Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Hiperreality Of Social Media: A Phenomenology Study of Self Confession of Housewives of Facebook Users Nur Laili Damayanti; Medhy Aginta Hidayat
The Journal of Society and Media Vol. 3 No. 2 (2019): Social Conflict in Society and Media
Publisher : Department of Social Science, Faculty of Social Science &Law, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/jsm.v3n2.p261-277

Abstract

The phenomenon of hyperreality that is occurring in the community is increasingly apparent through social media, especially mothers in Rengel Village. Hyperreality is formed by the existence of social media for housewives to get self-recognition through Facebook. The purpose of this study was to analyze the self-recognition of housewives using Facebook in Rengel Village, Tuban Regency. The theory used is Jean Baudrillard'sHyperreality theory that hyperreality is a symptom of the emergence of various artificial realities that are more real than the original. The method used in this research is qualitative research with a phenomenological study approach. Subject selection techniques in this study using purposive samples, data sources from this study used primary data and secondary data. Data analysis using data reduction, data models, concluding. And check the validity of the data using source triangulation. The results showed housewives get self-recognition through various ways, namely, through photo uploads using a beautiful camera so that results look perfect than reality, through Facebook status that shows everyday life in order to get a response from other Facebook users, through photos daily activities so that other Facebook users know what is being done every day and get responses from other Facebook users, through photos that are marked there are various beauty products to be more interested in the products offered.
Strangers at Home: Identity Negotiation Practices among Ethnic Chinese in Madura, Indonesia Medhy Aginta Hidayat; Mohtazul Farid
The Journal of Society and Media Vol. 5 No. 1 (2021): Life Changes in Social Life and Media
Publisher : Department of Social Science, Faculty of Social Science &Law, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/jsm.v5n1.p19-41

Abstract

This study examines the identity negotiation practices among ethnic Chinese in inter-ethnic relations in Madura, Indonesia. Even though ethnic Chinese have been living in Madura for quite a long time, they are still often considered as œstrangers by most of native Madurese. This study used qualitative data from literature review, field observations, and in-depth interviews with fifty informants of the ethnic Chinese who were born and lived in Madura. This study found that the practice of identity negotiation carried out by the ethnic Chinese in Madura includes several ways: using local language in daily conversation, changing their Chinese names into native Madurese names, practicing the Madurese indigenous cultural traditions in daily life, embracing Islam the majority religion of the native Madurese as their new religion, and marrying native Madurese men or women. The findings of this study corroborated prior studies that in unequal inter-ethnic relations, the ethnic minority often have to sacrifice themselves to be accepted by the ethnic majority. Moreover, ethnic minorities often have to negotiate identities, by hiding their master identity and highlighting other minor identities in order to be accepted and coexist with the ethnic majority.
Perlawanan Perempuan Pesantren Terhadap Poligami Kiai Di Madura Mohtazul Farid; Medhy Aginta Hidayat
Edukasi Islami : Jurnal Pendidikan Islam Vol 10, No 02 (2021): Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/ei.v10i01.1805

Abstract

Artikel ini menjelaskan tentang perlawanan perempuan pesantren terhadap poligami kiai di Madura. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi pergeseran cara berfikir perempuan Madura mengenai kehidupan keluarga. Status kiai yang istimewa dan budaya patriarki sangat mendukung praktik poligami kiai. Akan tetapi, hal itu mulai mendapat penolakan dan perlawanan dari perempuan. Menariknya, perlawanan justru muncul dari kalangan perempuan pesantren. Penelitian kualitatif ini, dilakukan di Kabupaten Pamekasan dan Bangkalan, Madura. Peneliti memilih dua kabupaten tersebut, karena mayoritas kiai yang berpoligami ada di dua kabupaten tersebut. Peneliti mewawancarai 10 informan. Terdiri dari Kiai yang berpoligami, perempuan dipoligami. Secara garis besar hasil penelitian mengungkapkan, perempuan yang dipoligami kiai mengalami kekerasan. Bentuk kekerasan lebih banyak bersifat psikologis dan mental. Antara lain, perempuan harus mengalami tekanan batin. Ada juga yang harus menelan janji palsu dari sang suami (kiai). Dalam menyikapi kekerasan batin itu, perempuan terpaksa melakukan perlawanan, baik secara terbuka maupun tertutup. Perempuan yang melawan secara tertutup, untuk menghindari hujatan keluarga dan masyarakat. Biasanya, perempuan tipe ini, lebih banyak perempuan pesantren. Peneliti merekomendasikan ada penelitian lain yang tidak tercover dalam penelitian ini. Misalnya, motif kiai berpoligami dengan wanita berusia sangat muda.
Amalgamasi etnik Tionghoa dan etnik Madura dalam konstruksi indentitas religius anak di Kabupaten Bangkalan Madura Dania Rahmatina; Medhy Aginta Hidayat
Gulawentah:Jurnal Studi Sosial Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Universitas PGRI Madiun

