Artikel ini menjelaskan tentang perlawanan perempuan pesantren terhadap poligami kiai di Madura. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi pergeseran cara berfikir perempuan Madura mengenai kehidupan keluarga. Status kiai yang istimewa dan budaya patriarki sangat mendukung praktik poligami kiai. Akan tetapi, hal itu mulai mendapat penolakan dan perlawanan dari perempuan. Menariknya, perlawanan justru muncul dari kalangan perempuan pesantren. Penelitian kualitatif ini, dilakukan di Kabupaten Pamekasan dan Bangkalan, Madura. Peneliti memilih dua kabupaten tersebut, karena mayoritas kiai yang berpoligami ada di dua kabupaten tersebut. Peneliti mewawancarai 10 informan. Terdiri dari Kiai yang berpoligami, perempuan dipoligami. Secara garis besar hasil penelitian mengungkapkan, perempuan yang dipoligami kiai mengalami kekerasan. Bentuk kekerasan lebih banyak bersifat psikologis dan mental. Antara lain, perempuan harus mengalami tekanan batin. Ada juga yang harus menelan janji palsu dari sang suami (kiai). Dalam menyikapi kekerasan batin itu, perempuan terpaksa melakukan perlawanan, baik secara terbuka maupun tertutup. Perempuan yang melawan secara tertutup, untuk menghindari hujatan keluarga dan masyarakat. Biasanya, perempuan tipe ini, lebih banyak perempuan pesantren. Peneliti merekomendasikan ada penelitian lain yang tidak tercover dalam penelitian ini. Misalnya, motif kiai berpoligami dengan wanita berusia sangat muda.
Copyrights © 2021