Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Institutions and Contributions to Islamic Law in Indonesia’s Legal System Rokhmad, Abu
Walisongo Law Review (Walrev) Vol. 3 No. 1 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/walrev.2021.3.1.7282

Abstract

This research examines the institutionalization, position and contribution of Islamic law to the national legal system. This study uses a qualitative method with a sociological legal approach. The data source comes from legal materials such as laws and other regulations. The research results show that the institutionalization of Islamic law into the national legal system is carried out procedurally, democratically and in accordance with the needs of the community. This institutionalization is a further process and recognition of the position of Islamic law, not only as a raw material for the making of national laws, but also as a source of law (legal sources) and even a source of values (values sources) for the development of national law. The contribution of Islamic law to the development of the national legal system can be seen in the law on marriage, zakat, waqf, hajj, guarantees of halal products and others which substantively do not contradict Islamic law.[]Riset ini mengkaji tentang pelembagaan, posisi dan kontribusi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi hukum. Sumber data berasal dari bahan-bahan hukum seperti UU dan regulasi lainnya. Hasil riset menunjukkan bahwa pelembagaan hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional dilakukan secara prosedural, demokratis dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pelembagaan ini merupakan proses lanjut dan pengakuan mengenai posisi hukum Islam, bukan saja sebagai bahan mentah (raw material) pembuatan hukum nasional, tapi juga sebagai sumber hukum (legal sources) dan bahkan sumber nilai (values sources) pembangunan hukum nasional. Kontribusi hukum Islam dalam pembangunan sistem hukum nasional dapat dilihat pada UU perkawinan, zakat, wakaf, haji, jaminan produk halal dan lainnya yang secara substantif tidak bertentangan dengan hukum Islam.
PETANI VS NEGARA: Studi Tentang Konflik Tanah Hutan Negara dan Resolusinyadalam Perspektif Fiqh Rokhmad, Abu
Edudeena : Journal of Islamic Religious Education Vol. 1 No. 2 (2017)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Kediri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (189.742 KB) | DOI: 10.30762/ed.v1i2.452

Abstract

Abstract: Forest land disputes since the rolling reform sticking 1998. The factors that trigger disputes, partly due; a) illegal logging Perhutani office harm; b) disputes between MDH with Perum Perhutani officials; c) violence committed by both sides in this dispute. Forest land dispute resolution conducted by using nonlitigation approach. To arrive at this settlement, MDH do strategies; a) self-organization; b) cooperation and communication with parties that have the same problem; c) demonstration; d) clearing and resistance revenge. The fourth strategy is used in order to conduct negotiations and mediation with the Perum Perhutani. The final result of the negotiation and mediation are the cooperation in such programs as Community Based Forest Management (CBFM) or the like. The use of various strategies that, as far as not violate the principles of Islamic law allowed. Implementation of the strategy should be done in a peaceful manner and does not cause damage (madarat). Abstrak: Sengketa lahan hutan sejak reformasi bergulir mencuat 1998. Faktor-faktor yang memicu perselisihan, sebagian karena; a) Pembalakan liar merugikan kantor Perhutani; b) perselisihan antara MDH dengan pejabat Perum Perhutani; c) kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam perselisihan ini.Resolusi sengketa lahan hutan dilakukan dengan menggunakan pendekatan non litigasi. Untuk sampai pada penyelesaian ini, MDH melakukan strategi; a) pengorganisasian diri; b) kerjasama dan komunikasi dengan pihak-pihak yang memiliki masalah yang sama; c) demonstrasi; d) pembalasan dendam dan perlawanan. Strategi keempat digunakan untuk melakukan negosiasi dan mediasi dengan Perum Perhutani. Hasil akhir negosiasi dan mediasi adalah kerjasama dalam program seperti Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (CBFM) atau sejenisnya. Penggunaan berbagai strategi itu, sejauh tidak melanggar asas hukum Islam diperbolehkan. Implementasi strategi harus dilakukan secara damai dan tidak menimbulkan kerusakan (madarat).
Blasphemy as a Criminal Offence: Legal Transformation in Indonesia from Colonial Era to Modern Rokhmad, Abu; Saifudin, Saifudin; Sunandar, Sunandar; Nurdin, Nazar
Walisongo Law Review (Walrev) Vol. 6 No. 1 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/walrev.2024.6.1.22667

