Yudhicara Yudhicara
Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Jl. Diponegoro 57 Bandung

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

POTENSI KEBENCANAAN GEOLOGI DI KAWASAN PESISIR SELATAN D.I. YOGYAKARTA Yudhicara Yudhicara; Ai Yuningsih; Moch. Akrom Mustafa; Nur Adi Kristanto
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Vol 1, No 1 (2003)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (846.894 KB) | DOI: 10.32693/jgk.1.1.2003.92

Abstract

Hasil penyelidikan geologi dan geofisika kelautan di kawasan pesisir dan perairan selatan Yogyakarta, menunjukkan bahwa kawasan Pesisir Yogyakarta perlu diwaspadai terhadap bencana geologi seperti tsunami, abrasi, dan sedimentasi/pendangkalan. Adanya perbedaan parameter oseanografi, karakteristik pantai dan jenis litologi, menjadikan hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan tata ruang pantai.Upaya pemeliharaan kelestarian pelindung alami dan buatan sangat membantu pengembangan wilayah, khususnya di kawasan pesisir Yogyakarta. The result of marine geological and geophysical investigation in southern coastal areaand waters of Yogyakarta indicates that this area has to be paid attention from the geological hazards, such as tsunami, abrasion and sedimentation. The differences of oceanographical parameters, coastal characteristics and lithologies, has to be mentioned in coastal development planning. The natural and artificial protection will support in coastal development especially in Yogyakarta coastal area.
KARAKTERISTIK PANTAI DAN RESIKO TSUNAMI DI KAWASAN PANTAI SELATAN YOGYAKARTA Moch. Akrom Mustafa; Yudhicara Yudhicara
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Vol 5, No 3 (2007)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1037.97 KB) | DOI: 10.32693/jgk.5.3.2007.143

Abstract

Gempa besar yang terjadi di selatan Jawa yang menimbulkan tsunami pada tanggal 17 Juli 2006, telah menimbulkan dampak kerusakan yang dialami oleh kawasan pantai di selatan Jawa, diantaranya pantai Yogyakarta dengan tinggi maksimum sekitar 3,4 meter. Gempa ini mempunyai magnitude M7,7 (USGS, 2006), pada kedalaman 10 km di bawah dasar laut. USGS menyatakan bahwa gempa ini memiliki mekanisme sesar naik dan berasosiasi dengan zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan pada tahun 2002 memperlihatkan bahwa kondisi batimetri di perairan selatan Yogyakarta dari pantai hingga 12 mil ke arah laut lepas berkisar antara 5 hingga 350 meter, yang berangsur makin dalam ke arah laut dengan pola kontur batimetri yang sejajar dengan garis pantai. Berdasarkan karakteristik pantainya, kawasan pantai Yogyakarta dapat dibagi menjadi 2 zona resiko tsunami, yaitu: (1) Zona Resiko Tinggi terdapat pada lokasi dengan bentuk pantai berteluk dan pantai berkantong (pocket beach) di kawasan sepanjang pantai mulai dari Parangendog ke arah timur hingga pantai Sadeng, khususnya pada pantai-pantai yang dimanfaatkan sebagai kawasan wisata atau pemukiman nelayan yang dibangun relatif dekat dengan garis pantai; (2) Zona Resiko Rendah, diperlihatkan di kawasan sepanjang pantai mulai dari Parangtritis ke arah barat hingga pantai Pasir Congot, yang meskipun memiliki morfologi pantai relatif landai dengan garis pantai lurus, namun pemukiman dan bangunan wisat dibangun pada jarak yang relatif jauh dari garis pantai dan berada di belakang gumuk pasir (sand dune) yang berfungsi sebagai pelindung alami dari gelombang tsunami. Kata kunci : tsunami, karakteristik pantai, batimetri, zona resiko tsunami Great earthquake that has generated tsunami occurred offshore south of Java in July 17, 2006. The coast of Yogyakarta was one of the impacted areas by tsunami waves and the maximum tsunami height measured in this area about 3.4 meters. This earthquake has Magnitude M 7.7 (USGS, 2006) with depth of about 10 kms under the seafloor. USGS pointed out that this earthquake was thrust fault mechanism associated with subduction zone between Indo-Australia and Eurasian Plates. Study on marine and coastal geology at the coast of Yogyakarta has been carried out by Marine Geological Institute in 2002. Based on this study, it was known that bathymetry along the coast as far as 12 miles seaward are about 5 meters to 350 meter-depth which are gradually increase contour parallel to the shoreline. Coastal characteristic study along the coast of Yogyakarta indicate that this area can be divided into two zones of tsunami risk; (1) First zone is high tsunami risk, which is represented by coastal area along Parangendog to Sadeng, this area is bay-shape, settlement area generally close to the shoreline without sufficient protection; (2) Flat morphology, with sand dune along Parangtritis to the west, dominated by straight shoreline, and settlement area behind the sand dune, make this area has relatively low in tsunami risk. Keywords: tsunami, coastal characteristic, bathymetry, tsunami risk zone.
PROSES ABRASI DI KAWASAN PANTAI LOMBONG, MAJENE, SULAWESI BARAT Yudhicara Yudhicara; Mira Yossy
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Vol 9, No 3 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (608.442 KB) | DOI: 10.32693/jgk.9.3.2011.208

