Saidurrahman Saidurrahman
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

ILMU ḤUḌŪRĪ Khazanah Epistemologi Islam Saidurrahman, Saidurrahman
TEOLOGIA Vol 25, No 1 (2014): FILSAFAT ISLAM
Publisher : TEOLOGIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: Knowledge of the presence (ḥuḍūrī) with mystical experience as describe above is deemed the most popular models of knowledge in Islamic philosophy at the same coloring methodology and epistemology of Islam. Through logical arguments, semantic analysis and epistemo­logy sharp Suhrawardī considered very successfully demonstrate authenticity huduri science as a science model of non-representational. Among the classical epistemological problems that have not been resolved until now-but able to be dissected in clear and distinct- is about the relationship of subject and object of knowledge, that is the problem more acute in modern Western philosophy. What is interesting is when when to review the issues very carefully and consistently Mehdi directing and bringing the students (who interest in Islamic philosophy) into the recesses of the inner world and the dialogue with the depth of their own existence. It is undeniable that Hairi Mehdi Yazdi take existentialist philosophy illumination Suhrawardī and Mulla Ṣadrā as a main reference, as he learned the lesson of Plato, Aristotle, Plotinus, Ibn Sīnā, and al-Ṭūsī, citing the idea of ​​a number of Western philosophers were actually familiar with the science huduri that he wanted to offer. However unique, he expertly directs their ideas to the conclusion that it is inevitable for us to acknowledge the existence of non-phenomenal knowledge. Abstrak: Pengetahuan dengan kehadiran (ḥuḍūrī) dibarengai pengalaman mistik seperti yang paprkan diatas dipandang model pengetahuan yang paling populer dalam filsafat Islam sekaligus mewarnai metodologi dan epistemologi Islam. Melalui argumen-argumen logis, analisis semantik dan epistemologi yang tajam Suhrawardī dipandang sangat berhasil mendemonstrasikan keautentikan ilmu huduri sebagai sebuah model ilmu non-representasional. Diantara problem-problem klasik episte­mologis yang belum terselesaikan hingga kini—tetapi mampu dibedah secara clear dan distink—adalah tentang hubungan subjek dan objek pengetahuan, yang problemnya makin akut dalam filsafat Barat modern. Yang menarik adalah ketika ketika mengulas masalah-masalah itu Mehdi sangat cermat dan konsisten mengarahkan dan membawa para murid-muridnya (peminat filsafat Islam) memasuki relung-relung dunia batin dan berdialog dengan kedalaman eksistensi mereka sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa Mehdi Ha’iri Yazdi mengambil filsafat iluminasi Suhrawardī dan eksistensialis Mulla Ṣadrā sebagai acuan utamanya, seraya memetik pelajaran dari Plato, aristoteles, Plotinus, Ibn Sīnā, dan al-Ṭūsī, mengutip gagasan sejumlah filosof Barat yang sebetulnya asing dengan ilmu ḥuḍūrī yang hendak ia tawarkan. Akan tetapi uniknya, dengan piawai ia mengarahkan gagasan-gagasan mereka kepada penarik­an kesimpulan bahwa adalah tak terelakkan bagi kita untuk mengakui eksistensi pengetahuan non-fenomenal itu. Keywords: ilmu ḥuḍūrī, khazanah, epistemology, cogito ergo sum, atheisme.
Perjanjian Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah Saidurrahman, Saidurrahman
ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman Vol 6, No 2 (2012): Islamica
Publisher : Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (116.909 KB) | DOI: 10.15642/islamica.2012.6.2.344-360

Abstract

Although Syari’ah is considered by many as the ideal form of social—as well as financial- order, it is nonetheless not immune from practical and perhaps technical problems, so to speak. With regards to the Syari’ah finance, cases on the ground show that transaction involving dispute by different parties does often occur. This dispute has nothing to do with the Syari’ah itself indeed, but with the way it is applied. Syari’ah however anticipates this dispute to happen, concerning which this paper is interested. It is concerned with discussing this anticipation and in what way does Syari’ah offer the way-out to resolve such a dispute in matters relating to financial contract. The paper argues that the ability of such system as Syari’ah to resolve problems and offer solution for disputes can be an indicator whether the system can be judged as an ideal or not. One of the techniques that the Syari’ah has offered in dealing with dispute is what it calls Musyawarah (negotiation); a technique that in fact has been regulated in the Indonesian law. This technique will also be investigated in this paper.
ILMU ḤUḌŪRĪ Khazanah Epistemologi Islam Saidurrahman, Saidurrahman
Jurnal THEOLOGIA Vol 25, No 1 (2014): FILSAFAT ISLAM
Publisher : Fakulta Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/teo.2014.25.1.339