Abstract

This paper was written to answer three important questions, namely knowing the narrative trend and the transformation model for blasphemy offenses in Indonesian legislation. Religious offenses are the only state instrument to crackdown on perpetrators of blasphemy. The implementation of the blasphemy offense in practice has been criticized, especially in relation to human rights violations. The results of this study confirm three things, firstly, religious offenses were first regulated through a Circular Letter of the Supreme Court in 1964 and PNPS Number 1 1965 which were designed to prevent the deviation of religious teachings and to protect religious peace. Blasphemy offenses were included in the Criminal Code in the New Order, then strengthened in the Reformation Era by incorporating blasphemy offenses into Law No. 11 of 2008. Second, the transformation of religious offenses stems from the British code applied in India, adopted by the Dutch colonial government and used in the region. Dutch East Indies because there are many similarities in cultural diversity between India and Indonesia. Third, the conception of religious offenses in KUHP makes religious blasphemy the basis for criminal acts. Religion is not the only element of a crime, but as an element that is an important part of a crime. Implementation of the guarantee of freedom of religion is indeed not easy to do because of differences in the definition of religion and freedom of religion; different definitions of human rights; and differences in the meaning of human rights protection. Tulisan ini ditulis untuk menjawab tiga pertanyaan penting, yakni mengetahui tren narasi dan model transformasi tindak pidana penodaan agama dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Delik agama merupakan satu-satunya instrumen negara untuk menindak pelaku penodaan agama. Penerapan tindak pidana penodaan agama dalam praktiknya banyak menuai kritik, terutama terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hasil penelitian ini menegaskan tiga hal, pertama, delik keagamaan pertama kali diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung tahun 1964 dan PNPS Nomor 1 Tahun 1965 yang dirancang untuk mencegah penyimpangan ajaran agama dan menjaga ketentraman umat beragama. Delik penodaan agama dimasukkan dalam KUHP pada masa Orde Baru, kemudian diperkuat pada Era Reformasi dengan memasukkan delik penodaan agama ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Kedua, transformasi delik keagamaan bermula dari KUHP Inggris yang diterapkan di India, yang diadopsi oleh KUHP. Pemerintah kolonial Belanda dan digunakan di wilayah tersebut. Hindia Belanda karena banyak kesamaan keanekaragaman budaya antara India dan Indonesia. Ketiga, konsepsi delik agama dalam KUHP menjadikan penodaan agama sebagai dasar tindak pidana. Agama bukan satu-satunya unsur suatu kejahatan, namun sebagai unsur yang menjadi bagian penting dalam suatu kejahatan. Implementasi jaminan kebebasan beragama memang tidak mudah dilakukan karena adanya perbedaan definisi agama dan kebebasan beragama; definisi hak asasi manusia yang berbeda; dan perbedaan makna perlindungan hak asasi manusia
Konsep Al-Tsabit dan Al-Mutahawwil Serta Implikasinya dalam Hukum Islam: Telaah Pemikiran Ali Ahmad Said Asbar Rokhmad, Abu; Nurdin, Nazar
SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary Vol. 6 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22515/shahih.v6i2.3285