Abstract

Saat ini pantai Lombong yang merupakan bagian dari kawasan pantai di Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat mengalami kerusakan akibat abrasi, sehingga sarana dan prasarana umum di beberapa tempat terancam mengalami kerusakan. Untuk itu dilakukan analisis terhadap potensi abrasi melalui suatu penelitian, berupa kegiatan lapangan dan analisis yang antara lain adalah analisis energi fluks gelombang menggunakan data arah dan kecepatan angin; analisis material endapan pantai; analisis arus sepanjang pantai; serta analisis data pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran di atas, beda tinggi dataran pantai tempat pemukiman berada relatif sangat landai (0.2-1.0 m) dengan jarak yang sangat dekat terhadap garis pantai yaitu 18 hingga 52 m. Hasil analisis data angin menunjukkan bahwa arah angin dominan yang dapat memicu timbulnya gelombang di perairan Majene, adalah angin yang berasal dari arah barat (18,11 %) dan angin barat laut (17,41 %). Tinggi gelombang dari arah barat dan barat laut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dari arah lainnya, karena arah ini mempunyai kecepatan dan panjang fetch angin yang lebih besar. Analisis data pasang surut memunjukkan bahwa rentang air di perairan Majene ini adalah 170 cm dengan tinggi duduk tengah muka laut (MSL) 89.99 cm, sedangkan dari perhitungan konstanta harmonik mengidentifikasikan bahwa tipe pasang surut di perairan Majene tersebut adalah tipe campuran condong harian tunggal (mixed mainly diurnal tides). Berdasarkan hasil perhitungan energi fluks, terlihat bahwa daerah-daerah yang berpotensi mengalami proses abrasi adalah di titik amat 1 - 2; 6 - 13; 14 - 17; 19 - 21, sedangkan pantai yang berpotensi mengalami sedimentasi adalah pada titik amat 2 – 3; 13 – 14; 17 – 19. Titik amat 3 – 6 dan 21 – 22 relatif stabil. Kata kunci: Pantai Lombong, Abrasi, Gelombang, Angin, Pasang surut Currently, the coastal area of Lombong as part of Malunda sub district, Majene, West Sulawesi has suffered damage caused by abrasion and some places has threatened damaged on public facilities and infrastructure. This is the reason why the study of abrasion potential has been conducted. We did some analysis, such as wave flux energy by using wind direction and velocity; coastal sediment material; longshore current and tidal data analysis beside the field work. Study result indicate that the coastal plain height different is about 0.2 to 1.0 m in term of mean sea level, and the horizontal distance of 18-52 m of the nearest building from the shoreline. Wind analysis result obtained that the dominant wind direction that could lead to a wave in Majene waters are winds coming from the west (18.11%) and northwest (17.41 %) which is relatively higher compared to other direction, which has long fetch and greater wind speed. Tidal data analysis showed that the tidal range in Majene waters is 170 cm and mean sea level is 89.99 cm. According to the harmonic constant calculation that identify the type of tide in Majene waters is mixed mainly diurnal tides. calculation on energi flux reveal that areas which are potentially experiencing on abrasion process are at locations between points of 1 to 2; 6 to13; and 14 to 17, while areas which are potentially experiencing sedimentation are at locations between points 2 to 3; 13 to 14; and 17 to 19, and points 3 to 6 and 21 to 22 are relatively stable. Key words: Lombong beach, abrassion, waves, winds, tides.
SEDIMENTOLOGICAL PROPERTIES OF THE 2010 MENTAWAI TSUNAMI DEPOSIT Yudhicara Yudhicara; Andrian Ibrahim
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 27, No 2 (2012)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11464.905 KB) | DOI: 10.32693/bomg.27.2.2012.45

