ABSTRAK Pada tahun 2001 Provinsi Aceh mendapatkan Otonomi Khusus melalui Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2001, melalui otonomi khusus, Provinsi Aceh mendapatkan kewenangan untuk menyelenggarakan kehidupan yang berlandaskan syariat islam. Pemerintah Aceh pada tanggal 25 januari 2002 membentuk Dinas Syariat Islam. Salah satu kewenangannya adalah menyiapkan Naskah Akademik Rancangan Qanun yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat islam. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Pasal 32 yaitu tentang penyelenggaraan kepemimpinan dan politik di Aceh dijalankan atas prinsip Siyasah Syar’iyah, pada tahun 2019 Dinas Syariat Islam telah merumuskan Rancangan Qanun Siyasah Syar’iyah. Pada BAB IV dan BAB V tentang Al-Amirah (eksekutif) dan Ahlul Halli Wa Al-Aqdha (legislatif) pada pasal 5 Huruf B disebutkan bahwa untuk dapat dipilih dan diangkat pada kedua jabatan tersebut diutamakan laki-laki. Tujuan penelitian adalah menjelaskan keterlibatan perempuan dalam perumusan Rancangan Qanun Siyasah Syar’iyah. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan tidak diibatkan pada saat perumusan Rancangan Qanun Siyasah Syar’iyah. Adapun kesimpualan penelitian adalah: Pertama, Perumusan Rancangan Rancangan Qanun Siyasah Syar’iyah sangat bias gender karena tidak melibatkan perempuan. Kedua, budaya partiarki yang mengkultuskan dominasi laki-laki terhadap perempuan masih terjadi dalam proses pembuatan kebijakan di Aceh. Ketiga, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam hal akses, peluang, keuntungan dan kendali terhadap sumber daya dan berbagai aspek kehidupan. Kata kunci: Syariat Islam, Siyasah Syar’iyah, Partisipasi Perempuan