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25273/gulawentah.v6i2.10895

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui proses pembentukan identitas religius anak pada keluarga amalgamasi perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dan etnik Madura yang ada di Kabupaten Bangkalan. Penelitian ini menggunakan teori konstruksi sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengambilan subyek dalam penelitian menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi non-partisipan, wawancara tidak terstruktur dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2020 hingga September 2021. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembentukan identitas religius anak sangat dipengaruhi oleh peran keluarga, orang tua, teman bermain, sekolah, dan lingkungan masyarakat terdekat. Keluarga amalgamasi percampuran etnik Tionghoa dan etnik Madura memiliki empat pola dalam proses pembentukan identitas religius anak yaitu: (1) orang tua yang membebaskan anak untuk memilih agamanya sendiri; (2) orang tua yang menuntut anak untuk menganut agama yang sama dengan agama orang tua; (3) orang tua yang saling berbeda pendapat dalam pembentukan identitas religius anak; dan (4) anggota keluarga utama yang lain yang menentukan pilihan identitas religius si anak.
Dramaturgi Identitas Perempuan Penggemar Karya Fiksi Homoseksual (Boys Love) di Indonesia Mega Hidayati; Medhy Aginta Hidayat
Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jiis.v7i2.39338

Abstract

Artikel ini mengkaji praktik dramaturgi identitas fujoshi atau perempuan penggemar karya fiksi homoseksual (Boys Love) di Indonesia. Fujoshi adalah istilah bahasa Jepang yang berarti perempuan heteroseksual penggemar cerita fiksi homoseksual. Penelitian ini bertujuan menjelaskan bentuk-bentuk praktik dramaturgi identitas yang dilakukan oleh para fujoshi sebagai perempuan heteroseksual dan sekaligus penggemar karya fiksi homoseksual. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode netnografi. Data diperoleh melalui observasi terlibat dan wawancara mendalam terhadap 20 fujoshi. Data dianalisis dengan metode tematik untuk memahami pengalaman dramaturgi informan. Penelitian ini menemukan bahwa fujoshi melakukan praktik dramaturgi identitas dengan cara menampilkan identitas-ganda yang berbeda di dunia depan dan dunia belakang: di dunia depan tampil sebagai perempuan heteroseksual; di dunia belakang tampil sebagai pengkonsumsi cerita-cerita homoseksual. Karena posisinya yang minoritas, fujoshi seringkali menyembunyikan identitasnya sebagai penggemar karya fiksi homoseksual untuk menghindari label lesbian yang bermakna negatif. Lebih jauh, fujoshi melakukan praktik dramaturgi dan negosiasi identitas agar tetap dapat hidup harmonis dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang heteronormatif. 
Perlawanan Perempuan Pesantren Terhadap Poligami Kiai Di Madura Mohtazul Farid; Medhy Aginta Hidayat
Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 10 No. 02 (2021): Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/ei.v10i01.1805

Abstract

Artikel ini menjelaskan tentang perlawanan perempuan pesantren terhadap poligami kiai di Madura. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi pergeseran cara berfikir perempuan Madura mengenai kehidupan keluarga. Status kiai yang istimewa dan budaya patriarki sangat mendukung praktik poligami kiai. Akan tetapi, hal itu mulai mendapat penolakan dan perlawanan dari perempuan. Menariknya, perlawanan justru muncul dari kalangan perempuan pesantren. Penelitian kualitatif ini, dilakukan di Kabupaten Pamekasan dan Bangkalan, Madura. Peneliti memilih dua kabupaten tersebut, karena mayoritas kiai yang berpoligami ada di dua kabupaten tersebut. Peneliti mewawancarai 10 informan. Terdiri dari Kiai yang berpoligami, perempuan dipoligami. Secara garis besar hasil penelitian mengungkapkan, perempuan yang dipoligami kiai mengalami kekerasan. Bentuk kekerasan lebih banyak bersifat psikologis dan mental. Antara lain, perempuan harus mengalami tekanan batin. Ada juga yang harus menelan janji palsu dari sang suami (kiai). Dalam menyikapi kekerasan batin itu, perempuan terpaksa melakukan perlawanan, baik secara terbuka maupun tertutup. Perempuan yang melawan secara tertutup, untuk menghindari hujatan keluarga dan masyarakat. Biasanya, perempuan tipe ini, lebih banyak perempuan pesantren. Peneliti merekomendasikan ada penelitian lain yang tidak tercover dalam penelitian ini. Misalnya, motif kiai berpoligami dengan wanita berusia sangat muda.