Abstract

Post tsunami survey of the October 25, 2010, Mentawai tsunami, has been carried out by a collaboration team of Indonesian-German scientists from 20 to 28 November 2010. One activity of the researches were investigation on tsunami deposits along the coast following the event that devastated the islands of Sipora, North Pagai and South Pagai. Sedimentological properties of Mentawai tsunami deposit were explained by this study, from both megascopic and laboratory result. In general, beaches along the study area are underlying by a stretch of reef limestone, sediments mostly composed of white sand while grey sand was found only at Malakopa. Tsunami sediments were taken from 20 locations, start from Betumonga at Sipora Island until Sibaru-baru Island at the southern tip of the study area. The thickness of tsunami deposits are ranged between 1.5 and 22 cm, which are generally composed of fine to coarse sand in irregular boundaries with the underlying soil. Based on grain size analysis, variation of sedimentological properties of tsunami deposits range between phi=-0,5793 and phi=3,3180 or very coarse to very fine sand. Tsunami deposits mostly have multiple layers which described their transport processes, run up at the bottom and back wash at the top. Structural sediments such as graded bedding of fining upward, parallel lamination and soil clast were found. The grain size distribution curves show two types of mode peak, unimodal and multimodal which are indication of different sorting condition representing the source materials. While segment grain size accumulative plot generally shows domination of dilatation and traction transport mechanism rather than suspension. In general, very rare fossils were found from Mentawai tsunami deposit, but those findings gave information on how depth tsunami start to scour the seafloor and transport it landward, such as an abundance of Sponge spicule was found which indicate shallow water environments (20-100 m seafloor depth). Keywords: 2010 Mentawai tsunami, tsunami deposit, grain size analysis, fossils identification. Survei pasca-tsunami Mentawai 25 Oktober 2010, telah dilakukan oleh Tim gabungan Indonesia-Jerman pada tanggal 20 - 28 November 2010. Salah satunya adalah melakukan identifikasi endapan tsunami yang ditemukan di sepanjang pantai yang terlanda tsunami di Pulau Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Berdasarkan hasil penelitian baik megaskopik maupun analisis laboratorium, dalam tulisan ini dapat dijelaskan mengenai sifat-sifat sedimentologi dari endapan tsunami Mentawai. Secara umum litologi penyusun pantai di daerah penelitian disusun oleh hamparan batugamping terumbu, sebagian disusun oleh pasir berwarna putih, sedangkan di Malakopa tersusun oleh endapan pasir pantai berwarna abu-abu. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, diperoleh variasi sifat sedimentologi, seperti kisaran ukuran butir endapan tsunami antara -0,5793 phi dan 3,3180 phi, yaitu pasir sangat kasar hingga sangat halus. Endapan tsunami umumnya memiliki beberapa lapis yang menunjukkan adanya proses transportasi, seperti saat air naik (run up) di lapisan bagian bawah dan surut di bagian atas, yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan ukuran butir. Struktur sedimen ditemukan seperti adanya perubahan besar butir secara berangsur menghalus ke bagian atas, perlapisan sejajar dan fragmen tanah yang terperangkap dalam sedimen. Kurva distribusi ukuran butir memperlihatkan dua jenis model puncak, yaitu unimodal dan multimodal yang memperlihatkan kondisi pemilahan yang berbeda yang menunjukkan kondisi sumber material endapan tsunami, sedangkan grafik akumulasi ukuran butir umumnya memperlihatkan dominasi mekanisme transportasi dilatasi dan traksi daripada suspensi. Secara umum fosil yang terkandung dalam endapan tsunami Mentawai sangat jarang, namun sedikit banyak telah memberikan informasi seberapa dalam gelombang tsunami mulai menggerus lantai samudera dan memindahkannya ke darat, misalnya dengan ditemukannya fosil bentonik Sponge spicule yang melimpah, menunjukkan asal lingkungan laut dangkal dengan kedalaman laut 20-100 m. Kata kunci: Tsunami Mentawai 2010, endapan tsunami, analisis besar butir, identifikasi fosil.
THE EXISTENCE OF COASTAL FOREST, ITS IMPLICATION FOR TSUNAMI HAZARD PROTECTION, A CASE STUDY: IN CILACAP-CENTRAL JAVA, INDONESIA Yudhicara Yudhicara
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 30, No 1 (2015)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2361.373 KB) | DOI: 10.32693/bomg.30.1.2015.72

