario data of global climate change were from literature review. The results showed that varieties with shorter duration of fruit development phases (Dumpy, Avros, and PPKS 540) were predicted to be easier to adapt with an increase in air temperature. Variety of Dumpy was predicted to be more suitable in the area with higher rainfall, on the other hand, varieties of Lame, Langkat, PPKS 540, and Simalungun were predicted to be more suitable for land with low rainfall. As a part of adaptation and mitigation process, it is necessary to assembly a new oil palm variety which has characters of tolerant to high temperature and drought, tolerant to pest and diseases, and high nutrient use efficiency. Furthermore, agronomic practices need to be adjusted mainly in the efforts to conserve soil and water as well as to anticipate the outbreak of pest and diseases.