Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Mantra masyarakat Sasak: Kajian bentuk, fungsi, dan aspek teologi Agusman; Johan Mahyudi
Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 5 No. 2 (2021): Oktober
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/satwika.v5i2.17229

Abstract

Mantra dalam sejumlah literatur dan kajian dijelaskan sebagai ucapan atau perkataan yang memiliki fungsi, bentuk dan bisa mendatangkan kekuatan. Fungsinya bisa sebagai pengobatan, pelindung diri, pemikat, dan sebagainya. Bahasa  yang digunakan berbentuk perpaduan antara bahasa daerah dengan kalimat-kalimat islami yang memberikan aspek kesakralan. Namun demikian, terdapat seuatu yang berada di dalam mantra tersebut, yaitu aspek teologi atau pemahaman tentang Tuhan. Pemahaman tentang Tuhan itulah yang sesungguhnya memberikan implikasi terhadap fungsi atau kekuatan mantra tersebut. Dengan demikian, tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan aspek teologi dalam bentuk dan fungsi mantra yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat Sasak. Metode yang digunakan ialah kualitatif-etnografi dengan narasumber  2 orang tokoh adat, 2 orang dukun (tukang obat) dan 2 orang pemilik mantra yang diwawancarai untuk memperoleh sejarah serta contoh mantra. Hasil temuan yang diperoleh yaitu mantra ialah ucapan yang memiliki bentuk seperti pantun, teka-teki atau puisi dan berfungsi sebagai pengobatan, pelindung diri, berburu dan sebagainya serta bisa menghadirkan kekuatan. Kekuatan yang bisa didatangkan dari mantra tersebut harus didasarkan kepada kepercayaan tentang kekuasaan Allah SWT. Kepercayaan terhadap kekuasaan Allah SWT itulah yang merujuk kepada aspek teologi masyarakat yang tersusun dalam dimensi kepercayaan terhadap Allah SWT, Rasul, takdir, alam gaib dan janji serta ancaman Allah SWT.                               Mantra in a number of literatures and studies are described as sayings or words that have function, form and can bring power. Its function can be as treatment, self-protection, charm, and so on. The language used is in the form of a blend of regional languages ​​with Islamic sentences that provide a sacred aspect. However, there is something in the mantra, namely the theological aspect or understanding of God. The understanding of God that actually has implications for the function or power of the mantra. Thus, the purpose of this study is to describe the theological aspects in the form and function of mantra contained in the culture of the Sasak people. The method used is qualitative-ethnographic, with 2 traditional leaders, 2 shamans (medicines) and 2 mantra owners being interviewed to obtain the history and examples of mantra. The findings obtained are that mantra are utterances that have forms such as rhymes, riddles or poetry and function as treatment, self-protection, hunting and so on and can bring the power. The power that can be obtained from the mantra must be based on belief in the power of Allah SWT. This belief in the power of Allah SWT refers to the theological aspects of society which are structured in the dimensions of belief in Allah SWT, Rasul, Takdir, the supernatural things and the promises and threats of Allah SWT.
RANCANG BANGUN NASKAH LONTAR SEBAGAI SENI PERTUNJUKAN UNTUK SASTRA PARIWISATA Agusman; Muhammad Azizurrohman; Mashar
MABASAN Vol. 16 No. 1 (2022): Mabasan
Publisher : Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/mab.v16i1.476

Abstract

Keberadaan naskah kuno dalam bentuk naskah lontar belum dijadikan sebagai bahan pengembangan pariwisata secara komprehensif. Hal tersebut tampak pada beberapa kegiatan pariwisata budaya yang masih kurang pemanfaatan naskah kuno khususnya naskah lontar. Dengan demikian, tulisan ini membahas tentang naskah lontar Lombok dari sisi rancang bangun sebagai seni pertunjukan untuk sastra pariwisata.  Penelitian ini dilakukan di Lombok Tengah dengan dialek meriaq meriku, yaitu wilayah Pujut dan wilayah Bonjeruk (Jonggat) karena kedua daerah tersebut memiliki kebudayaan yang sama. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan etnografi dengan teknik wawancara yang ditujukan kepada tokoh adat dan budayawan. Data penelitian ini ialah deskrispsi naskah dan klasifikasi naskah berdasarkan tema yang profan dan sakral serta deskripsi mengenai rancang bangun naskah sebagai seni pertunjukan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 12 naskah (lontar) yang populer, yaitu Rengganis, Labang Kare, Madang Sekar, Bang Bari, Joharsah, Kayat Nabi, dan Junglengge yang diklasifikasikan sebagai naskah yang bersifat profan dan Indar Jaye, Jati Suare, Prudak Sine, Markum, dan Puspe Kerma sebagai naskah yang bersifat sakral. Naskah yang bersifat profan tersebut  disusun dalam konsep rancang bangun seni pertunjukan dalam bentuk pertunjukan teater dengan mengambil cerita dari naskah lontar atau festival memaos naskah lontar. Konsep rancang bangun seni pertunjukan tersebut disusun menggunakan empat A, yaitu atraksi yang merujuk kepada atraksi atau kegiatan seni pertunjukan teaterdan memaos (membaca) naskah lontar, aksesibilitas yang merujuk kepada akomodasi dan cara operasional dari atraksi tersebut, amenitias yang merujuk kepada konsep pembentukan rasa kesenangan dan kenyamanan dalam konteks wisata dan layanan tambahan berupa kegiatan atau hal-hal kecil yang mendukung kegiatan atraksi sebagai komponen utama. Rancang bangun tersebut harus dilakukan dengan perencanaan dan penyusunan yang komprehensif agar SDA dan SDM bisa dimanfaatkan dengan baik menuju sastra untuk pariwisata budaya berkelanjutan.
Narasi tiga masjid kuno Lombok sebagai bahan storytelling pramuwisata Agusman; Uwi Martayadi
Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Vol. 7 No. 1 (2023): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/satwika.v7i1.23599