Abstract

The southern coast of Java which is facing to the Indian Ocean has many of natural hazard potential come from the sea. Since 2006 tsunami impacted the southern coast of Java, and caused severely damage especially along the coast of Cilacap (1-7,7 m run up height). People commit to do greening the beach by planting suitable plants such as a Casuarina equisetifolia, Terminalia catappa, and Cocos nucifera. This paper discusses the existence of coastal forests in Cilacap coastal area, their potential ability as a coastal protection from the tsunami wave which cover the density, diameter, height, age, and other parameters that affects the coastal defence against tsunami waves. Some experiences of tsunamis that have occurred, indicating that the above parameters linked to the ability of vegetation to act as a natural barrier against tsunamis. In the case of sandy beaches, such as in Cilacap, Pandanus odorarissimus has more effectiveness than other trees due to its hanging roots that can withstand the tsunami height less than 5 m, able to withstand debris and can withstand the scouring effects of tsunami waves, while Casuarina equisetifolia along Cilacap beaches more dominant than other trees, so it is recommended to increase the diversity of plants as well as increase the density and tree placement setting. By field measurement in order to get parameter applied to some graphs, Cilacap coastal forest does not enough capability for tsunami barrier reflected to the tsunami height experience in this region. Ages could be the important parameter in order to have bigger diameter trunk, higher trees height, and high resistance capacity againts tsunami hazard potential. Compare to Kupang, East Nusa Tenggara, Cilacap coastal forest still young and need some more years to make trees ready act as tsunami reduction. Keywords: Cilacap coastal forest, Kupang, tsunami, vegetation parameters. Pantai Selatan Jawa yang berhadapan dengan Samudera Hindia, memiliki banyak potensi mengalami bahaya yang datang dari lautan. Selama tahun 2006, Tsunami telah menimpa sebagian pantai selatan Jawa dan menyebabkan banyak kerusakan parah terutama di sepanjang Pantai Cilacap (tinggi gelombang 1-7,7 m). Masyarakat melakukan penghijauan pantai dengan menanam sejumlah pohon yang sesuai dengan kondisi pantai, seperti pohon cemara pantai (Casuarina equisetifolia), ketapang (Terminalia cattapa) dan kelapa (Cocos nucifera). Tulisan ini membahas penyebaran hutan pantai di wilayah pantai Cilacap, kemampuan dan potensi hutan tersebut sebagai pelindung alami pantai dari bahaya gelombang tsunami, yang terdiri dari kerapatannya, diameter, tingginya, umur, dan parameter lainnya yang mempengaruhi daya tahan pantai terhadap gelombang tsunami. Beberapa pengalaman mengenai kejadian yang telah terjadi, memperlihatkan bahwa parameter tersebut di atas mempengaruhi kemampuan tanaman sebagai penahan alamiah terhadap tsunami. Untuk kondisi pantai berpasir seperti Cilacap, tanaman pandan pantai lebih efektif dibandingkan dengan tanaman lainnya, dikarenakan akarnya yang dapat menahan tinggi gelombang kurang dari 5 m, selain itu akar tersebut dapat menahan material dan erosi vertikal gelombang tsunami, sementara di sepanjang pantai Cilacap, tanaman cemara pantai (Casuarina equisetifolia) lebih dominan dibandingkan tanaman lainnya. Kondisi ini dapat direkomendasikan untuk tetap dipertahankan bahkan ditambah jumlahnya. Di lapangan dilakukan pengukuran parameter tanaman pantai dan hasilnya diplot dalam bentuk grafik dan diaplikasikan dalam grafik yang dibuat berdasarkan hasil penelitian terhadap tsunami di beberapa tempat di dunia terutama di Jepang. Berdasarkan tinggi gelombang maksimum yang pernah terjadi di daerah ini (7,7 m), terlihat bahwa hutan pantai Cilacap belum cukup mampu bertindak sebagai penahan gelombang tsunami. Umur merupakan parameter penting agar pohon memiliki diameter yang besar, pohon yang cukup tinggi dan daya tahan terhadap potensi bahaya tsunami. Dibandingkan dengan hutan pantai di Kupang, Nusa Tenggara Timur, hutan pantai di Cilacap relatif masih muda dan membutuhkan beberapa tahun lagi untuk dapat memperkecil resiko yang ditimbulkan oleh bahaya tsunami. Kata kunci: Hutan pantai Cilacap, Kupang, tsunami dan parameter vegetasi.
THE INFLUENCE OF COASTAL CONDITIONS TO TSUNAMI INUNDATION OF BIMA BAY, WEST NUSA TENGGARA Yudhicara Yudhicara; Rahayu Robiana
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 29, No 1 (2014)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3944.628 KB) | DOI: 10.32693/bomg.29.1.2014.63