Abstract

This article examines the concepts of al-tsabit (the unchangeable) and al-mutahawwil (the changeable) which were popularized by Ali Ahmad Said Asbar (Adonis) in Islamic studies, then they are limitedly associated with Islamic legal thinking. This study aims to find a formula for understanding Islamic law that is more comprehensive and dynamic in accordance with the challenges of the times. This paper is a type of qualitative research with a character study approach. The method used is usually qualitative research, but it focuses more on documentation and records of Ali Ahmad Said Asbar's life journey. This study found that the concepts of al-tsabit and al-mutahawwil which were explored deeply by Adonis are important concepts in Islamic studies to be applied in the lives of Muslims. The Koran and al-Sunnah are final with the death of the bearer of the Islamic message. Even so, it is impossible for the two sources of Islamic law to avoid answering legal events that have emerged recently. If its vitality remains, then the jargon of al-Islam ‘shalih li kulli zaman wa makan’ is not in doubt. This jargon also conveys an important recognition that in Islam there are teachings that are fixed and impossible to change (al-tsabit), and there are also teachings that are dynamic and bound to change (al-mutahawwil). The issue of faith and worship is a principle that cannot change, but in other dimensions of Islam, such as law, it is very likely to be open to new meanings. Artikel ini mengkaji tentang konsep al-tsabit (the unchangeable) dan al-mutahawwil (the changeable) yang dipopulerkan oleh Ali Ahmad Said Asbar (Adonis) dalam kajian keislaman, lalu secara terbatas dikaitkan dengan pemikiran hukum Islam. Studi ini hendak menemukan formula pemahaman hukum Islam yang lebih komprehensif dan dinamis sesuai dengan tantangan zaman. Tulisan ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi tokoh. Metode yang dipakai lazimnya penelitian kualitatif, namun lebih fokus pada dokumentasi dan catatan perjalanan hidup Ali Ahmad Said Asbar. Studi ini menemukan bahwa konsep al-tsabit dan al-mutahawwil yang dieksplorasi mendalam oleh Adonis, merupakan konsep penting dalam kajian Islam untuk aplikasikan dalam kehidupan umat Islam. Alquran dan al-Sunnah sudah final seiring dengan wafatnya pembawa risalah Islam. Meskipun begitu, dua sumber hukum Islam tersebut tidak mungkin menghindar untuk menjawab peristiwa-peristiwa hukum yang muncul belakangan. Jika vitalitasnya masih tetap, maka jargon al-Islam shalih li kulli zaman wa makan tidak diragukan. Jargon tersebut sekaligus menyuratkan pengakuan penting bahwa di dalam Islam memang ada ajaran yang tetap dan tidak mungkin berubah (al-tsabit), dan ada pula ajaran yang dinamis dan pasti berubah (al-mutahawwil). Masalah akidah dan ibadah adalah prinsip yang tidak mungkin berubah, namun pada dimensi Islam lainnya, seperti hukum, ia sangat mungkin terbuka menerima makna-makna baru.
Blasphemy as a Criminal Offence: Legal Transformation in Indonesia from Colonial Era to Modern Rokhmad, Abu; Saifudin, Saifudin; Sunandar, Sunandar; Nurdin, Nazar
Walisongo Law Review (Walrev) Vol. 6 No. 1 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/walrev.2024.6.1.22667

Abstract

This paper was written to answer three important questions, namely knowing the narrative trend and the transformation model for blasphemy offenses in Indonesian legislation. Religious offenses are the only state instrument to crackdown on perpetrators of blasphemy. The implementation of the blasphemy offense in practice has been criticized, especially in relation to human rights violations. The results of this study confirm three things, firstly, religious offenses were first regulated through a Circular Letter of the Supreme Court in 1964 and PNPS Number 1 1965 which were designed to prevent the deviation of religious teachings and to protect religious peace. Blasphemy offenses were included in the Criminal Code in the New Order, then strengthened in the Reformation Era by incorporating blasphemy offenses into Law No. 11 of 2008. Second, the transformation of religious offenses stems from the British code applied in India, adopted by the Dutch colonial government and used in the region. Dutch East Indies because there are many similarities in cultural diversity between India and Indonesia. Third, the conception of religious offenses in KUHP makes religious blasphemy the basis for criminal acts. Religion is not the only element of a crime, but as an element that is an important part of a crime. Implementation of the guarantee of freedom of religion is indeed not easy to do because of differences in the definition of religion and freedom of religion; different definitions of human rights; and differences in the meaning of human rights protection. Tulisan ini ditulis untuk menjawab tiga pertanyaan penting, yakni mengetahui tren narasi dan model transformasi tindak pidana penodaan agama dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Delik agama merupakan satu-satunya instrumen negara untuk menindak pelaku penodaan agama. Penerapan tindak pidana penodaan agama dalam praktiknya banyak menuai kritik, terutama terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hasil penelitian ini menegaskan tiga hal, pertama, delik keagamaan pertama kali diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung tahun 1964 dan PNPS Nomor 1 Tahun 1965 yang dirancang untuk mencegah penyimpangan ajaran agama dan menjaga ketentraman umat beragama. Delik penodaan agama dimasukkan dalam KUHP pada masa Orde Baru, kemudian diperkuat pada Era Reformasi dengan memasukkan delik penodaan agama ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Kedua, transformasi delik keagamaan bermula dari KUHP Inggris yang diterapkan di India, yang diadopsi oleh KUHP. Pemerintah kolonial Belanda dan digunakan di wilayah tersebut. Hindia Belanda karena banyak kesamaan keanekaragaman budaya antara India dan Indonesia. Ketiga, konsepsi delik agama dalam KUHP menjadikan penodaan agama sebagai dasar tindak pidana. Agama bukan satu-satunya unsur suatu kejahatan, namun sebagai unsur yang menjadi bagian penting dalam suatu kejahatan. Implementasi jaminan kebebasan beragama memang tidak mudah dilakukan karena adanya perbedaan definisi agama dan kebebasan beragama; definisi hak asasi manusia yang berbeda; dan perbedaan makna perlindungan hak asasi manusia