Abstract

Abstract: Knowledge of the presence (ḥuḍūrī) with mystical experience as describe above is deemed the most popular models of knowledge in Islamic philosophy at the same coloring methodology and epistemology of Islam. Through logical arguments, semantic analysis and epistemo¬logy sharp Suhrawardī considered very successfully demonstrate authenticity huduri science as a science model of non-representational. Among the classical epistemological problems that have not been resolved until now -but able to be dissected in clear and distinct- is about the relationship of subject and object of knowledge, that is the problem more acute in modern Western philosophy. What is interesting is when when to review the issues very carefully and consistently Mehdi directing and bringing the students (who interest in Islamic philosophy) into the recesses of the inner world and the dialogue with the depth of their own existence. It is undeniable that Ha'iri Mehdi Yazdi take existentialist philosophy illumination Suhrawardī and MullaṢadrā as a main reference, as he learned the lesson of Plato, Aristotle, Plotinus, Ibn Sīnā, and al-Ṭūsī, citing the idea of a number of Western philosophers were actually familiar with the science huduri that he wanted to offer. However unique, he expertly directs their ideas to the conclusion that it is inevitable for us to acknowledge the existence of non - phenomenal knowledge. Abstrak:Pengetahuan dengan kehadiran (ḥuḍūrī) dibarengai pengalaman mistik seperti yang paprkan diatas dipandang model pengetahuan yang paling populer dalam filsafat Islam sekaligus mewarnai metodologi dan epistemologi Islam. Melalui argumen-argumen logis, analisis semantik dan epistemologi yang tajam Suhrawardī dipandang sangat berhasil mendemonstrasikan keautentikan ilmu huduri sebagai sebuah model ilmu non-representasional. Diantara problem-problem klasik episte-mologis yang belum terselesaikan hingga kini—tetapi mampu dibedah secara clear dan distink—adalah tentang hubungan subjek dan objek pengetahuan, yang problemnya makin akut dalam filsafat Barat modern. Yang menarik adalah ketika ketika mengulas masalah-masalah itu Mehdi sangat cermat dan konsisten mengarahkan dan membawa para murid-muridnya (peminat filsafat Islam) memasuki relung-relung dunia batin dan berdialog dengan kedalaman eksistensi mereka sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa Mehdi Ha’iri Yazdi mengambil filsafat iluminasi Suhrawardī dan eksistensialis MullaṢadrā sebagai acuan utamanya, seraya memetik pelajaran dari Plato, aristoteles, Plotinus, Ibn Sīnā, dan al-Ṭūsī, mengutip gagasan sejumlah filosof Barat yang sebetulnya asing dengan ilmu ḥuḍūrī yang hendak ia tawarkan. Akan tetapi uniknya, dengan piawai ia mengarahkan gagasan-gagasan mereka kepada penarik¬an kesimpulan bahwa adalah tak terelakkan bagi kita untuk mengakui eksistensi pengetahuan non-fenomenal itu. Keywords: ilmu ḥuḍūrī, khazanah, epistemologi, cogito ergo sum, atheisme.
SIKAP DAN PANDANGAN ORANG-ORANG YAHUDI TERHADAP ISLAM Saidurrahman, Saidurrahman
Jurnal THEOLOGIA Vol 25, No 2 (2014): ILMU KALAM
Publisher : Fakulta Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/teo.2014.25.2.393