Abstract

Area along the coast that includes the territorial waters of the Bima Bay, West Nusa Tenggara, is prone to tsunamis, evidenced by the historical tsunamis record in 1815 due to the volcanic eruption of Tambora, 1818, 1836 and 1992 caused by earthquakes associated with tectonic system in the north of the island of Sumbawa, and 1892 were sourced from a distant source. Based on the coastal characteristics, the research area was divided into four types of beaches, namely: Steep rocky beach; Coastal walled plain; Flat coastal mangroves; and Flat sandy beaches. According to the lateral measurement, houses were built in the plains with a minimum height difference of 0.04 m at Rababuntu beach and a maximum of 22.63 m in New Asakota area. The settlement closest distance to the coastline is 10.3 m in Rababuntu, while the farthest extent is at Kawananta 194.58 m from the shoreline. The local bathymetry range between 1 and 42.5 m, where the inside of the very shallow waters of the Bay of Bima, gradually steeper at the mouth of the bay to the open sea. This conditions will influence the wave when entering the bay. It will come with large enough speed at the mouth of the bay, spread along the coastal waters of the eastern and continue spreading to all parts with the diminishing velocity, but the height increasing when it reaches shallow water, especially in the waters of the western Gulf of Bima. Several factors can affect the amount of risk that would be caused by the tsunami, in the research area include are: (1) The research area is located in an enclosed bay; (2) The local sea floor depths around the bay is relatively shallow waters; (3) Coastal characteristics of the research area is dominated by a gently sloping beach morphology with low relief, especially in the area of ??Bajo, Rababuntu and Bontokape and other beaches in the city of Bima; (4) Residential location very close to the shoreline; (5) Minimal vegetation cover; and (6) The presence of the artificial protective are inadequate. Based on tsunami modeling using the 1992 Flores earthquake parameter which is placed perpendicular to the research area obtain the maximum tsunami height around 4-5 m at Sowa and Kolo, near to the mouth of Bima Bay, while the minimum is at Kalaki, about 0,2 m which is at the inner bay. Keywords: Tsunami, coastal characteristics, bathymetry, factors influenced to tsunami inundation. Lokasi di sepanjang pantai yang mencakup wilayah Perairan Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat, rentan terhadap tsunami, dibuktikan oleh catatan sejarah tsunami tahun 1815 karena letusan gunung berapi Tambora, 1818, 1836 dan 1992 disebabkan oleh gempa bumi yang terkait dengan tektonik sistem di bagian utara pulau Sumbawa, dan 1892 yang bersumber dari sumber yang jauh. Berdasarkan karakteristik pantai, daerah penelitian dibagi menjadi empat jenis pantai, yaitu: Pantai terjal berbatu; Pantai datar berdinding; Pantai datar berbakau; dan Pantai datar berpasir. Berdasarkan hasil pengukuran kemiringan pantai secara lateral, rumah dibangun di dataran pantai dengan perbedaan ketinggian minimal 0,04 m di Rababuntu dan maksimal 22,63 m di daerah Asakota Baru. Jarak terdekat bangunan terhadap garis pantai adalah 10.3 m di Rababuntu, sedangkan jarak terjauh adalah di Kawananta 194,58 m dari garis pantai. Rentang batimetri di perairan Teluk Bima berkisar antara 1 dan 42,5 m. Bagian dalam Perairan Teluk Bima sangat dangkal, secara bertahap makin alam dan curam di mulut teluk hingga ke laut terbuka. Kondisi ini akan mempengaruhi gelombang ketika memasuki Teluk. Gelombang akan datang dengan kecepatan yang cukup besar di mulut teluk, tersebar di sepanjang perairan pantai timur dan terus menyebar ke seluruh bagian dengan kecepatan berkurang, namun ketinggian meningkat saat mencapai perairan dangkal, terutama di perairan barat Teluk Bima. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah risiko yang akan disebabkan oleh tsunami, di daerah penelitian meliputi: (1) Daerah penelitian terletak di teluk tertutup; (2) Kedalaman dasar laut di sekitar Teluk adalah perairan yang relatif dangkal; (3) Karakteristik Pantai daerah penelitian didominasi oleh pantai morfologi landai dengan relief rendah, terutama di daerah Bajo, Rababuntu dan Bontokape dan pantai-pantai lainnya di Kota Bima; (4) Lokasi perumahan sangat dekat dengan garis pantai; (5) Minimalnya vegetasi penutup; dan (6) Keberadaan pelindung buatan tidak memadai. Kata Kunci: Tsunami, karakteristik pantai, batimetri, faktor yang mempengaruhi landaan gelombang tsunami.