Abstract

Cerita tiga masjid tersebut masih belum komprehensif sehingga cerita yang ada di masyarakat dan wisatawan tidak tertuju kepada pemahaman nilai-nilai atau filosofi, tetapi menunjukkan versi cerita yang paling benar. Tujuan penelitian untuk menjelaskan narasi tiga masjid kuno dari sisi tokoh, ajaran, arsitektural, budaya dan nilai-nilai atau filosofi yang terkandung sehingga bisa dijadikan sebagai bahan story telling oleh pramuwisata. Metode penelitian yang digunakan kualitatif-deskrptif. Lokasi penelitian ialah di Bayan (tempat masjid kuno Bayan), Rembitan (tempat masjid kuno Rembitan), dan di Gunung Pujut (tempat Masjid kuno Gunung Pujut). Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam kepada juru kunci masing-masing masjid kuno mengenai narasi tokoh, ajaran, arsitektural, budaya dan nilai.  Analisis data menggunakan deskriptif dengan menampilkan narasi cerita masjid kuno dari tokoh, ajaran, arsitektural, budaya dan nilai-nilai untuk diinterpretasikan.  Tokoh masjid kuno Bayan Beleq ialah Syekh Abdul Mutering Langit dan Syekh Abdul Mutering Jagat, masjid kuno Rembitan ialah Wali Nyatoq dan masjid kuno Gunung Pujut ialah Mas Mulia. Masjid kuno Bayan Beleq urutan pertama (14 M) dengan ajaran hakikat islam mulai dari syariat, tareka, hakikat dan makrifat, masjid kuno Rembitan urutan kedua (15 M) dengan ajaran tasawuf (hakikat) dan masjid Gunung Pujut urutan ke tiga (16 M) dengan ajaran tasawuf (makrifat). Ketiga masjid memiliki pola pengajaran perpaduan islam dengan budaya sehingga melahirkan wetu telu serta arsitektural dan nilai-nilai juga sama. Narasi tiga masjid kuno bisa dijadikan sebagai bahan story telling melalui penyusunan buku utuh mengenai cerita komprehensif tiga masjid kuno sehingga bisa sebagai acuan oleh pramuwisata dalam menjelaskan segala bentuk dan substansinya kepada wisatawan.          The story of the three mosques is still not comprehensive, so the stories in the community and tourists are not focused on understanding values ​​or philosophy but show the most authentic version. The research objective is to explain the narratives of the three ancient mosques in terms of figures, teachings, architecture, culture, and the values ​​or philosophies contained so that they can be used as storytelling material by tour guides. The research method used is qualitative-descriptive. The research locations are in Bayan (masjid kuno Bayan), Rembitan (masjid kuno Rembitan), and on Mount Pujut (masjid kuno Gunung Pujut). The data collection technique used in-depth interviews with the caretakers of each ancient mosque regarding the narration of figures, teachings, architecture, culture, and values. Data analysis descriptively: displays narrative stories of ancient mosques from sculptures, teachings, architecture, culture, and values ​​to be interpreted. The figures of the masjid kuno Bayan Beleq are Sheikh Abdul Mutering Langit and Sheikh Abdul Mutering Jagat, masjid kuno Rembitan is Wali Nyatoq and masjid kuno Gunung Pujut is Mas Mulia. The first order is masjid kuno Bayan Beleq (14 M) with the teachings of the essence of Islam starting from syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, the second order is masjid kuno Rembitan (15 M) with the teachings of Sufism (hakikat) and masjid kuno Gunung Pujut e is the third order (16 M) with the teachings of Sufism (makrifat). The three mosques have a teaching pattern that blends Islam with the culture to give birth to wetu telu, and the architecture and values ​​are also the same. The narrative of the three ancient mosques can be used as storytelling material by compiling a complete book on the comprehensive stories of the three ancient mosques so that they can be used as a reference by tour guides in explaining all forms and substances to tourists.