Abstract

Abstract: This article discusses on the attitude of the Jews who claim to be the chosen people sourced from theological doctrine handed down from one generation to the next. Although existentially Jews acknowledge other nations, but it was limited to the recognition of their existence, not on fundamental rights possessed. With that understanding, attitude and outlook superior to the other nations causing them easily perform a variety of cruel acts beyond the limits of humanity. History has recorded that the relationship between Muslims with Jews always tinged tensions for the sake of suspense. Of course, the tensions arising from unfair attitude that made the Jews in many aspects. Al-Quran and Hadith following historical facts, as the main source of this article, informing us that the attitudes of the Jews against Muslims tend pejorative other than brutal. Criticism for the sake of criticism and even physical violence often they are addressed to Muslims. It happens in every time and opportunity, not only at the time of the apostles before the Prophet Muhammad, on his future until the time we were the attitude of the Jewish people never change. Abstrak: Artikel membahas tentang sikap orang-orang Yahudi yang mengklaim sebagai bangsa pilihan bersumber dari doktrin teologis yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Meskipun secara eksis¬tensial orang-orang Yahudi mengakui bangsa-bangsa lain, namun pengakuan itu hanya sebatas pada keberadaan mereka, bukan pada hak-hak dasar yang dimiliki. Dengan pemahaman itu, sikap dan pandangan lebih superior dibanding dengan bangsa-bangsa lain menyebabkan mereka mudah melakukan berbagai tindakan kejam di luar batas peri kemanusiaan. Sejarah telah merekam bahwa hubungan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi selalu diwarnai ketegangan demi ketegangan. Tentu saja, ke¬tegangan itu muncul akibat sikap tidak fair yang dilakukan orang-orang Yahudi dalam banyak aspek. Al-Quran dan hadis berikut fakta sejarah, sebagai sumber utama dalam tulisan ini, menginformasikan kepada kita bahwa sikap dan pandangan orang-orang Yahudi terhadap umat Islam cenderung peyoratif selain brutal.Kecaman demi kecaman bahkan kekerasan fisik kerap mereka tujukan kepada umat Islam. Hal itu terjadi dalam setiap waktu dan kesempatan, tidak hanya pada masa rasul-rasul sebelum Rasulullah Muhammad saw, pada masa beliau hingga masa kita pun sikap orang-orang Yahudi tidak pernah berubah. Keywords: Yahudi, Taurat, al-Quran, Zionisme, Nabi Muhammad.
IstishabSebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjauan Historis Saidurrahman, Saidurrahman
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 45 No 1 (2011)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v45i1.4

Abstract

Syariat Islam adalah  penutup  semua risalah samawiyah,  yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yangabadi dan komperhensif.  Hal  itu  dibuktikan  dengan  adanya  prinsip-prinsip  dan kaidah-kaidah  hukum  dalam  Islam  yang  membuatnya  dapat memberikan jawaban terhadap hajat kebutuhan manusia yang berubah dari  waktu  ke  waktu,  seiring  dengan  perkembangan  zaman.  Secara kongkrit  hal  itu  ditunjukkan  dengan  adanya  dua  hal  penting  dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan  berubah  sepanjang  zaman  dan  (2)  pembukaan  jalan  bagi  para mujtahid  untuk  melakukan  ijtihad  dalam  hal-hal  yang  tidak  dijelaskan secara  sharih  dalam  nash-nash  tersebut.  Jika  kita  berbicara  tentang ijtihad, maka sisi  ra’yu  (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih –sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenal beberapa landasan penetapan hukum  yang  berlandaskan  pada  penggunaan  kemampuan  ra’yu  para fuqaha. Salah satunya adalah  istishhab  yang akan dibahas dan diuraikan dalam tulisan ini.
Fiqh Jihad dan Terorisme (Perspektif Tokoh Ormas Islam Sumatera Utara) Saidurrahman, Saidurrahman
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 46 No 1 (2012)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v46i1.31

Abstract

Jihad is a teaching and even an obligation to a Muslim. In  the  Qur’an,  the  term  jihad  is  mentioned  forty  times  in sentences.  Jihad  has  an  underlying  concept  for  a  Muslim  life. However, the term jihad is often misconceived, referred to bad things, being violent and even inhumane. Therefore, redefining and  restructuring  the  concept  of  jihad  in  Islam  is  crucial.  The province  of  North  Sumatera  has  often  been  seen  as  a  terrorist territorial,  for  many  terrorists  have  been  arrested  from  the province.  This  has  provoked  anger  for  Muslims  who  are  the majority  of  the  population  in  the  province.  This  is  among specific findings of the study, which are based on interviews with the leaders of Muslim organizations in North Sumatera such as al-Jamiyat  al-Washliyah,  Nahdlatul  Ulama,  Muhammadiyah, DDII, MMI, DDII, FPI, and MUI.
Hukum Islam: Hakikat dan Tujuan Pemberlakuan Saidurrahman, Saidurrahman
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 43 No 1 (2009)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v43i1.93

Abstract

My main intention of writing this article howefer is very simple. Mainly I want to invite participants to paya greater attention  on  doing  further  research  on  Islamic  law  from philosophy  point  of  view.  Most  of  the  time  Islamic  law  is studied  merely  based  on  teology  perspective.  Islamic  law philosophy  questioned  problems  that  is  beyond  of  ordinary law, critically questioned absolute paradigm in the Islamic law and constructively tried to unify the branchs of Islamic law in the  whole  of  Islamic  law  system  which  is  unseparable.  So Islamic  law  philosophy  offered  questions  about  the  exact meaning and the real goal of Islamic law.